Bali tak sebatas Kuta, Sanur, Kintamani atau Jimbaran. Bali juga memiliki pantai dan bukit Timbis. Memang, tak banyak orang tahu tentang bukit ini. Bahkan seorang Bali kadang berucap, dija ? (red, dimana). Bila anda penggemar olahraga dirgantara dan kebetulan ke Bali, sekali-kali tengoklah pantai yang bagi penggemar paralayang, adalah surga.

Timbis tak jauh dari kawasan pariwisata, Nusa Dua Bali. Secara administratif, terletak di desa Kutuh, Kecamatan Kuta, Badung, Bali. Untuk mencapai lokasi ini dari Denpasar, dibutuhkan waktu tempuh 40 menit – 1 jam. Bila dari Kuta hanya berjarak sekitar 15 km. Sedangkan Nusa Dua hanya 7 kilometer dari Timbis.

Bagi orang lokal, desa Kutuh lebih terkenal dibanding Timbis. Karina tempat ini merupakan salah satu desa penyuplai rumput laut terbesar Bali ke Cina. Usaha ini sudah dilakukan sejak tahun 1985 tapi baru lebih berkembang lagi sekitar tahun 1997. Saat ini desa Kutuh sufah lebih sejahtera berkat budidaya rumput laut. Dilihat dari atas bukit, hamparan pesisir laut terlihat indah dan menarik. Tanaman rumput laut yang tertata rapi menjulur kearah lepas pantai membuat pantai ini sangat menyenangkan mata. Tebing terjalnya memisahkan antara bukit Timbis dan laut terlihat seperti mematahkan kedua dataran.

Sering-seringlah bertanya bila berniat ke bukit ini. Jalan menuju ke sana sangat tidak menyolok. Bisa masuk dari sebuah kompleks perumahan. Bisa juga melalui jalan desa Jimbaran melalui Universitas Udayana. Tak banyak petunjuk jalan menuju ke tempat itu. Kalaupun ada, kadang tertutup oleh pepohonan dan rumput yang tinggi. Jalanan menuju ke tempat itu pun hanya selebar satu mobil. Jalanannya menanjak, kadang berbatu. Sesekali ada rumah penduduk, tapi tak banyak.

Pantai dan bukit ini, eksklusif bagi para penggemar paralayang atau terbang layang Indonesia. Bagi mereka yang menekuni hobi ini baik dari mancanegara atau lokal Indonesia, Timbis bukanlah tempat asing. Awal mulanya, Timbis diperkenalkan oleh Bernard Fode. Seorang pebisnis warga Prancis yang juga instruktur paralayang Bali. Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, saat itu wilayah Bali yang bisa menjadi tempat olahraga dirgantara adalah Candidasa dan Kintamani.

Pantai Timbis bisa berfungsi dua sekaligus; tempat terbang (take off) dan mendarat (landing) Namun, beberapa pilot paralayang memakai bukit sebagai tempat terbang dan pantai sebagai tempat mendarat. Bila seorang pilot paralayang memutuskan untuk mendarat di pantai, maka dia harus memakai sepeda motor untuk kembali naik ke bukit. Panjang launching ramp (tempat terbang) bukit ini kurang lebih 50 meter.

Hembusan angin yang tetap juga merupakan pertimbangan suatu tempat bisa dipakai untuk landasan terbang. Bukit Timbis, walau berketinggian 80 meter dari permukaan laut, merupakan daerah paling tinggi dibanding sekitarnya. Tebingnya cukup tajam dan disapu angin dari laut. Karena itu, sepanjang waktu terjadi turbulance yang mendorong paralayang atau gantole terangkat ke udara. Menurut salah satu pilot paralayang berlisensi internasional, IGP Bimaputra, olahraga ini memerlukan angin dengan kecepatan ideal, 25 km per jam. “ Minimal 10 km perjam bisa terbang, meski tak diharapkan bisa lama,“ katanya.

Timbis memenuhi semua persyaratan ini


Sekilas, paralayang adalah olahraga yang cukup mahal. Untuk alat berupa payung dan harnes (penyangga tubuh) saja, pecinta paralayang harus mengeluarkan biaya puluhan juta rupiah. “Namun jangan salah, olahraga ini hanya memerlukan angin dan thermal (panas dari bumi) untuk menerbangkan payung,” kata Bima. Bandingkan dengan olahraga terjun payung atau paramotor yang memerlukan biaya tambahan untuk bahan bakar dan pesawat pengangkut.

Dari suku katanya paralayang adalah sejenis alat angkut untuk terbang dengan menggunakan parasut sebagai sayap dan benang nilon dengan kekuatan tertentu sebagai penggantungnya. Penyangga tubuh (harnes) dipakai untuk tempat duduk. Biasanya ada tiga ukuran kekuatan. Mirip ukuran pakaian S,M,& L (small, medium & large)

Harnes ini pun punya banyak fungsi. Yang utama adalah tempat kemudi. Kedua sebagai pembungkus payung dan ketiga sebagai tempat payung cadangan darurat. Sedang keempat adalah untuk membawa ekstra pemberat kalau angin agak kencang. Fungsi lain juga sebagai tempat pengaman cadangan yang disebut kantong udara. Kantong ini dari punggung harnes sampai ke bagian bawah. Harnes utama juga merupakan pemegang harnes tambahan . Harnes tambahan ini biasanya dipakai untuk mengangkut penumpang atau tandem.

Timbis banyak dikunjungi turis mancanegara pada bulan Agustus hingga bulan Desember. Puncak kepopuleran pantai Timbis adalah saat dipakai untuk acara Asian Beach Games tahun 2008. Diikuti oleh 42 negara-negara Asia. Dari 18 cabang olah raga yang dipertandingkan, salah satunya adalah olahraga Paralayang ini.

Saat itu juga, Museum Rekor Indonesia (MURI) mencatat rekor terbang 88 penerbang paralayang pada tanggal 8 bulan 8 tahun 2008. Mereka terbang bersamaan dan membentuk formasi tertentu. Prestasi lain juga dilakukan dua orang penerbang, dr Elisa Manueke dan Ahmad Sujaki juga berhasil memecahkan rekor MURI berparalayang terlama, yaitu selama delapan jam di Timbis. Penerbangan ini sekaligus sejarah pemecahan rekor nasional terbang terlama sebelumnya.

Jadi, bila Anda ingin berparalayang singgahlah ke Timbis. Meski tak miliki peralatan dan bukan seorang pilot paralayang, jangan kawatir. Beberapa profesional di sana menyediakan jasa terbang bersama (tandem). Dengan begitu, Anda dapat melihat pemandangan sangat indah tampak dari ketinggian dengan hamparan samudera Hindia dan bibir pantai yang yang masih asli. Kita juga dapat melihat dari atas beberapa hotel dan aktivitas di darat yang sangat menarik.