Festival
Film Indonesia (FFI) kembali digelar di penghujung 2011. Sebanyak
enam belas film masuk nominasi dalam 12 kategori dan tiga film
menjadi kandidat tersukses peraih nominasi terbanyak.

“Film
‘?’ karya Hanung Bramantyo, sutradara terbaik 2005 dan 2007, ‘Masih
Bukan Cinta Biasa’ besutan Benni Setiawan, sutradara terbaik FFI
2010, dan ‘Sang Penari’ dari sutradara muda Ifa Isfansyah meraih
masing-masing sembilan nominasi FFI 2011,” kata Ketua Bidang
Penjurian Film Bioskop FFI 2011, Totot Indrarto (27/11) seperti yang
diberitakan Antara.

Selain tiga film tersebut, dua film
lainnya, ‘The Mirror Never Lies’ karya Kamila Andini dan ‘Tendangan
dari Langit’ karya Hanung Bramantyo memperoleh tujuh dan empat
nominasi. Rencananya, dewan juri akan memilih seluruh Pemenang Piala
Citra, dalam Malam Anugerah Piala Citra FFI 2011 di Hall D Kemayoran,
Jakarta pusat, pada Sabtu 10 Desember mendatang.

Totot
menjelaskan tentang banyaknya jumlah film yang mendapatkan nominasi
tahun ini merupakan konsekuensi sistem baru penjurian film bioskop,
di mana pemilihan nominasi dilakukan oleh Komite Nominasi yang
terdiri dari 21 pekerja film yang bekerja dalam tujuh Sub Komite,
yakni Penyutradaraan, Penulisan Cerita dan skenario, Pengarahan
sinematografi, Pengarahan Artistik, Penyutingan Gambar, Penataan
Suara dan Musik, serta Pemeranan.

Totot menyebut untuk tahun
2011 ini tren film populer masih didominasi oleh film drama. Namun,
untuk genre lain juga menunjukkan perkembangan yang baik. “Film
drama masih mendominasi, bagaimana isu dicapai. Tetapi tema olahraga,
bahkan ronggeng juga muncul,” ucapnya.

Sang Penari, bersetting pemberontakan PKI

Film
Sang Penari yang terinspirasi dari trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari , mengisahkan kehidupan Srintil ronggeng dari
Dukuh Paruk pada era 1960an. Bertahun-tahun Dukuh Paruk kehilangan
“kehidupannya” setelah kejadian keracunan massal tempe
bongkrek yang menewaskan warga Dukuh Paruk dan salah satunya
korbannya adalah Surti, seorang ronggeng dukuh tersebut.

Srintil
(Prisia Nasution), yang sejak kecil suka menari diyakini memiliki
indang atau roh ronggeng, kemudian oleh kakeknya, Sakarya (Landung
Simatupang) gadis itu dibawa ke dukun ronggeng, Kertareja (Slamet
Raharjo) agar “dipoles” menjadi ronggeng yang sesungguhnya.
Kehidupan Dukuh Paruk kembali bergairah setelah memiliki ronggeng
yang baru, terlebih lagi pesona Srintil mampu membuat dirinya menjadi
ronggeng yang terkenal.

Namun
ketenaran Srintil sebagai seorang ronggeng justru membuat tidak
senang Rasus (Oka Antara) teman sepermainannya sejak kecil yang
ternyata mencintainya. Terlebih lagi seorang ronggeng tidak hanya
dituntut mampu membawakan tarian namun juga melayani lelaki.

Rasus
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Dukuh Paruk dengan
cintanya kepada Srintil dan kemudian masuk menjadi
tentara. Sepeninggalan Rasus, ronggeng Dukuh Paruk semakin berkibar
hingga kesenian tersebut akhirnya direkrut oleh sebuah partai untuk
menarik massa dalam setiap aksi propagandanya.

Angin
ternyata berbalik, kegagalan Gerakan 30 September di Jakarta,
akhirnya merembet hingga ke Dukuh Paruk yang harus menerima akibatnya
karena “keterlibatannya” dalam tragedi tersebut.

Sebagai
film yang memotret pasca tragedi 1965, Sang Penari bisa dibilang
cukup berani, karena sang sutradara menampilkan adegan pembantaian
massal yang dilakukan TNI terhadap masyarakat yang diindikasikan
terlibat ataupun anggota partai komunis.

Seperti
yang diakui oleh penulisnya, Ahmad Tohari, bahwa dia tidak seberani
Ifa Ifansyah dalam melukiskan pembunuhan massal tersebut. “Novel
ini saya tulis tahun 1980an. Saya takut jika menulis terlalu vulgar
bisa-bisa peluru menembus kepala saya,” kata pria kelahiran
Kabupaten Banyumas 1948 itu.

Keberanian
Ifa yang juga sutradara Garuda Di Dadaku, mengangkat novel Ronggeng
Dukuh Paruk dari sudut pandang politik dalam negeri era 1960an bisa
jadi menjadi selling point Sang Penari.

Hingga
saat ini masih minim film nasional yang mengambil tema pemberontakan
PKI, kalaupun ada baru tiga yakni “Pemberontakan G30S/PKI”
yang menjadi tontonan wajib pada masa orde baru, kemudian “Gie”
serta “Sang Penari”.

Sebenarnya
bukan baru kali ini Ronggeng Dukuh Paruk diangkat ke layar lebar.
Pada era 1980an sutradara Yasman Yazid memfilmkannya dengan judul
“Darah dan Mahkota Ronggeng”.Namun saat itu, film yang
dibintangi Eny Beatrice sebagai Srintil dan Ray Sahetapy sebagai
Rasus, hanya mengambil sudut pandang kehidupan ronggengnya dan
menonjolkan sisi erotis dan seks. “Karena itu saya tidak pernah
menonton film tersebut hingga saat ini,” kata Ahmad Tohari yang
mengaku kecewa.

Yang
juga patut diapresiasi dari Sang Penari yakni terlihat sekali unsur
ke-Indonesiaan, bahasa Banyumas sangat mendominasi dialog-dialognya,
tidak sekedar tempelan satu dua kata, sehingga warna lokal begitu
kental.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37588

Untuk melihat artikel Film lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :