KabariNews – Mengembara jauh hingga ke Negeri Paman Sam, Syarif tidak pernah membayangkan akan menjadi petani sukses. Bahkan ia berhasil menginspirasi warga Philadelphia untuk berbudi daya sayur mayur di pekarangan sendiri.

Haiqal mengecek tanaman brokoli

Haiqal mengecek tanaman brokoli

Syarif Syaifulloh namanya. Di Indonesia, ia memang belum banyak dikenal orang. Tetapi, siapa sangka kalau namanya sangat akrab di telinga warga Philadelphia, Amerika Serikat. Semua itu lantaran keuletan, ketekunan dan semangatnya yang besar di bidang bercocok tanam hingga berhasil menumbuhsuburkan puluhan jenis sayur mayur. Melalui kebun sayurnya di pekarangan rumah, pria Jawa kelahiran Desa Mendak, Banyuwangi, Magelang, Jawa Tengah itu pun menebarkan bulir-bulir cinta kepada lingkungan di hati warga Philadelpihia. Pada 2013, ia pun dianugerahi gelar Bapak Teladan (Fatherhood Award) dari Meternity Care Coalition.

Di luar perkiraan Syarif, hasil tanaman sayurnya bisa bermanfaat bagi banyak orang. Dalam benaknya saat itu, ia mau menanam sayur untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarganya. Maklum, sebagai umumnya orang Asia, Syarif tidak bisa lepas dari makan sayuran. Namun sayang, sayuran organik di Philadelphia sangatlah mahal. Pikirnya, saya harus menanam sayur.

“Dari situ saya terpikir memanfaatkan pekarangan di rumah untuk berkebun. Mulai dari media pot, lalu membibit sayuran sendiri, kemudian menanamnya di pekarangan. Kemudian saya coba memasyarakatkan cinta berkebun ini ke kalangan diaspora dan masyarakat sekitar. Respons mereka positif,” katanya.

Selain memenuhi kebutuhan dapur, bercocok tanam ini juga mujarab dalam menghilangkan stres. Selepas bekerja, kata Syarif, ia selalu ke pekarangan merawat kebun sayur. Ia sangat giat menaman sayur juga karena ingin mengenalkan alam kepada tiga anaknya, sekaligus membuat mereka tahu asal-usul leluhurnya di Indonesia. “Saya hidup di rantau dan anak-anak lahir di Amerika. Saya ingin mereka mengerti tanah leluhur saya dari Indonesia yang merupakan negara pertanian,” jelasnya.

Syarif juga senang ia lambat laun berhasil menularkan inspirasi menanam sayur kepada warga sekitar. “Alhamdulillah, tidak hanya keluarga, tetapi masyarakat sekitar tempat tinggal kami akhirnya ikut bergiat di kebun, meski tidak semuanya,” tambah Syarif kepada KABARI.

Pencapaian Syarif ini tentu diraih dengan susah payah. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. Beberapa kali Syarif menghadapi kendala sampai akhirnya bisa melaluinya dengan baik.

Tantangan 4 Musim

Kunjungan mahasiswa dari Temple University

Kunjungan mahasiswa dari Temple University

Pemenang adalah mereka yang tidak lantas putus asa dan menyerah. Begitupun Syarif. Ia terus berjuang, sekaligus tertantang dan mengulik, merancang strategi. Kendala utama yang dihadapinya adalah iklim, yang berbeda sekali dengan di Indonesia. Di Amerika terdapat 4 musim yang menuntut Syarif pandai beradaptasi dengan tanamannya. “Kendala yang saya hadapi adalah iklim, di mana dengan 4 musim saya harus mengetahui kapan waktu yang tepat untuk mulai membibit, menanam dan memanen,” ungkapnya.

Sebelum Musim Semi tiba, katanya, bibit-bibit disimpan dalam rumah dan baru dipindah keluar (ditanam) saat udara mulai hangat. Namun, tidak menutup kemungkinan pembibitan gagal total jika udara dingin tiba-tiba muncul, yang membuat tanaman layu dan mati. “Bila itu terjadi, saya harus membuat ulang bibit,” imbuhnya.

Kendala lain, Syarif harus berpacu dengan waktu, pasalnya ia hanya punya 7 bulan untuk memulai masa tanam hingga panen. Karena itu ia tidak bisa asal tanam, melainkan lebih jeli memilih tanaman jenis panen cepat atau lambat. “Kalau salah bulan, yang ada malah tidak menghasilkan apa-apa, karena keburu musim dingin tiba,” paparnya.

Syarif mengaku perlu kesabaran dan ketelatenan dalam mengurus kebun sayur. Tak hanya berpacu dengan musim, setiap saat ia juga harus memantau tanamannya dari serangan hama. “Saya mengecek satu per satu, apakah ada ulat yang menempel. Jika ada, langsung saya ambil. Ini terus saya lakukan tiap pagi, siang, sore, bahkan malam,” katanya. “Penting juga meyiapkan banyak air agar tanaman bisa ‘minum’ pada Musim Panas tiba.”

Berbagi Ilmu dan Sayuran

Kebun sayur, serba hijau menyenangkan

Kebun sayur, serba hijau menyenangkan

Pria yang juga pehobi menulis ini tidak memungkiri keahliannya bercocok tanam merupakan warisan dari kakek dan neneknya yang petani. Tapi ia sendiri mengaku mempelajari pertanian secara otodidak. “Saya bukan lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan tidak pernah belajar soal pertanian di Indonesia. Benar-benar belajar secara otodidak,” katanya.

Selama 5 tahun di Amerika, Syarif belajar banyak hal tidak hanya soal sayuran dan cara mengembangbiakkannya, melainkan juga belajar mengasihi sesama. Ia berbagi ilmu bercocok tanam hingga hasil panennya secara gratis. “Saya tidak menjual hasil panen, melainkan saya bagikan kepada masyarakat yang berkunjung ke kebun. Saya juga kirimkan ke masyarakat yang membutuhkan,” akunya, penuh syukur. “Dengan adanya kebun yang saya kelola ini, saya bahagia bisa menambah tali silaturahmi dengan berbagai kalangan,” imbuhnya.

Tak dinyana, kesenangannya berbagi ini bersambut dengan kasih yang tidak kalah hangatnya. Sejumlah perusahaan setempat, misalnya perusahaan minyak Amerika, Ever Green Energy, mempercayakan kepadanya untuk mengolah lahan seluas 400 meter persegi untuk ditanami sayur mayur organik. Saat ini ada 40 jenis sayuran yang berhasil ditanamnya, kebanyakan sayuran dari Asia, di antaranya cabai, pare, kedelai, kacang panjang, beet, brokoli, oyong/gambas, timun suri, wortel, sawi, umbi merah, dan masih banyak lagi.

Menjadi petani bukanlah cita-cita Syarif tatkala menginjakkan kaki pertama kali di Amerika. Sama seperti Diaspora lainnya, ia datang ke Negeri Paman Sam membawa mimpi untuk mengubah nasib. “Saya ke Amerika melalui misi kebudayaan,” akunya, lalu mencari peruntungan dengan bekerja serabutan. “Mulai jadi tenaga cleaning service, pelayan restoran, pekerja pabrik, tukang cuci piring, koki dan sebagainya. Semua sudah saya lalui sampai akhirnya pindah kerja di laundry pakaian. Dari situ saya ada waktu luang untuk menyalurkan hobi berkebun di pekarangan rumah,” katanya.

Dari hobi, Syarif kini semakin dikenal banyak orang, bahkan ia lebih terkenal dengan julukan ‘Pak Tani’. Segala peluh yang menetes saat merintis ikhtiarnya itu tidak percuma. Ia merasa senang dan bangga karena bisa menginspirasi dan berbagi ilmu dengan banyak kalangan. “Alhamdulillah, setiap summer tiba, kebun sayur saya banyak dikunjungi masyarakat, mulai dari anak-anak, orang tua sampai mahasiswa dari universitas. Mereka ingin belajar berkebun di tempat kami,” akunya senang.

Metode pengenalan kebun dibagikan kepada semua pengunjung yang datang, dari tahap awal sampai akhir, bahkan jika ada pengunjung yang masih belum jelas diperbolehkannya bertanya langsung. “Untuk siswa saya tidak membatasi. Biasanya mereka datang saat summer dan ada semacam tour guide untuk menerangkan proses berkebun, dari awal pembibitan, pembuatan kompos sampai penanaman. Saya terangkan secara detail.”

Lebih lanjut Syarif menjelaskan, bercocok tanam di Amerika tidak sama seperti di negara tropis. Diperlukan panduan khusus tentang proses tanam, perawatan sampai panen. Saking fenomenalnya, Syarif tak hanya dikenal oleh sesama Diaspora Indonesia, melainkan juga warga Amerika.

“Yang unik ada juga alumni dari IPB yang berkunjung. Kami berdiskusi tentang beragam kebun, jadi saling memberi masukan,” kata pria yang juga menyenangi seni pantomin itu.

Acara launching buku haiqal gardenUntuk melayani kunjungan orang Amerika, Syarif dibantu istrinya Ummu Hani yang kebetulan Ketua Indonesia Diaspora Network of Greter Philadelphia (IDN-Philadelphia). “Istri saya selalu membantu menjelaskan dan menerangkan ihwal mulai berkebun sampai saat ini menjadi percontohan urban garden untuk komunitas,” paparnya.

Baru-baru ini Syarif mendapat kehormatan. IDN-Philadelphia yang tengah menggarap pilot project Feed The Barrel/oil recycling. Ia dikunjungi oleh PA Inspector General Arthur Elkins dari Washington DC.

Untuk makin memperluas semangat berkebun, Syarif menulis buku berjudul Haiqal’s Garden, yang baru 22 April lalu diterbitkan di Amerika bertepatan dengan Hari Bumi. Buku anak-anak setebal 42 halaman itu ditulis menarik, lengkap dengan gambar. “Karena ketekunan saya dalam berkebun, ada publisher Amerika, Mrs Cynthia Kreilick dari Morning Circle Media tertarik untuk membuat buku anak-anak tentang urban garden,” katanya.

Buku Haiqal’s Garden yang ditulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris, itu diharapkan bisa menginspirasi anak-anak atau orang tua untuk mengenalkan cerita edukatif kepada anak sejak usia dini. “Saya ingin ada film cerita anak-anak yang bercerita tentang pertanian yang melibatkan anak-anak bermain, belajar untuk lebih dekat dengan alam,” pungkasnya. (1001)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/76969

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Hosana

 

 

 

 

kabari store pic 1