Theresia Soares termenung. Mahasiswa Timor Leste yang sedang
kuliah di Yogyakarta ini sedih, lantaran paspor Timornya hilang. Padahal
musim liburan lalu dia ingin berlibur ke Timor Leste (TL). Bisa
mengurus kembali namun agak rumit. Harus pergi ke kedutaan besar Timor
Leste di Jakarta atau konsulat di Kupang. Bukan hanya masalah birokrasi,
namun juga ketersediaan biaya. Dengan tingkat pengetahuan yang minim
soal keimigrasian, maka musim liburan ini dia bertekad kembali ke TL
dengan cara illegal.

Sejak referendum dilakukan pada tahun 1999 dan rakyat Timor memilih
berpisah dari Indonesia, otomatis bekas provinsi ke 27 Indonesia itu
menjadi negara berdaulat yang memiliki sistem pemerintahan dan
administrasi sendiri. Orang yang datang dan pergi ke wilayah itu harus
mengurus perlengkapan keimigrasian.

Suhu politik kedua negara juga turut mempengaruhi. Penembakan nelayan
Indonesia yang terjadi tahun 2003 di perbatasan, membuat suhu politik
memanas dan mengakibatkan ketatnya perbatasan kedua negara. Namun
pengawasan dilonggarkan bila tak terjadi apa-apa.

Awalnya, penduduk sekitar perbatasan merasa kesulitan karena urusan
imigrasi membutuhkan biaya yang relatif mahal untuk ukuran mereka.
Padahal paling tidak sebulan sekali mereka harus melintas batas, karena
kerabat mereka berada di TL. Banyak juga kasus dimana seorang petani
Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki tanah
pertanian di wilayah TL atau sebaliknya dan harus mengolahnya setiap
hari. Kondisi itu membuat banyak yang memilih cara ilegal untuk datang
dan pergi ke TL.

Panjang perbatasan Indonesia dengan Timor Leste kurang lebih 150
kilometer. Jarak itu terdapat 54 pos jaga dengan empat pintu perbatasan
utama yaitu; Motamasin, Motaain, Napan, dan Wini dengan lokasi zona
bebas Batugade. Pada hari biasa, kurang dari 200 warga melintasi empat
pintu perbatasan. Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur Kabupaten Belu
menjadi penting artinya bagi Indonesia dan TL.

Masyarakat Timor Barat (Indonesia) di daerah Soe dan Kefamenanu masih
banyak terikat budaya, bahasa daerah dan tali persaudaraan yang sama
dengan masyarakat Timor Leste di distrik Oecusi-Ambeno. Masyarakat
Indonesia di daerah Atambua masih banyak terikat budaya, bahasa daerah
(Tetun) dan tali persaudaraan yang sama dengan masyarakat Timor Leste di
distrik Maliana, Suai dan daerah TL lainnya, dengan agama mayoritas
Katolik. Sehingga, mobilitas penduduk yang cukup banyak terjadi antara
dua negara tersebut.

Untuk mereka yang berasal jauh dari perbatasan, bila ingin melintas
batas, rata-rata memakai jasa calo. Calo itu tahu benar titik lemah
perbatasan dan jalan tikus yang bisa mereka tempuh. “Saya mencari tahu
lewat kakak kelas sesama Timor bagaimana bisa kembali ke TL dengan tidak
adanya paspor di tangan,” kata Tesia, panggilan akrabnya. Benar saja.
Rute Yogyakarta- Bali-Kupang ditempuhnya memakai pesawat. Untuk mengurus
tiket, dia pakai kartu mahasiswa. Dari Kupang ke Atambua dia tempuh
memakai jalan darat. Dari Atambua dia menggunakan pas lintas batas
Motaain untuk ke TL.

Sebenarnya dia tetap harus menunjukkan paspornya. Tapi semua bisa
diakali. Tinggal menyisihkan seratus ribu rupiah dan calo yang
mengantarnya ke negeri sebelah. Bila calo kenal dengan militer yang
berjaga, akan lebih mudah. Tapi sebenarnya dia juga bisa menyogok untuk
mendapatkan Pas Lintas Batas (PLB).

Beberapa orang memakai Pas Lintas Batas. “Sangat mudah,” kata Veronica dos Santos seraya menunjukkan PLB. PLB
ini berlaku untuk pelintas batas tradisional dan untuk tujuan daerah
tertentu yang tak terlalu jauh. Artinya berlaku untuk orang-orang yang
bertempat tinggal di sekitar perbatasan, seperti para petani NTT
yang punya tanah di TL itu. Berlaku juga untuk mereka yang memiliki
kerabat di Timor Leste dan berkunjung secara berkala bila ada upacara
kematian. Selain itu penduduk sekitar juga memanfaatkan untuk
perdagangan skala kecil. PLB tidak berlaku untuk warga yang tinggal jauh dari perbatasan.

Perdagangan Semarak

Antusiasme pelintas batas antara Indonesia-Timor Leste di empat pintu
utama kedua negara naik terus sejak pertengahan 2010 lalu. Pejabat NTT mengatakan, tingginya antusiame itu katanya, karena warga sudah bisa menggunakan PLB.
Padahal sebelumnya harus membayar visa sebesar 30 dolar atau sekitar Rp
300 ribu lebih untuk keluar masuk. “Warga mengaku senang karena sudah
bisa menggunakan PLB,” katanya.

Di perbatasan, Tesia tak hanya menemukan kemudahan dalam masuk ke
Timor Leste. Dia juga mendapati kegiatan dagang di perbatasan ramai
sekali. “Banyak sekali truk yang mengangkut sembako dan beberapa orang
berdagang di sana,” katanya. Ini pertamakali baginya melihat kegiatan
perdagangan antara Indonesia dan Timor Leste di perbatasan. Sebelumnya
dia lebih banyak pergi ke Indonesia menggunakan jalan udara. Di mana
kegiatan perdagangan terlihat hanya melalui cargo-cargo di Bandara. “ Terbanyak sih saya melihat di pelabuhan Dili. Sepertinya barang-barang itu dari Surabaya,” katanya.

Dia juga menyaksikan perdagangan illegal seperti penjualan
bensin dan minyak tanah. Harga bensin di TL lebih mahal. “Di sana
sekitar $1.- seliter bensin. Bandingkan dengan Indonesia yang hanya 4500
rupiah saja,” katanya. Jadi tak heran kita banyak menjumpai pedagang
dari Surabaya dan Makassar di wilayah itu.

Memang banyak yang telah berubah di TL. Awal pasca merdeka,
pemerintah TL berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia
antara lain dengan menetapkan bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan
mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai “balas
budi” atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum.
Selain itu pemerintah Timor Timur merubah nama resminya dari Timor Leste
menjadi Republica Democratica de Timor Leste (RDTL)
dan mengadopsi mata uang dolar Amerika Serikat sebagai mata uang resmi.
Untuk jangka pendek, perubahan mata uang jadi dolar itu mengakibatkan
daya beli rakyat jauh menurun dibandingkan ketika masih menjadi provinsi
Indonesia.

Walaupun telah merdeka, Timor Leste masih sangat tergantung pada
pasokan barang-barang dari Indonesia mulai dari sembako sampai bahan
bakar minyak (BBM) terutama melalui provinsi NTT.
Australia pernah mencoba menguasai distribusi barang-barang kebutuhan
sehari-hari tapi gagal, karena terlalu mahal dan kurang dikenal rakyat
Timor Leste. Negara ini memiliki potensi terhadap minyak dan gas, namun
mereka menghadapi tantangan sosial dan ekonomi yang sangat berat dari
rakyat, karena kondisi ekonomi rakyat khususnya di daerah-daerah
pedalaman yang masih amat miskin. Tapi tak apa. Kondisi itu membuat
banyak orang Indonesia di NTT yang semula tak tahu sekarang menjadi tahu cara berdagang. Dan itu menguntungkan mereka. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37128

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :