Di negara berkembang seperti Indonesia, yang sebagian besar
konsentrasi masyarakatnya masih pada urusan perut, selain lagu, seni
kadang terasa jauh di awang-awang. Tidak membumi. Apalagi seni
instalasi, teater dan lukis.

Padahal seni bisa digunakan untuk bersuara. Mewakili perasaan
masyarakat akan sesuatu. Seperti di jurnalistik. Ketika jurnalistik
dibungkam, maka (seni) sastra yang berbicara untuk menyuarakan
kebenaran. Dan Jakarta memiliki Jakarta Biennale yang menyuarakannya. Tahun ini mengambil tema Maximum City.

Jakarta Biennale diadakan setiap dua tahun sekali, sejak
1968 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Pesta seni rupa kontemporer
internasional di Jakarta ini melibatkan 180 seniman lokal dan
internasional serta rentang waktu penyelenggaraan yang panjang ;
Desember sampai Januari.

Kelompok seniman berbasis multimedia asal London, Inggris The Light Surgeons ikut memeriahkan Jakarta Biennale ini dengan karyanya yang berjudul ‘LDN24’. Karya yang didukung the British Council itu memadukan antara film, grafis, gerak, cetak, fotografi, instalasi, pameran dan pertunjukan langsung (live). Karya multimedia tersebut akan menjadi salah satu puncak acara Jakarta Biennale.

Acara ini gegap menyapa publik. Seperti ingin menunjukkan, bahwa seni
tak di awang-awang. Seni mencakup kenyataan sehari-hari. Misalnya di
Taman Ayodya, taman di Kebayoran Baru yang selalu ramai dari pagi hingga
jelang subuh itu. Masyarakat kelihatan antusias melihat yang dipamerkan
di tengah taman. Mereka seakan belajar, bahwa seni adalah suatu hal
yang layak dinikmati oleh siapa saja. Bukan hanya oleh orang sibuk atau
orang yang kurang kerjaan.

Tertampilkan di sana, kubus-kubus bercetak digital dengan ilustrasi vektor wajah Wedha Abdul Rasyid, mantan ilustrator majalah Hai.
Sebagian karya yang tampil di Taman Ayodya adalah pahlawan lokal:
pengamen, pedagang kaki lima, pedagang burung di los jalan Barito yang
bisa dijumpai sehari-hari dan mereka kenal. Ada juga wajah tenar, yang
mungkin mewakili potret Bulungan sebagai kantong seni, misalnya Ray
Sahetapy, Alex Komang, dan Teguh Esha.

Karena yang ditampilkan meliputi seni instalasi dan koreografi, maka
acara ini tak hanya digelar di galeri-galeri saja. Tapi disebar di ruang
publik seperti Bunderan HI, Taman Menteng, Taman Adodya, Underpass
Grogol, kantor pos polisi sepanjang Jl. Thamrin, tiang-tiang pancang
monorail yang terbengkalai, hingga pusat perbelanjaan Central Park di kawasan Jakarta Barat.

Sungaipun jadi sasaran tempat pameran. Pada aksi koreografi karya
Poppy Parisa misalnya. Para penari melakukan teatrikal di tepi sungai
Ciliwung. Aksi teatrikal ini merupakan perpaduan karya koreografi dengan
kekuatan visualisasi seni instalasi. Dalam karya yang berjudul “Sungai
Merah”, aksi koreografi bertolak dari banyaknya mayat-mayat korban
pembunuhan yang dibuang di sungai-sungai Jakarta.

Peristiwa pembuangan mayat ke sungai-sungai di Jakarta ini memang
pernah terjadi sejak abad ke-18. Paling monumental adalah saat
pembantaian orang Tionghoa pada tahun 1740.

“Ada harapan, kecemasan, kegundahan, kebingungan, perkembangan
teknologi, dan lain-lain yang akan diekspresikan,” ujar Wakil Kepala
Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Tinia
Budiarti sebagai pihak penyelenggara menerangkan acara ini. “Silakan
menerjemahkan dengan sudut pandang masing-masing. Ini yang ingin
disampaikan oleh seniman, bahwa seni bisa menembus sosial, politik atau
sebagainya yang tidak bisa ditembus oleh pemerintah,” ungkap Tinia.
(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37759

Untuk melihat artikel Seni lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :