Sahrir, Tukang patri kelilingMenemukan jasa tukang patri keliling ibarat mencari jarum dalam jerami. Keberadaannya semakin susah dicari di kota besar seperti Jakarta. Namun Sahrir (61) masih setia menjalani profesi ini selama hampir 40 tahun. “Semenjak tahun 64 saya sudah nge-patri keliling di Jakarta” kata pria asal Kuningan, Jawa Barat ini kepada Kabarinews.com.

Mematri panci, wajan dan alat rumah tangga lainnya memang keahliannya. Sahrir mendapatkan ilmu patri yang diturunkan dari seorang paman yang kebetulan tinggal di kampung halamannya di Kuningan.  Belajar sedikit demi sedikit dari sang paman, Sahrir merasa bekalnya cukup akhirnya memberanikan diri untuk hijrah mencari peruntungan ke Jakarta. Tak ada pilihan katanya, yang penting bisa untuk menyambung hidup sehari-hari di kota yang banyak orang menganggap lebih kejam dari ibu tiri. Awalnya Sahrir ikut dengan kakak iparnya, lalu memutuskan jalan berkeliling sendiri.

Mulai berangkat pukul delapan pagi, rute mencari nafkahnya, bilang Sahrir, sejauh kaki tuanya ini dapat melangkah dari  dari seputar Cempaka Putih sampai sekitar wilayah Ancol.  Sebagai seorang tukang patri, penghasilan yang diterima Sahrir tidaklah menentu. “Sehari kalau lagi untung bisa dapat dua puluh ribu, sehari juga pernah dapat lima ribu perak” tutur dia.  Sahrir tidak mematok harga untuk jasa patrinya, lebih ke rasa ikhlas dan sewajarnya saja dari mereka yang menggunakan jasanya.

Sahrir tak masalah mau tidur dimana, saat dirinya merasa capek saja asal ada tempat yang enak buat tidur, Sahrir akan merebahkan tubuhnya disana ”Kalau di Cempaka Putih saya bisa di jalan baru itu bareng sama pemulung-pemulung, maklum gak kuat mengkontrak rumah atau kost sendiri” kata pria yang telah dikarunia tiga anak dan tiga cucu ini.

Bagi dirinya, jika dibandingkan zaman dulu dan sekarang, zaman dulu lebih mudah gampang untuk mencari duitnya saat zaman Suharto. Sahrir mengatakan kalau dipikir-pikirnya enak mencari duit zaman Soeharto.  “Dulu pulang ke kampung bisa beberapa kali setahun, nyetor ke keluarga di kampung juga sering, tapi sekarang boro-boro tiga bulan belum tentu bisa kirim uang ke sana” tutur Sahrir.

Tentu, sebagai ‘wong cilik’ Sahrir berharap di era pemilu seperti sekarang ini akan ada perubahan nanti di masa depan.”Jangan seperti sekarang ini, rakyat kecil banyak yang menderita pengennya sih seperti zaman Soeharto dulu waktu harga beras masih murah sama yang lain-lainnya murah” pungkas Sahrir.(1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62848

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan