KabariNews – Jalan Margonda Raya berada selepas kampus UI Depok. Jalan sepanjang kurang lebih dua kilometer ini adalah penghubung utama Jakarta-Depok dan punya dua jalur, ke arah Depok dan sebaliknya. Seperti umumnya jalan utama, jalan ini juga macet dan padat. Apalagi kalau jam-jam sibuk, capek deh…

Namun bagi yang hobi makan, jalan Margonda boleh dibilang surganya makanan. Teman saya yang ikut hunting
makanan bahkan menantang, “Mau makan apa lo disini? lo Lihat tuh di kanan kiri, semuanya ada!” katanya saat mobil kami memasuki jalan Margonda. Memang benar, di kanan kiri jalan berderet berbagai tempat makan, mulai dari yang ala restoran sampai kaki lima.

Yang namanya makan, tentu saja insting saya langsung bekerja, kira-kira makanan apa yang enak disantap saat mendung begini? Di sebelah kanan, ada kedai Bolo-Bolo Fried Chicken, Japanesee Sukiyaki, Soto Kudus, Soto Iga Bakar, Bakmi Margonda, Soto Gebrak, Mie Pangsit 99, Ayam Goreng Suharti, Ayam Goreng Kremes, dan masih banyak lagi. Sementara di sebelah kiri ada Uya Kuya Pisang Kremes, Steak House, Sroto Banyumas, Warung Cacak Ayam Goreng Sambal ijo, Ayam Bakar Wong Solo, Soto Cak Wit, dan Mie Kocok. Yang disebut barusan hanya tempat makan ‘kelihatan’ karena memasang papan reklame. Sementara masih banyak lagi yang lain, apalagi yang ala kaki lima. tak terhitung jumlahnya!  Mobil kami terus menyusuri jalan Margonda hingga ketemu jalan Juanda yang menuju ke pusat kota Depok. Di jalan Juanda kami memutar balik ke arah Jakarta. Rupanya kami belum juga menentukan pilihan, sementara perut sudah keroncongan.

Akhirnya kami berhenti di kedai kecil yang menjual minuman ‘seram’, kedai minuman “Es Pocong”. Saya sempat protes, kok lapar-lapar begini cuma minum es? Teman saya menjelaskan, selain jual es Pocong, di situ juga ada tempe mendoan. Wah benar juga nih, dingin-dingin begini makan tempe mendoan  hangat. Karena penasaran, begitu masuk ke kedai bukannya duduk, saya malah nongkrong di dapur. Di sana ada seorang pegawai yang sedang meracik “Es Pocong”.

Setelah ngobrol-ngobrol berlaga seperti orang kaya yang mau beli banyak, pegawai tersebut mengatakan bahwa es Pocong terbuat dari bubur sumsum dicampur aneka sirup warna-warni, lalu diberi sedikit air soda dan dicemplungin potongan es batu. Selain Es Pocong ada juga Es “Black Magic”, “Kuntilanak”, “Drakula”, “Suster Ngesot” dan aneka minuman seram lainnya. Racikan minuman-minuman itu sebenarnya sederhana saja, seperti es Kuntilanak yang ternyata hanya air jeruk nipis ditambah soda dan sirup berwarna bening. Lalu kenapa namanya horor banget? Rupanya kedai ini cabang dari kedai Es Pocong yang terletak di sebelah kuburan Kober, Tebet, Jakarta Selatan.

“Berhubung ada di sebelah kuburan yang diasosiasikan seram, makanya sekalian saja dinamai Es Pocong, eh malah laku dan bikin penasaran orang” kata David pemilik kedai ini. Karena cukup laku, akhirnya Es pocong membuka cabang di jalan Margonda. Setelah menyeruput es Pocong dan es Kuntilanak, kami segera memesan makanan kampung nan favorit, tempe mendoan!

Sekedar informasi, makanan yang berasal dari Banyumas ini sebetulnya sama dengan tempe goreng tepung biasa, hanya saja tepungnya campuran dari tepung beras dan tepung tapioka. Sehingga ketika digoreng dia tidak mengeras seperti tempe goreng tepung biasa. Bumbunyanya pun gak ribet, cuma bawang merah, bawang putih, ketumbar, kencur dan garam. Mendoan dalam bahasa Jawa berarti “setengah matang”, nah tempe mendoan ini memang digoreng setengah matang.

Begitu tahu bahwa sepotong tempe mendoan yang besarnya setelepak tangan harganya cuma Rp 1.500, langsung saja saya pesan empat potong. Dijamin kenyang nih meski tidak sama nasi. Begitu pesanan tiba, selera makan saya langsung menggelora melihat asap ngebul dari tempe mendoan yang baru matang. Ditambah lagi disajikan dengan wadah kresek kayu dengan daun pisang. Wuih serasa di kampung beneran!

Supaya terasa komplit, kami juga diberikan beberapa potong cabe rawit. Tapi saya lebih memilih pakai saus sambal karena tinggal dicocol. Begitu kerongkongan terasa padat, segelas es kuntilanak langsung menyapu semuanya ke perut. Glek, benar-benar mantap! Saya langsung ingat teman-teman di Amerika yang setengah mati nyari tempe, Wah untung saya tidak tinggal di Amerika, kata saya geli sendiri.

Lebih dari sejam kami nongkrong di kedai itu, sebelas potong tempe mendoan kami tandaskan bertiga. Sementara suasana jalan Margonda mulai hiruk pikuk karena mendekati jam pulang kantor. Cuaca semakin mendung dan
hujan rintik-rintik mulai turun. Kami pun bergegas pulang tak ingin terjebak macet. Beberapa saat kemudian hujan turun dengan derasnya. Dari kejauhan jalan Margonda tampak mulai diterangi kerlap-kerlip lampu. Surga makanan itu semakin indah saja jika malam.(yayat)