Upacara “Becekan” adalah
upacara tradisional meminta hujan yang masih dilakukan kalangan
masyarakat pegunungan di Yogyakarta. Tepatnya di lereng Gunung Merapi
sebelah selatan, termasuk Kelurahan Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan,
Kabupaten Sleman.
Kata becek dalam bahasa Jawa berarti
mengandung air atau berair. Dalam upacara ini, terdapat sesajen yang
berwujud daging kambing yang dimasak gulai yang disebut becek. Selain
disebut “becekan” upacara ini juga disebut upacara nyuwun udan (minta hujan).

Biasanya selain meminta hujan, upacara ini juga bertujuan meminta
agar tanah mereka disuburkan dan keselamatan semua orang penghuni tiga
pedukuhan tadi. Karena wilayah ini terdapat di kawasan Gunung Merapi
maka penduduk percaya bahwa Gunung Merapi merupakan kerajaan roh halus
yang rajanya bernama Sultan Muhidin. Sang raja dipercaya memiliki anak
buah yang bernama Kiai Simbar Dada, Kiai Rajek Wesi, Kiai Sapu Jagad,
Kiai Ageng Perlapa. Di samping itu ditujukan pula kepada penguasa atau
pembuat kali yaitu semacam sumber air di sepanjang Sungai Gendal, Kali
Codot dan Kali Kajar, Kali Kreteg dan Kali Ajid.

Dalam menyelenggarakan upacara ini ada perhitungan waktunya, yakni
berdasarkan primbon pada hari hari Jumat Kliwon. Karena hari Jumat
Kliwon bagi masyarakat daerah itu, dianggap sebagai hari keramat.
Tempat pelaksanaan upacara di Sungai Gendol, tepatnya di tengah-tengah
sungai. Adapun tujuan yang ingin dicapai:

– Dapat langsung menghadap ke Gunung Merapi, tempat semayam para penguasa.

– Dapat memberi sesajen pada Sungai Gendol yang terdapat mata air bagi kepulauan bagi tiga pedukuhan.

– Sesajen yang perlu dipersiapkan untuk upacara ini antara lain:
berupa tumpeng beserta lauk pauknya, panggang ayam, tukon pasar,
candhu, kemenyan dan sebagainya. Dan perawatan untuk menyembelih
kambing berupa gubang (pisau besar) dan welat untuk membersihkan bulu,
ketentuan khusus menurut adat, untuk persiapan sajen becek mulai dari
membawa peralatan dari atas turun ke sungai, menyembelih kambing,
membuat bumbu becek hingga memasaknya harus dilakukan oleh laki-laki.

Mereka percaya bahwa upacara tersebut mendapat perhatian dan
disaksikan oleh penguasa Gunung Merapi, sehingga dalam setiap tahun
tidak pernah meninggalkan upacara. Tidak meninggalkan upacara menurut
mereka berarti mengundang bencana yang berlarut-larut dan mereka tidak
mau menanggung resiko semacam itu. (yayat)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33991

Untuk melihat Berita Indonesia / Nusantara, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :