Senin sore, langit Jakarta mendung. Lobi Terminal IV Bandara
Soekarno-Hatta, sekitar pukul 15.30 penuh sesak. Ratusan ibu berbaju kurung
hitam dan berjilbab hitam tampak sibuk. Sebagian menurunkan tas dari bus
bandara, yang lain sibuk dengan anak dan bayi mereka. Ada yang menangis. Ada juga yang tertawa dan bermain dengan
sesama mereka dalam bahasa Arab.

Sebagian besar anak itu berwajah campuran Indonesia-Arab dan tidak bisa
berbahasa Indonesia.
“Ta’al, ijlis (sini, duduk),” ujar seorang ibu memanggil anaknya yang
bernama Saiful. “Begini ini, kalau peranakan Arab. Bandel,” ujar
perempuan 37 tahun itu sambil tersipu.

Namanya, Iis (bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang di antara 301 WNI dan
tenaga kerja Indonesia (TKI) berstatus overstay alias tinggal melebihi batas
izin di Arab Saudi yang sore itu tiba di tanah air. Mereka diterbangkan dari
Jeddah, Arab Saudi, dengan menggunakan pesawat komersial setelah mendapatkan
izin keluar dari otoritas setempat. Mereka tiba dengan pesawat Garuda Indonesia
GA 981 di Terminal 2D Bandara Soekarno-Hatta. Mereka terdiri atas 238
perempuan, 26 anak, dan 37 bayi.

Iis bukan kali pertama ini dideportasi dari Arab Saudi. Anak pertamanya yang
bernama Nutfah, 10, juga merupakan Indo-Arab. Namun, bocah cantik itu lahir di Indonesia. Iis
mengaku bersuami orang Syria
dan pulang untuk menjenguk sanak saudara.

Lalu, mengapa ikut rombongan yang
sebenarnya dikhususkan bagi para WNI yang terlantar? “Sebab, saya juga
sudah tidak punya biaya. Beli tiga tiket pulang ke Indonesia, mahal,” katanya.

Diantara total 301 WNI yang dipulangkan dengan angkutan pesawat gratis
tersebut, 129 orang bukan TKI resmi. Mereka berangkat dengan paspor umroh,
lantas bekerja dan tinggal di Arab Saudi bertahun-tahun. Mereka mendapatkan
gaji dua kali lipat lebih tinggi daripada buruh migran resmi. Sebab, dengan
mendatangkan TKI ilegal itu, majikan tidak perlu membayar mahal agen penyedia
jasa TKI di sana.

Munih, TKI asal Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), adalah salah seorang
TKI dengan modus itu. Selama ini, dia
digaji 1.200 riyal. Umumnya, TKI biasa digaji 600 riyal. Munih berangkat pada
2004 dan telah mengumpulkan uang untuk membeli tanah dan rumah di kampung
halaman. Dia mengakui, bekerja sebagai TKI seperti yang dilakukannya, sangat
beresiko. Selain rentan berurusan dengan hukum, dia tidak mendapat jaminan
keamanan jika ternyata diculik atau diperkosa majikan.

Majikan juga lepas tangan jika dirinya sampai terjaring razia imigrasi
setempat. Biasanya, dia bersembunyi dan kerap menyamar menjadi orang Arab
dengan mengenakan cadar dan irit berbicara. Tapi, Munih memiliki seorang
“pelindung” yang siap menebus serta menyogok petugas imigrasi Saudi
jika sampai tertangkap. “Nanti uang sogokan dipotong dari gaji saya.
Habis, kadang tidak betah di rumah kalau libur,” ujarnya.

Selain Munih, ada Ismaloji yang mengaku berasal dari Surabaya, Jawa Timur. Perempuan kelahiran 10
Januari 1990 itu bekerja di Saudi sejak 2005. Perempuan berdarah Madura
tersebut baru berusia 15 tahun ketika kali pertama berangkat ke Saudi. Di
Imigrasi Perak Surabaya, usia perempuan itu diubah menjadi kelahiran 1971.
“Sudah ada yang mengurus. Saya tinggal ikut,” ungkap gadis berparas
manis tersebut.

Perempuan yang disapa Is itu kemudian bertemu sang suami yang bernama Ibrahim
ketika berada di Saudi. Di sana,
dia mendapat gaji 800 riyal, belum ditambah gaji suami yang bekerja sebagai
sopir 1.000 riyal. Dengan gaji itu, keduanya berhasil membeli rumah di kampung
halaman. Selama berada di Saudi, Is menyatakan tidak pernah hidup kekurangan.
Dirinya bahkan masih sering berkirim uang ke kampung halaman.

Dia mengaku sengaja menelantarkan diri dan menyerahkan diri kepada petugas imigrasi
setempat agar bisa dideportasi. Selama ini, dia menelantarkan diri di tepi
jalan di Kedutaan Besar RI sebelum diangkut ke penampungan oleh
imigrasi Saudi.

Kisah lain yang tak kalah menarik dialami Siti Zulaikha, 28. TKI asal Bangkalan
itu juga mengaku nekat berangkat ke Saudi dengan hanya bermodal paspor serta
uang hasil menjual sawah. Dia membeli tiket untuk umroh dan berangkat sendiri
ke Jeddah. Bermodal keahlian bahasa Madura, dia bisa bertahan dan bekerja
selama empat tahun di sana.
Siti pun membawa uang hasil jerih payahnya yang berjumlah 20 ribu riyal atau
sekitar Rp 50 juta dalam bentuk tunai.

Siti tidak sempat telantar. Sehari menyerahkan diri ke kantor imigrasi dan
langsung diangkut ke penampungan. Menurut Siti, hampir semua yang dipulangkan
pada gelombang pertama tidak pernah berada di kolong Kandara (lokasi di Jeddah
yang sering dijadikan tujuan para TKI yang telantar). Sebab, mayoritas adalah
mereka yang menyerahkan diri ke KBRI dan menelantarkan diri di sekitar kantor
perwakilan RI. Kebanyakan TKI yang ada di kolong Kandara belum mendapatkan exit
permit atau izin untuk deportasi.

Siti mengatakan, pemulangan gratis
seperti itu paling dicari TKI seperti dirinya. Mereka bisa menghemat biaya tiket pesawat yang
harganya berkisar $US
410 atau sekitar Rp 4 juta. Kebanyakan TKI yang menyerahkan diri adalah mereka
yang memang berniat pulang ke Indonesia.
Sementara itu, mereka yang berada di kolong Kandara dan masuk kategori
bermasalah harus menyelesaikan proses administrasi seperti gaji yang belum
dibayar.

Siti menyatakan lebih senang berada di penampungan atau tarhil. Tarhil adalah
tahanan imigrasi milik pemerintah Arab Saudi. Di sana mereka mendapat fasilitas mirip hotel,
yakni makan tiga kali sehari, AC, dan tentu air yang menyala 24 jam. Menurut
dia, jika menggelandang di Kandara, air hanya dinyalakan ketika jam salat.
Selain itu, keamanan juga tidak terjamin. Karena harus tinggal berdampingan
degan buruh migran asal Bangladesh
dan India.

Siti mengatakan belum kapok untuk ke Arab Saudi. Karena bagi dia, berada di sana masih lebih baik
daripada harus menjadi penganggur di kampung halaman. “Kalau bisa saya
masih mau kembali. Ya, saya berterima kasih kepada pemerintah karena telah
memulangkan saya,” ujarnya.

Tapi tak semua TKI seberuntung Siti atau Iis. Susi asal Garut misalnya.
TKW ini tak diketahui nasibnya. Seperti yang dituturkan orangtuanya, Tiktik
Sartika. Tiktik mengatakan, Susi berangkat pada tahun 2003 dengan kontrak
selama dua tahun. Dua tahun itu, Susi masih berkomunikasi dengan orangtua dan
saudaranya di Garut.

Namun setelah dua tahun
bekerja hingga saat ini, tidak ada kontak lagi dengan Susi. Diakui Tiktik, Susi
pernah menghubungi keluarga melalui tetangga. Dia hanya mengatakan ingin pulang ke tanah air
tapi tidak diizinkan oleh majikannya.

Tiktik juga mengatakan pihak keluarga sebelumnya pernah mendapatkan informasi
dari Susi bahwa selama bekerja Susi tidak mengalami penyiksaan atau perlakuan
tidak manusiawi. Hanya saja, Susi kerap disuruh untuk bekerja di tempat
tetangga majikannya. Sejak bekerja di Arab Saudi pula, Susi tidak pernah
mengirimkan uang kepada keluarga.

Untuk share atrikel ini klik www.KabariNews.com/?36364

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :