KabariNews – Apa jadinya, jika musik Jazz sudah kehilangan keasliannya? Pertanyaan ini, mungkin tak perlu lagi diperdebatkan. Mengingat Jazz kini sudah begitu cair memasuki setiap jengkal ruang ekspresi manusia pasca gempitanya Jazz di Negeri Paman Sam puluhan tahun silam. Jazz telah melampui batasan dan lintasannya sendiri. Tak kalah penting, ia juga mampu menghidupi dirinya sendiri.

Jadilah genre musik ini seolah ‘tak ada matinya’. Berbagai iven berskala nasional, regional, bahkan internasional tak henti-hentinya digelar demi keberlangsungan musik yang berasal dari benua hitam, Afrika ini. Dalam perkembangannya bahkan ia seolah menempatkan dirinya sesuai dengan jaman. Jazz kini lebih easy-going, tak lagi tampil eksklusif seperti citra yang disandang sebelumnya. Dan yang perlu dicatat, Jazz sudah dapat dinikmati kapan dan dimana saja dengan cara apa pun tanpa harus memikirkan perbedaan yang ada.

Seperti yang dilakukan Francois Lindemann dkk, yang datang jauh-jauh ke Jogja dalam rangka bersilaturahmi lewat musik di salah satu kantong budaya di tanah air ini. Perbedaan latar belakang tujuh personil yang dibawanya juga menjadi penanda jelas bagi eksistensi jazz itu sendiri. Bahwa Jazz bukanlah dominasi kelas, kultur atau budaya tertentu. Melainkan sebuah semangat multikultur yang sama, yang berangkat dari meniadakan dan menihilkan perbedaan dalam berkarya.

Ryhtm Meeting Jazz1

Spirit Lintas Budaya

Selain Francois Lindemann, Swiss (piano), ada juga Jacques Schwarz-bart, US-France (saksofon), Claude Tchamitchian, France (kontra bass), Sangoma Everett, US-France (drums), Aziz Boulaaroug, Marocco (perkusi), Abdelaziz El Achhab, Marocco (biola), serta satu-satunya perempuan dalam kelompok ini, Ling Ling Yu, China (sitar), yang berkolaborasi dengan dua musisi dari Kelompok Musik Kua Etnika (Jogja), G. Djaduk Ferianto (suling, kendang, gong, vokal), dan Purwanto (gender).

Mereka mengusung 9 komposisi panjang, Purple Clouds, Love Song From Marocco, Rhythms Meeting, Trad East China Song, L’andalouse, Ses Paroles, Baris, Ilir-Ilir, Loaw Kratopmai, selama lebih dari dua jam dihadapan ratusan penikmat Jazz, di Jogja dan sekitarnya yang memenuhi stage pertunjukan Yayasan Bagong Kussudiardja (YBK), di daerah Kembaran, Tamantirto, Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Setelah sebelumnya didahului dengan residensi selama lebih kurang 10 hari di tempat yang sama.

Komposisi Jazz yang mereka tawarkan kental mengusung spirit cross-culture, kendati perbedaan dalam genre, style, teknik melalui improvisasi dalam menjalankan pola kolaborasi itu tetap ada, tanpa perlu merasa terbelenggu dengan batasan-batasan yang muncul sebagai label yang hadir seketika. Pasalnya, sejak awal mereka sepakat menyunggi Jazz tanpa melihat perbedaan. Cara ini pula yang mereka pakai sebagai modal selama perjalanan antar negara yang mereka lakukan selama berbulan-bulan.

Lihat saja, cara mereka memperlakukan beragam pertautan bunyi yang terjaga dengan baik dari awal hingga akhir. Komposisi pembuka Purple Clouds dan Love Song From Marocco, yang terdengar riang dan ringan seolah menjadi semacam pemanasan untuk mengenalkan keahlian mereka masing-masing. Selanjutnya mereka mulai tampil serius untuk menampilkan kekuatan improvisasi yang menjadi ciri utama musik ini dalam Rhythms Meeting, sekaligus menjadi judul besar pertunjukan musik Jazz malam itu.

Berlanjut ke Trad East China Song, L’andalouse, Ses Paroles, di mana kekuatan-kekuatan itu, kemudian melebur kembali, menunjukkan kematangan mereka dalam menginterpretasi setiap bunyi yang dihasilkan. Hasilnya bisa bermacam-macam, setelah petikan siter China yang menukik lincah, penonton sepintas dibawa masuk ke ranah Afrika melalui permainan perkusi (drum dan djimbe) yang bertenaga, terus membujur masuk ke nuansa Arabian lewat sentuhan dialog biola dan kontra bass yang padu.

Sampai di sini, Lindemann dkk masih bermain sendiri, sampai Djaduk dan Purwanto masuk lewat komposisi khas anak negeri, melalui Baris dan Ilir-Ilir yang telah diaransemen ulang sedemikian rupa. Kekuatan instrumen lokal: kendang, suling, gender, yang bertemu dengan instrumen barat plus sitar China menambah hidup suasana. Hingga pada akhirnya dua komposisi ini harus berakhir dan dipungkasi dengan nomor Loaw Kratopmai. Universalitas itu terlihat dihampir semua komposisi yang dimainkan dalam kolaborasi ini.

Jazz yang Membumi

Kali ini, iven jagongan wagen atau malam pertemuan setiap wage—hari Jawa—yang rutin diselenggarakan selama sebulan sekali oleh YBK yang bermitra dengan Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Yogyakarta, bertajuk besar Konser Musik Jazz: “Rhythms Meeting”. Dan malam itu (5/2), memang menghadirkan sesuatu yang lain. Kolaborasi yang mengajak keterlibatan musisi setempat itu, terbilang berhasil merangkum eksploratorium musikal yang tersaji dengan apik dalam setiap komposisinya.

Ryhtm Meeting Jazz2

Mereka meramu berbagai style Jazz, di bagian awal terdengar ada Pure Jazz, Smooth Jazz. Selanjutnya lebih bebas, mereka memainkan beragam corak dalam Cool Jazz, Free Jazz, yang tetap memukau diselingi World Fusion. Bagi Lindemann, proyek ini untuk berbagi gagasan-gagasan tentang musik dari setiap negeri yang dikunjunginya. “Kami berharap panca indera Anda terpuaskan dengan penampilan kami dalam sentuhan campuran Jazz New York, Swiss, Prancis, China, dan Indonesia,” papar Lindemann suatu kali.

Jogya (baca: Indonesia) menjadi pembuka perjalanan Lindemann dkk selama tiga bulan (Januari-Maret 2009), untuk menjelajahi empat negara: Indonesia, Thailand, India, dan Marocco. Yang menarik, kenapa Jogja? “Kami sengaja mengundang para musisi ini untuk hadir di Jogja sebagai kota dengan penikmat yang cukup apresiatif dan kuantitatif,” tandas Marie Le Sourd, Direktur LIP/CCF Yogyakarta, saat ditemui Kabari di belakang panggung.

Ucapannnya memang terbukti saat stage semi indoor YBK itu disesaki pengunjung. Penonton tampak meluber dan bahkan harus sedikit bersusah payah demi berada di sana. Meski begitu, semua ikut merasa terpuaskan oleh penampilan memesona dari para pengusung Jazz lintas negara ini. “Saya sengaja datang untuk melihat lebih dekat para musisi Jazz ini beraksi di Jogja,” ujar Dani Putri yang malam itu datang bersama teman-teman kuliahnya.

Lain halnya, komentar G. Djaduk Ferianto, “Harapannya, momentum semacam ini memang tak lantas berhenti sampai disini. Perlu ada semacam agenda yang berkesinambungan dan terus dimunculkan demi menjaga keberlangsungan Jazz di tanah air agar tak lagi elitis.” ujarnya.
Djaduk sendiri sampai kini masih berupaya memelihara harapan itu. Salah satunya dengan menggagas “Nga-Yog Jazz”, yakni ajang kolaborasi jazz dengan musisi-musisi lokal sekaligus bertujuan memasyarakatkan Jazz melalui apresiasi dan seni pertunjukan.

Hingga, suatu kali bisa muncul, Melting-Pot baru, seperti Jak-Jazz Festival yang sebelumnya tampil sendiri. Yang kemudian diikuti iven berskala internasional lainnya, seperti Java Jazz Festival (Jakarta), Bali Jazz Festival (Denpasar), sampai yang teranyar dari ranah Melayu hadir Malacca Strait Jazz Festival (Pekanbaru), untuk mengimbangi negara serumpun yang lebih dulu mengemuka melalui Penang Jazz Festival dan Singapore Jazz Festival. Kelak, diharapkan hadir menjadi episentrum tersendiri di kawasan segitiga emas yang hanya terpisah lewat Selat Malaka itu. (foto: Pandhuagie)