Andri, alumni Universitas Trisakti, Jakarta jadi saksi tragedi berdarah 12 Mei 1998.

Selasa sore
12 Mei 1998
, kebetulan kami berada di kampus Trisakti. Tepatnya pukul 14.00 sampai sekitar 19.00 WIB. Saat itu saya melihat banyak sekali teman yang bergerak ke arah kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperjuangkan nasib rakyat. 

Namun niat teman-teman dihalang-halangi pasukan keamanan yang awalnya datang selapis, kemudian datang berlapis-lapis. Mereka bertahan di depan bekas kantor Wali kota. Pengurus universitas menahan mereka dan meminta mundur. Teman-teman mau mundur
asal pihak keamanan juga mundur. Akhirnya, saya melihat teman-teman bubar
dengan tertib dan mereka semua bergerak kembali ke kampus. Bahkan saya merasa aksi sudah selesai, sehingga ingin pulang
ke rumah.

Pada saat kami akan bubar,
tiba-tiba terdengar tembakan keras disertai bau mesiu di mana-mana. Hal ini membuat
kepanikan sejumlah besar teman-teman dan warga yang berada di sekitar kejadian.

Serentak terjadi arus massa
yang datang dari arah depan Gedung Wali Kota dan berlari ke arah kampus Trisakti. Pada saat itu, saya berada tepat di bawah jembatan penyeberangan
jalan S. Parman.

Dalam keadaan menegangkan itu massa
mahasiswa membantu teman-teman yang terjatuh. Semua panik. Letusan tembakan
terus saja terdengar. Massa
berlari dan berteriak-teriak histeris. Sejumlah pedagang yang biasa berkumpul di depan pintu masuk lari menyelamatkan diri ke dalam
kampus.

Barisan polisi terus
mengejar mahasiswa dan menyusun barikade di fly over. Mereka mengarahkan
tembakan ke dalam kampus kami. Mahasiswa berusaha menutup pintu depan masuk
universitas, karena ngeri melihat sejumlah polisi sudah siap di fly over. Maka
saya juga berlari masuk ke dalam kampus.

Kejadian penembakan dan
perlawanan mahasiswa ini berlangsung cukup lama. Kira-kira dari pukul 17:30 – 19:00 WIB. Pelurunya sampai menembus ke kaca jendela Gedung M (Gedung Syarif
Thayib). Beberapa mahasiswa tiba-tiba terjatuh berbarengan dengan letusan
peluru yang terdengar keras.

Masya Allah, setelah
mahasiswa ada di dalam kampus, aparat keamaan justru semakin bersemangat
menembaki kami yang sudah ada di dalam. Bagaimana mungkin? Kami sudah ada di dalam tapi masih saja terus
ditembaki! Apakah tentara-tentara itu
merasa terancam jiwanya oleh mahasiswa yang sudah ada di dalam kampus? Kami
bukan binatang, bukan kriminal berbahaya, bukan sangsak. Kami bayar pajak untuk
pembangunan.

Teman-teman saya sedang memperjuangkan
nasib rakyat dan aparat itu sendiri sebagai rakyat biasa, juga sedang
diperjuangkan nasib dan kesejahteraannya. Balasan yang ‘sangat amat baik
sekali’ dari aparat keamanan. Tiap kali terdengar letusan senapan yang keras
dan menggetarkan kaca-kaca di Gedung M, teman-teman spontan berteriak ‘Allahu
Akbar
‘.

Kejadian ini memancing emosi kami. Perlawanan
dilakukan dengan melempar batu dan botol. Sejumlah mahasiswa yang terluka
sempat dibawa ke koridor di Gedung P (Gedung Arsitektur) dan ruang himpunan
mahasiswa arsitektur. Darah berceceran di lantai Gedung. P. Korban yang tertembak
di bagian pinggang sepertinya tidak kuat menahan sakit dan berteriak-teriak. Mahasiswa
yang tidak kuat menahan emosi berteriak-teriak istiqfar dan mengutuk perbuatan
aparat. Karena bantuan alat-alat medis yang kurang, beberapa korban dibawa ke
MS-Tri FM, gedung I lantai 1.

Di tengah rasa panik, sebagian
mahasiswa memberikan informasi ada teman yang meninggal di Gedung Syaif Thayib.
Untuk membuktikan informasi tersebut, beberapa teman berlarian ke gedung M.
Tampak seorang mahasiswa yang dibaringkan di lantai dan beberapa teman mencoba
menggerakkan tubuhnya untuk mengetahui reaksinya.

Tidak ada reaksi sama
sekali. Sebagian mahasiswa belum yakin kalau teman ini sudah meninggal. Seorang
menempelkan telunjuknya ke hidung mahasiswa yang luka-luka tersebut. Tak ada
lagi hembusan nafas. Perlahan dia berucap ; Inna Lillahi Wa Ina Lillahi Roji’un.
Mahasiwa yang sedang berbaring ini sudah tidak bernyawa. “Sudah gak ada
nafasnya,“ ucapnya agak keras.

Tidak kuat menahan emosi
yang sedang terjadi, beberapa mahasiswa beristiqfar menyebut nama Allah Swt.
Teman-teman lain menyerukan pembalasan. Tapi sebagian lagi berusaha menahan
emosi rekannya. Terdengar teriakan-teriakan, “Tidak ada gunanya
dilawan”,” Jangan ada korban lagi”, “Semuanya mundur, rekan kita
sudah ada yang meninggal…. Mundur semua!” jerit beberapa teman mahasiswa.

Kulihat, mahasiswa-mahasiwa yang berada di barisan depan terus melempari
petugas dan berteriak-teriak histeris. Kabar kematian teman ini tampaknya malah
membakar emosi mahasiswa barisan depan. Seorang teman mahasiswa di
tengah-tengah kekacauan sempat membakar foto tokoh nasional yang sangat tidak
dihormati oleh sebagian besar mahasiswa. Setelah langit benar-benar gelap,
sekitar pukul 19:00 lewat aksi perlawanan dari mahasiswa berhenti dan sebagian
besar teman-teman berkumpul di depan Gedung I di depan Ruangan Radio MS-Tri FM.
Mahasiwa yang luka-luka dirawat di gedung itu.

Semua terlihat lelah dan putus asa. Beberapa mengerang, ada yang mengalami luka di jari-jari tangan,
kaki dan pinggang. Pada saat itu terdengar kabar 2 mahasiswa meninggal dunia.
Barang bukti berupa sejumlah selongsong peluru dikumpulkan oleh beberapa teman.
Sekitar jam 19:15 dalam keadaan lelah, saya pulang melalui jalan Kyai Tapa.

Di depan pintu masuk universitas di jl.
Kyai Tapa beberapa mahasiswa sedang berbicara dengan 2 orang wartawan. Muka
wartawan itu sama lelahnya dengan kami. Saya melihat dari kejauhan, beberapa
mobil aparat masih terparkir. Sejumlah polisi berkumpul di sekitar kampus kami
baik di jl S.Parman dan jl. Kyai Tapa.

Saya pulang berjalan kaki. Setelah 2
kilometer berjalan, saya bertemu ojek. Ketika sampai di rumah, terdengar kabar bahwa
korban jiwa bertambah menjadi 6 orang. Mereka adalah: Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur,
angkatan 1996), Alan Mulyadi (Fakultas Ekonomi, angkatan 1996), Heri Heriyanto
(Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, angkatan 1995), luka tembak di punggung,
Hendriawan (Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen, angkatan 1996), luka tembak di
pinggang, Vero (Fakultas Ekonomi, angkatan 1996), dan Hafidi Alifidin (Fakultas
Teknik Sipil, angkatan 1995) luka tembak di kepala. Waktu itu saya percaya, perjuangan
6 rekan kami tidak akan pernah sia-sia. Reformasi yang datang dari arus bawah
tidak akan pernah bisa dihentikan.

Peristiwa ini yang tidak
akan pernah terlupakan sepanjang hidup saya. Semoga kejadian 12 Mei 1998 tidak
terulang kembali.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36736

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :