Oleh: Raisa Kamila, Mahasiswa (semester I) Fakultas Filsafat, Universitas Gajah Mada

Pengantar: Naskah ini adalah pemenang pertama Kompetisi Esai
Mahasiswa 2010 “Menjadi Indonesia” yang diselenggarakan Tempo Institute,
Sekretariat Dewan Ketahanan Nasional, dan Perhimpunan Indonesia
Tionghoa
.

Setiap kali menjelang 17 Agustus, saya mendapati iklan peringatan
kemerdekaan yang selalu sama. Anak-anak bermain layang-layang di
pematang sawah, gadis-gadis dengan kemben dan sarung mencuci pakaian di
sungai, serta petani dan nelayan dengan senyum semringah bekerja secara
ikhlas. Lalu semuanya ditutup dengan kalimat mengenai semangat
nasionalisme pada hari kemerdekaan. Saya tidak percaya semua anak di
Indonesia riang gembira seperti yang saya lihat pada iklan itu. Ada
banyak anak yang tidak bisa sekolah, terpaksa bekerja, menjadi korban
pelecehan seksual, dan ada yang menjadi korban perdagangan anak. Kalau
saja saya boleh memilih, barangkali saya akan menolak dilahirkan dan
menjadi warga negara Indonesia. Tapi memang saya tidak bisa memilih
untuk bisa dilahirkan di mana dan oleh siapa. Saya lahir dan besar di
Banda Aceh. Saya cukup beruntung tinggal di ibu kota provinsi, yang pada
masa konflik “hanya” mendengar suara ledakan bom dan kontak senjata
dari belakang jendela kamar. Pada masa itu, di beberapa daerah banyak
anak yang mengalami nasib lebih buruk daripada sekadar mendengar suara
ledakan atau senapan.

Terkadang mereka menyaksikan bagaimana orang tua mereka dibunuh
secara terang-terangan, mendapati sekolah mereka terbakar. Bahkan,
setelah lima tahun kesepakatan perdamaian, masih banyak anak yang
menanyakan ayahnya yang belum pulang sejak masa konflik. Sewaktu kecil,
saya lebih sering merasa “menjadi Aceh” ketimbang “menjadi Indonesia”.
Saya tidak punya gambaran yang kuat tentang Indonesia kecuali
video-video artis cilik di televisi, dengan baju-baju bagus dan rambut
berkilat. Saya lebih sering bertanya-tanya, apakah saya yang dari Aceh
juga bisa tampil di televisi seperti itu? Sebab, saat itu Aceh cuma ada
di bagian berita tentang pasukan bersenjata dan orang-orang yang mati.

Ingatan saya yang lainnya tentang Indonesia adalah upacara. Saya
pertama kali mengikuti upacara pada hari Senin di kelas I sekolah dasar.
Saya diharuskan memakai atribut lengkap, berupa topi, dasi, ikat
pinggang, kaus kaki, dan sepatu hitam. Bagi saya, upacara hanyalah
kegiatan yang membosankan: berdiri di bawah terik matahari, dengan
bercampur bau keringat berusaha mengerti apa yang kira-kira dibahas
dalam amanat upacara. Lalu memberi hormat kepada Merah-Putih yang
dikerek pelan-pelan, sesuai dengan lantunan lirih lagu Indonesia Raya.

Guru-guru saya di sekolah dasar selalu menggambarkan bendera Merah
Putih sebagai simbol yang membanggakan seraya mengingatkan murid-murid,
betapa sulitnya mengibarkan bendera itu sebelum 1945. Merah sebagai
simbol darah yang tumpah dan keberanian para pahlawan. Putih mewakili
kesucian (dan saya tidak mengerti kesucian seperti apa). Saya tidak
merindukan upacara saat kegiatan itu mulai dilarang di Aceh. Saya justru
senang karena saya tidak perlu terburu-buru datang ke sekolah pagi-pagi
untuk mengikuti kegiatan upacara, yang menurut saya sia-sia. Kelalaian
saya pada upacara-upacara sewaktu kecil dan kealpaan upacara hingga
sekolah menengah pertama membawa akibat yang buruk di kemudian hari.
Pada awal sekolah menengah atas, saya mengikuti pelatihan Pasukan
Pengibar Bendera (Paskibra) untuk seleksi tingkat provinsi. Meskipun
tidak bisa membedakan kanan dan kiri secara pasti, saya cukup menguasai
peraturan baris-berbaris dengan mengikuti gerak teman-teman: hadap
kanan, hadap kiri, belok kanan, dan maju jalan.

Suatu kali saya disuruh menghibur teman-teman dengan menyanyikan
sebuah lagu. Sebagai calon Paskibra, saya diminta menyanyikan lagu
Indonesia Raya. Saya langsung gelagapan sambil melirik teman-teman,
memohon bantuan. Saya menyanyikan lagu Indonesia Raya secara tidak
keruan, salah bahkan pada lirik pertama. Saya tidak terpilih menjadi
anggota Paskibra, nasionalisme saya diragukan.

Menjelang tahun kedua di sekolah menengah atas, sekelompok teman yang
mengaku prihatin atas rendahnya “kesadaran cinta negeri” meminta
sekolah saya mengadakan tiang bendera untuk upacara pada hari Senin.
Sebelumnya, di sekolah saya upacara hari Senin berlangsung tanpa
bendera, tanpa lagu Indonesia Raya dan hening cipta. Pihak sekolah lalu
menyanggupi untuk mengadakan tiang bendera. Hari pertama upacara
menyebabkan banyak teman pingsan, termasuk para anggota Paskibra.

Pada upacara-upacara selanjutnya, kami mulai menjadi biasa dengan
bendera, meskipun saat anggota Paskibra menarik bendera dari lipatannya
dan berteriak “bendera siap”, bendera Merah Putih justru terbelit dan
anggota Paskibra mengulangi lagi semuanya sampai bendera bisa terbuka
secara berkibar. Karena kejadian yang terus berulang nyaris sepanjang
semester, guru-guru kami ikut ragu akan kesungguhan kami. Kami yang
lalai dalam upacara dituding sebagai generasi muda yang tidak paham
makna kemerdekaan, yang diperjuangkan oleh para pahlawan.

Pada suatu kesempatan, saya pun ragu akan nasionalisme beberapa teman
dari Swiss dan Jerman yang bahkan tidak tahu judul lagu kebangsaannya.
Namun mereka mengatakan, bahwa mereka cinta pada negaranya bukan karena
sejarah yang panjang dan kekayaannya. Mereka cinta pada negaranya
semata-mata karena mereka pun merasa negara mencintai mereka. Bagi
mereka, syarat mutlak sebuah negara dicintai adalah ketika negara
tersebut mampu melayani dan menjamin kebutuhan dasar setiap warganya.

Sayangnya, Indonesia belum sepenuhnya mampu. Bentuk kekecewaan saya
pada pemerintah membuat saya sering kali terlibat dalam aksi menuntut
perhatian pemerintah untuk pemenuhan hak-hak dasar warga negara, sambil
bersorak “pemerintah tidak becus”. Beberapa teman saya berkomentar
seperti ini: “Kenapa kalian terus-menerus melakukan aksi? Pemerintah itu
sudah bekerja semampu mereka. Dan bagi kalian, semua itu tidak pernah
cukup. Mengapa terus menuntut negara yang menurut kalian tidak berbuat
apa-apa? Sementara itu, apa yang sudah kalian perbuat untuk negara ini?”

Lantas saya harus bagaimana? Saya memang pesimistis terhadap apa yang
disebut teman saya itu sebagai “bekerja semampu mereka”. Kerja
pemerintah yang saya lihat sejauh ini hanya mengedepankan kepentingan
operasional lembaga, pemimpin, dan anggotanya. Berita di televisi jelas
menggambarkan, bahwa kerja pemerintah lebih sering menyerupai
telenovela, berlarut-larut dan mengaduk emosi. Sebagai penonton yang
santun, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu mengapa saya harus bangga
pada Indonesia?

Sia-sia menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan penuh semangat dan
datang ke upacara ketika pada saat yang sama saya mengetahui ada anak
yang mati bunuh diri karena tidak sanggup membayar uang sekolah. Saya
malu melafalkan Pancasila dengan lantang ketika mengetahui setiap sila
tidak bermakna. Apakah ada Ketuhanan Yang Maha Esa ketika sekelompok
orang dari umat dilarang melakukan ibadahnya? Apakah ada Keadilan Sosial
bagi Seluruh Rakyat Indonesia ketika perempuan dan laki-laki yang
dituduh ber-khalwat diadili secara massal, sementara orang-orang yang
dengan terang mencuri uang negara dibiarkan bebas tanpa peradilan?

Tiap tahun saya mendapati perayaan 17 Agustus hanya berupa upacara
bendera, pawai pakaian daerah dan kendaraan hias, serta lomba makan
kerupuk dan panjat pinang. Sejarah-sejarah heroik tentang perjuangan
kemerdekaan selalu diceritakan dengan gagah dan lantang, sementara
refleksi bagaimana negara ini selama 65 tahun bertahan dengan susah
payah menjadi rahasia umum yang tidak perlu dibuka.

Iklan-iklan di televisi cukup memberi gambaran betapa yang layak
dibanggakan dan dicintai di negara ini seakan-akan hanyalah
“keindah-aneka-ragaman budaya Indonesia”. Sikap nasionalisme seakan-akan
terbukti ketika kita melakukan voting terbanyak untuk masuknya Pulau
Komodo sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia. Tindakan memaki Malaysia
yang “mencuri budaya Indonesia” seolah mengukuhkan seseorang menjadi
pahlawan. Barangkali Indonesia memang tengah berusaha dengan susah payah
untuk menjamin kelayakan hidup setiap warganya, untuk mencintai
warganya, yang entah sial atau beruntung menjadi bagian dari Indonesia.
Namun bukankah tidak mudah untuk terus bertahan dalam keadaan “cinta
bertepuk sebelah tangan”?

Jika tawaran-tawaran untuk menjadi bangga dan cinta pada Indonesia
hanya tersedia dalam paket-paket sekejap-siap-jadi, lebih baik saya
tidak menjadi Indonesia. Sebab, bagi saya, apa yang disebut
“nasionalisme” semacam itu hanya semacam topeng kaca. Terlihat indah dan
menakjubkan namun sebenarnya justru palsu sekaligus ringkih.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36197

Untuk
melihat artikel Khusus lainnya, Klik
di sini

Klik
di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported
by :