Hari itu Senin, 15 Oktober
2008, perdagangan saham di Wall Street di guncang prahara. Lehman
Brothers, bank investasi terbesar ke-4 di AS, bangkrut. Mereka menjadi
korban kelima krisis subprime mortgage setelah Bear Stearns, Northern
Rock, Fannie Mae, dan Freddie Mac yang sudah lebih dulu guncang.

Prahara kemudian berlanjut, Merril Lynch menyerah dan diambil alih Bank Of America. Lalu AIG
terguncang dan terpaksa meminta talangan dana dari The Fed. Terakhir,
Washinghton Mutual menjadi bank terbesar yang hampir bangkrut sebelum
diselamatkan The Chase Bank dengan membeli hampir seluruh saham mereka.

Prahara
finansial itu lalu mempengaruhi sektor riil AS. Bank kini berhati-hati
menyalurkan kredit karena resiko gagal bayar juga tinggi. Akibatnya
sektor riil ekomoni Amerika tersendat karena topangan perbankan tak
lagi kuat.

Krisis ini kemudian menjadi seperti tsunami,
menyebar ke seluruh dunia. Pemerintahan di setiap negara yang ekspor
dan impornya bergantung pada AS, langsung mengeluarkan jurus berkelit
dengan mengucurkan dana stimulus. Indonesia mengucurkan dana stimulus
fiskal Rp 73,3 triliun. Sementara pemerintahan Obama menyiapkan dana
819 miliar USD untuk menghadapi prahara ini.

Awal Mula Krisis

Sebenarnya, bagaimana awal mula krisis ini bisa terjadi? Mari mundur ke belakang. Perekonomian AS pernah memasuki masa great depression
pada decade 30-an. Kala itu, bursa saham AS sangat kacau-balau. Selama
bertahun-tahun, bank AS kesulitan dana tunai atau seret likuiditas.
Akibatnya, banyak bank tidak bisa menyalurkan pinjaman.

Pada tahun 1938, berupaya keluar dari great depression,
Presiden Roosevelt membentuk Federal National Mortgage Association
(Fannie Mae) untuk membeli kredit perumahan (KPR) dari bank. Dari situ,
barulah bank memperoleh uang untuk memberikan pinjaman ke nasabahnya.
Dalam perjalanannnya, Fannie Mae diubah menjadi perusahaan swasta dan
pemerintah AS juga membentuk Federal Home Loan Mortgage Corporation
(Freddie Mac) untuk menciptakan kompetisi. Beberapa dekade kemudian,
bisnis properti pun mengalami booming.

Fannie dan Freddie membeli KPR
dari bank, melipatnya menjadi produk baru bernama Mortgage Back
Securities (MBS) yang kemudian dijual lagi sebagai produk investasi ke
berbagai lembaga keuangan di Wall Street. Misal Lehman, Morgan Stanley,
Merrill Lynch, dan yang lainnya. Pada perkembangannya, bank bisa
menjual kumpulan KPR-nya langsung ke lembaga keuangan. Bank juga mengasuransikan kreditnya itu.

Dari MBS tersebut, lembaga keuangan membuat produk investasi baru lagi bernama Collateral Debt Obligation (CDO). Mereka menjual CDO ini kepada investor institusi seperti hedge fund atau dana pensiun. Nah lembaga investasi itu lalu mengasuransikan CDO
dengan membeli produk derivatif bernama Credit Default Swap (CDS).
Produk derivatif sendiri berarti instrumen transaksi finansial yang
sebetulnya tak memiliki nilai instrinsik, sementara CDS berfungsi sebagai jaminan asuransi jika CDO itu macet.

Masalahnya, CDS
itu pun diperjualbelikan di Wall Street yang sifatnya spekulatif. Nah
ketika si kreditur kesulitan membayar karena situasi ekonomi, munculah
gelombang gagal bayar yang tinggi. Maka semua produk seperti CDO, CDS, atau MBS bak istana kartu. Runtuh ketika pondasinya goyah.

Sebagian
orang percaya, ibarat balon, krisis kredit kepemilikan rumah hanya
sebagai jarum yang meletuskan balon. Prilaku spekulatif pemain saham
yang hanya mencari keuntungan sesaat dalam transaksi finansial seperti
Wall Street, adalah balonnya. Dan jika sudah terlalu menggelembung,
balon bisa meletus kapanpun tanpa perlu pemicu.

Skandal Maddof Dan Bonus AIG

Tak
kalah menarik, disaat bersamaan muncul pula skandal Maddof yang
mengguncang AS. Pria mantan Chairman Nasdaq, Bernard L Madoff,
nyata-nyata menangguk dana hingga 50 miliar dollar AS dari hasil bisnis
‘gak jelas’ bernama Skema Ponzi. Belakangan diketahui, produk itu
mengambil untung dari investor yang masuk belakangan. Dan skandal
Maddof ini semakin memperkeruh situasi ekonomi AS.

Belum lama kasus Maddof berselang, dari AIG—yang
sempat guncang dan telah diberi dana talangan dari pemerintah AS—
muncul lagi berita tak sedap. Perusahaan asuransi ternama AS itu
mengucurkan bonus 165 juta dollar AS buat karyawan-karyawannya. Kalau
duit sendiri sih gak masalah. Yang bikin masyarakat AS
bereaksi, duit itu dari dana talangan pemerintah yang notebene hasil
pungutan pajak rakyat AS. Kontan rakyat AS kebakaran jenggot, lagi
susah begini mereka malah bagi-bagi duit.

Kabarnya Obama
sempat gerah karena Menteri Keuangan Timothy Geithner, dianggap orang
yang paling bertanggung jawab atas pengucuran bonus itu. Sejauh ini,
karena desakan masyarakat, bonus itu sudah dikembalikan 50 juta dollar
AS.

Kembali ke soal krisis finansial AS, banyak yang
berharap skema stimulus yang dirancang pemerintahan Obama bisa menahan
hantaman krisis yang lebih hebat, dan segera terlihat hasilnya dalam
beberapa tahun kedepan.

Tapi ada juga yang skeptis, mereka beranggapan dana stimulus sebesar 819 USD itu tak akan berarti banyak, jika disaat bersamaan pemerintah melalui SEC (Security
Exchange Comitee) tak melakukan pengawasan ketat terhadap perdagangan
uang di Wall Street. Pasar saham Wall Street bisa kembali menjadi balon
yang bisa meletus lagi sewaktu-waktu.(yayat)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32879

Untuk melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket