Bibir  Soetono (64)
terasa kelu. Matanya sembab menyaksikan jenazah istrinya, Sukemi, terbujur kaku
dihantam penyakit kanker. Sontak pikirannya melayang, betapa almarhumah
istrinya adalah perempuan yang tegar. Setiap sehabis subuh, istrinya berangkat
ke pasar membeli makanan kecil. Dengan modal Rp 25.000 ia membeli sekitar 30
sampai 50 macam kue untuk dijual kembali. Pulang dari pasar, Sukemi kemudian
menyiapkan sarapan pagi ala kadarnya untuk keluarga. Terkadang hanya nasi putih
dan sepotong kerupuk.  Soetono dan
istrinya hidup bersama seorang anak perempuannya Wiwit (26) dan seorang
cucunya, Riska (8). Wiwit (26) sudah bercerai dan kini  menganggur setelah pabrik tekstil tempatnya
bekerja tutup. Untuk membantu orang tua dan membiayai sekolah anaknya Wiwit
bekerja sebagai buruh cuci.

Soetono, Sukemi dan Wiwit, mereka sekeluarga adalah potret
nyata sebuah kegigihan. Saat Sukemi divonis menderita kanker payudara, mereka
sekuat tenaga mencari uang untuk pengobatan orang yang mereka cintai.

Wiwit bahkan sampai bekerja sebagai tenaga pengamplas kusen
di sebuah bengkel meubel. Pekerjaan yang seharusnya dilakoni seorang lelaki.
Usai menjadi buruh cuci, setiap sore Wiwit menjadi pengamplas kusen sampai jam
sembilan malam. Dengan waktu kerja sekitar lima jam ia dibayar Rp 12.000. Penghasilan
Soetono sebagai pemulung pun sangat pas-pasan, dari barang bekas yang terkumpul
selama seminggu, paling-paling ia hanya mendapatkan uang Rp 50.000 saja.

Meski digabung, penghasilan mereka jauh dari cukup. Uang
yang terkumpul yang sedianya untuk mengobati penyakit kanker Sukemi, hanya
cukup untuk mengurus surat
miskin saja. Setidaknya demi mendapatkan surat
GAKIN (Keluarga Miskin) yang bisa dipergunakan untuk mendapat pengobatan gratis
di rumah sakit, Soetono dan Wiwit menghabiskan Rp 15.000.

Sementara kanker payudara Sukemi sudah semakin parah.
“Setiap malam istri saya menangis menahan sakit di payudaranya.” ujar Soetono
lirih. Akhirnya berbekal surat
GAKIN, Sukemi bisa dioperasi di sebuah RS milik pemerintah daerah. Operasi  terbilang sukses meski Sukemi terpaksa
kehilangan satu payudaranya. Namun karena tidak punya biaya untuk pengobatan
lanjutan, luka bekas operasi tersebut menjadi infeksi dan bernanah. Bahkan kini
mulai muncul benjolan baru di payudaranya. Wajahnya semakin pucat, kulitnya
menguning. Ia kemudian dirujuk ke RS Cipto Mangunkusumo. Malang,
di sana Sukemi
tak dapat dirawat dengan alasan kamar rawat penuh. Akhirnya Sukemi dipaksa
untuk berobat jalan.

“Istri saya disuruh pulang, gimana mau pulang. Untuk jalan
saja dia sudah enggak sanggup.Lagipula ongkos juga sudah tidak punya” ujar
Soetono lagi.

Mereka bisa pulang ke rumah karena jasa seorang sopir taksi
yang bersedia mengantarkan tanpa memungut biaya. “Semoga di dunia ini masih
banyak orang-orang seperti sopir taksi tersebut.” kata Soetono.

Dua minggu kemudian sakit Sukemi semakin parah. Benjolan di
payudaranya semakin membesar diiringi darah yang bercucuran. Diantar Wiwit,
Sukemi kembali ke RS Cipto Mangunkusumo naik angkutan umum. Setidaknya butuh
tiga kali ganti angkutan umum.

Tak terbayang penderitaan hebat yang dialami Sukemi saat
harus terguncang-guncang di dalam angkutan umum.

Sesampainya di RS Cipto Mangunkusumo, lagi-lagi RS terbesar
se-Indonesia itu menolak merawat Sukemi dengan alasan kamar penuh. Sukemi
terpaksa pulang dengan dada yang berdarah-darah. Masih dengan angkutan umum.

Berkat bantuan seorang tetangganya, beberapa hari kemudian
Sukemi berhasil mendapatkan
perawatan memadai di sebuah Rumah Sakit pemerintah yang lain. Tapi keadaan
Sukemi sudah demikian parah. Hanya perlu satu minggu saja, penyakit kanker
tersebut merenggut nyawa Sukemi.

Ada
satu lagi potret buram yang membuat kita tercenung. Namanya Sawiyah (48) dan
Mutharah (13), Ibu dan anak itu tewas tenggelam di kolam bekas galian tanah tak
jauh dari rumah mereka. Menurut penuturan Suharto (45) suami Sawiyah, istri dan
anaknya itu tewas saat mencari kayu bakar untuk keperluan memasak.

Pasangan Sawiyah dan Suharto memiliki empat anak perempuan,
Linda (17), Lidya (15), Megawati (14) dan si bungsu Mutharah yang tewas bersama
Sawiyah.

Mereka berenam tinggal di sebuah rumah petak yang sempit di
daerah Duri Kosambi Tangerang. Dirumah tersebut tak ada satupun barang mewah,
kecuali sebuah pesawat televisi  kecil.
Suharto bekerja sebagai pedagang alat-alat rumah tangga keliling. Setiap hari
sehabis Subuh, ia menjajakan dagangannya dengan berjalan kaki sejauh puluhan
kilometer. Demi penghematan, Sawiyah sekeluarga sehari-hari memasak dengan kayu
bakar. Harga minyak tanh yang selternya mencapi Rp 7.000 tak sanggup lagi
dibeli oleh keluarga itu. Alhasil setiap sore, ditemani anaknya Mutharah,
Sawiyah mencari kayu bakar di sekitar kampungnya.

Namun sore itu merupakan sore yang kelabu bagi keluarga
Suharto. Sawiyah dan Mutharah diduga jatuh dan tenggelam di bekas galian berair
sedalam 3 meter. Galian itu berada di atas lahan terlantar tak jauh dari
rumahnya. Jumat sore pukul   17.00 WIB
jenazah sawiyah dan Mutharah ditemukan mengambang di galian tersebut. Sebilah
golok dan seikat kayu bakar menjadi saksi bisu kepergian mereka.

Suharto hanya bisa tercenung. Ia sama sekali tak menyangka
begitu cepat istri dan putri bungsunya itu pergi untuk selama-lamanya.

Kemiskinan memang menjadi persoalan besar bagi bangsa yang
kaya raya ini. Di tengah melimpahnya kekayaan alam, begitu banyak rakyatnya
yang didera kemiskinan. Tidak hanya Sukemi dan Sawiyah saja yang terenggut oleh
maut karena kemiskinan. Tetapi begitu masih banyaknya. Mungkin tak terhitung.

Sukemi dan Sawiyah memang sudah menjalani takdir mereka.  Tetapi, akan diamkah kita melihat kemiskinan
menggerogoti bangsa besar ini?

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31770

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Photobucket