Di Jakarta, jarak satu tempat dengan tempat lainnya tak
ditentukan dengan berapa kilometer, tapi tergantung waktu tempuh. Waktu
tempuh pun harus diperhatikan; pagi, siang, sore atau malam; hari kerja
atau akhir pekan. Jadi waktu tempuh bandara Soekarno – Hatta ke jl
Gatot Subroto bisa hanya 1 jam bila hari Minggu siang. Namun bisa jadi 2
bahkan 2,5 jam bila ditempuh Senin siang.

Seperti kota metropolitan lainnya, waktu memang sangat berharga. Waktu tak saja sebatas uang tapi juga energi. Survei
tahun 2007 memperlihatkan, bahwa di beberapa ruas jalan utama di
Jakarta, 40 persen dari waktu berkendaraan merupakan waktu bergerak.
Sisanya, 60 persen, adalah waktu hambatan.

Ini berarti, bila kita berkendaraan akan lebih banyak berhenti
dibanding berjalan. Kemacetan yang bertambah parah dan makin lamanya
waktu perjalanan merupakan faktor yang menyebabkan turunnya empati
sosial pengendara di Jakarta. Akibatnya, jalan menjadi arena persaingan
yang pada akhirnya memunculkan wajah transportasi yang jauh dari kesan
manusiawi.

Penyebab kemacetan sering kali dibebankan pada kurangnya panjang
jalan. Jalan hanya bertambah sebesar 0,01 persen per tahun, sedangkan
kendaraan bermotor bertambah sekitar 9.5 persen per tahun.

Banyak pembangunan jalan baru; underpass atau flyover
di tengah kota. Pada awalnya kemacetan akan berkurang, namun beberapa
bulan kemudian penggunaan kendaraan pribadi akan meningkat dan volume
lalu lintas lebih besar.

Revolusi Sistem Transportasi Massa dan Kendala Budaya

Banyak negara berkembang terbukti berhasil melakukan suatu revolusi
transportasi massa di kota metropolitannya. Kota Seoul, dengan penduduk
dan luas area yang hampir sama dengan Jakarta, memberikan pelajaran yang
berharga bagi para ahli transportasi di dunia. Seoul telah memecahkan
masalah transportasi untuk perjalanan sebesar 30 juta per hari.

Wali Kota Lee Myung Bak (kini Presiden Korea Selatan) mereformasi
cara berpikir transportasi dengan mengurangi jumlah jalan yang ada di
tengah kota. Yang dilakukan adalah meruntuhkan 5,8 km jalan layang bebas
hambatan di tengah kota dan mengubahnya menjadi sungai (Cheong Gye Chong Restoration Project). Lee juga menutup salah satu simpang jalan terbesar dan mengubahnya menjadi ruang terbuka hijau, meruntuhkan beberapa fly over, dan mengurangi jumlah tempat parkir. Pada saat yang bersamaan, angkutan umum perkotaan berupa subway dan bus ditingkatkan kualitasnya.

Kini Seoul memiliki jaringan subway 536 km yang mampu
mengangkut penumpang sebanyak 4,5 juta orang per hari, 2,8 juta mobil
pribadi, dan 10.000 bus. Bandingkan dengan Jakarta yang memiliki sekitar
2,5 juta mobil, 6,6 juta motor, dan 333.000 bus.

Atas prestasinya, Lee Myung Bak dianggap sebagai salah satu lambang
transportasi dan disetarakan dengan para reformis transportasi dunia
lainnya, seperti Enrique Penalosa (Wali Kota Bogota), Jamie Lerner (Wali
Kota Curitiba), dan Ken Livingston (Wali Kota London). Lee Myung Bak
akhirnya terpilih menjadi Presiden Korea Selatan saat ini, karena
dianggap mempunyai visi ke depan dalam pembangunan daerah.

Indonesia ? Jakarta ? Gubernur Fauzi Bowo tak menampik bila dirinya
terlambat membenahi lalu lintas Jakarta. “ Masa tugas lima tahun saya
akan usai, tapi masalah lalu lintas belum terselesaikan juga, “ kata
Fauzi Bowo. Berbagai usaha telah dilakukan untuk membantu menguraikan
kemacetan di Jakarta. Tapi tak kunjung memberi penyelesaian. Luas jalan
relatif tetap, kendaraan umum banyak yang tak layak jalan dan akibatnya
masyarakat memakai kendaraan pribadi sebagai gantinya.

Kondisi angkutan umum Jakarta memang banyak yang tak layak jalan,
karena dimakan usia. Masa pakai melebihi 10 tahun. Rupiah yang diserap
dari masyarakat sebagai ongkos, tak mencukupi untuk biaya pemeliharaan
hampir semua angkutan umum yang rata-rata bertarif 2000 – 3000 sekali
naik. Ini berlaku bagi angkutan umum kecil seperti mikrolet, bajaj, bus
sedang (Metromini, Kopaja, Kopami, Koantas Bima), sampai bus besar
seperti PPD, Mayasari Bhakti dan lain-lain.

Karena sangat tidak layak, sering jadi pemicu polusi udara di
Jakarta. Di sana sini, angkutan umum juga tanpa standar pengamanan yang
memadai. Sopir sering harus berpacu dengan setoran yang membuat mereka
bersaing mencari penumpang. Malah pada Oktober lalu, terjadi pemerkosaan
penumpang perempuan di mikrolet. Bagi penumpang, angkutan umum memang
murah, tapi tak nyaman juga tak aman.

Peran birokrat dan penegak hukum sering tak jadi perhatian dalam
keruwetan transportasi umum di Jakarta. Padahal, peran mereka penting.
Sering dilihat di jalanan, polisi membiarkan sebuah bus melanggar aturan
berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Akibatnya adalah
kendaraan di belakangnya akan berhenti dan menyebabkan macet.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa sang sopir membayar polisi untuk
pelanggaran itu. “Saya bayar polisi 5000 rupiah untuk menaikkan
penumpang di daerah terlarang mbak,” kata Ridwan seorang sopir bus
jurusan Kampung Melayu – Blok M. Tindakan ini mau tidak mau dilakukan
oleh ribuan sopir karena sedikit sekali penumpang yang mau menunggu
angkutan umum di halte. “Mereka gak mau nunggu di halte,
jadi begitu ada penumpang, kami injak rem,” lanjut Ridwan. Begitu juga
saat penumpang hendak turun. Penumpang akan minta sopir berhenti dimana
saja mereka berniat turun.

Tak mudah melakukan pembenahan di Jakarta. Melibatkan modal yang
besar dan budaya yang sulit diubah. Tapi berbagai pembenahan memang
harus mulai dilakukan. Busway yang mulai beroperasi sejak 2004
dengan tarif 3500 rupiah, sekilas menambah kemacetan lalu lintas karena
secara otomatis lebar ruas jalan semakin berkurang. Namun penciptaan
kemacetan baru bagi pengguna kendaraan pribadi ini sebenarnya untuk
menggeser dan mengalihkan penggunaan moda transportasi pribadi ke moda
transportasi umum. Di Jakarta terdapat 98 persen kendaraan pribadi dan
hanya 2 persen saja kendaraan umum.

Busway berupa pelayanan transportasi massal yang ramah, aman, dan
nyaman telah menjadi daya tarik sekaligus daya dorong bagi pengembangan
sektor transportasi massa yang pro-konsumen. Begitu juga adanya Kopaja
AC yang mulai dilirik oleh konsumen. Keberadaannya menggeser citra
angkutan umum yang tak tertib dan tak nyaman. Mereka berhenti selalu di halte
bus dan sopirnya digaji. Memang bertarif agak mahal, sekitar 5000
rupiah sekali naik. “Tarifnya agak tinggi, karena tak ada subsidi dari
pemerintah. Namun kami benar-benar ingin menekankan faktor keamanan dan
kenyamanan dalam angkutan umum”, kata ketua umum Kopaja (Koperasi
Angkutan Jakarta), Nanang Basuki. Pada tahap-tahap awal ini masih
terdapat 20 Kopaja AC.

Pembenahan memang tak bisa sekaligus dilakukan. Tapi kesungguhan
banyak pihak harus dihargai. Masyarakat butuh angkutan umum yang aman
dan nyaman, pengusaha memerlukan kejelasan peraturan, birokrat juga
memerlukan prestasi, bahwa mereka bisa memberi solusi berbagai masalah
di masyarakat. Jadi, bila masalah transportasi Jakarta terurai dan nyaman
untuk masyarakat? Sama dengan cerita kota Seoul tadi. Bila pemimpin
daerah tak berani melakukan terobosan, kondisi akan seperti ini saja.
Jalan di tempat. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37638

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :