Sejak kepergian sang suami Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sembilan tahun lalu, wejangan dan suri teladan seorang Sinta Nuriyah Wahid semakin dicari dan didambakan oleh khalayak ramai. Dalam aktifitas kesehariannya, tokoh kelahiran Jombang tersebut tak henti-hentinya memperjuangkan hak-hak wanita dan minoritas di Indonesia. Mengacu pada perjuangannya tersebut, Majalah Time baru-baru ini menobatkannya sebagai salah satu dari 100 tokoh yang paling berpengaruh di dunia pada tahun 2018. “Saya merasa bahagia dan bangga bahwa apa yang sudah dilakukan itu bisa diterima orang, artinya ada manfaatnya buat masyarakat. Di sisi lain, saya juga merasa bahwa itu merupakan beban bagi saya karena saya harus terus-menerus melakukan kegiatan itu bagi masyarakat,” ujarnya kepada Kabari News menanggapi predikat baru yang disandangnya tersebut. Selain juga menjadi tanda sumbangsihnya bagi bangsa dan negara, ia menambahkan bahwa pencapaian yang diraihnya tersebut juga dapat menjadi warisan dan suri teladan bagi anak dan cucunya.

Pejuang Emansipasi Wanita

Masuk dalam daftar Time 100 tahun 2018 (dok. Pribadi)

Emansipasi wanita telah menjadi fokus perjuangannya sejak lama. Menurutnya, setidaknya ada 2 alasan mengapa ia memilih ranah tersebut. Pertama, Sinta Nuriyah Wahid memiliki latar belakang pendidikan S2 dalam program studi Kajian Wanita. Dan yang kedua, observasinya di lapangan yang menunjukkan bahwa wanita belum diperlakukan secara adil dalam segala lini kehidupannya. Sebagai sebuah langkah konkret, ia pun mendirikan sebuah lembaga yang ia beri nama Puan Amal Hayati. “Puan itu sebenarnya bukan nama tetapi singkatan dari Pesantren Untuk Pemberdayaan Perempuan,” tambahnya. Adapun visi dan misi yayasan sosial tersebut adalah menegakkan keadilan bagi perempuan dan membela perempuan korban kekerasan di ranah domestik, publik, politik, tempat kerja, dan juga dari pemahaman agama yang masih bias gender.

Dibandingkan dengan negara-negara tetangga, Ibu Negara Indonesia ke-4 tersebut menilai perkembangan emansipasi wanita di Tanah Air jauh lebih baik. Meski demikian, perjuangan untuk keadilan dan mengangkat harkat serta martabat wanita harus dilakukan secara konsisten dan terus-menerus. Ia berharap stakeholder dan masyarakat tidak terlena dengan perkembangan yang ada lantaran masih banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan dalam ranah tersebut, seperti masalah pendidikan, kemiskinan, kesehatan.

Pelindung Hak-Hak Dasar Minoritas

Alm. Gus Dur dan Sinta Nuriyah Wahid juga dikenal memiliki komitmen yang sangat besar dalam memperjuangkan hak-hak dasar kaum minoritas di Tanah Air. Salah satu kebijakan Gus Dur yang mencerminkan hal tersebut adalah saat ia memutuskan untuk mencabut larangan perayaan Tahun Baru Imlek. Sebagaimana diketahui, selama era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, masyarakat keturunan Tionghoa dilarang merayakan Hari Raya Imlek secara terbuka. Larangan tersebut bahkan tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat China. Tak lama setelah dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke-4, Gus Dur mencabut Inpres nomor 14 tahun 1967 dan menerbitkan Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000. Menurut sang istri, keputusan Gus Dur tersebut berangkat dari suatu pemikiran yang sangat sederhana. “Orang-orang (keturunan) China yang tinggal di Indonesia: mereka lahir di Indonesia, dibesarkan di Indonesia, dididik menjadi orang Indonesia, warga negara Indonesia. Lantas, apa bedanya dengan orang Madura dan orang-orang yang lain. Kan tidak ada bedanya,” jelasnya.

Sinta Nuriyah Wahid bersama Gus Dur dan anak-anak

Rujukan Para Tokoh Bangsa

Hijrah dari Istana Negara tidak lantas membuat mantan Ibu Negara Sinta Nuriyah Wahid kehilangan karisma dan pengaruhnya di kancah nasional. Hal ini terbukti dari banyaknya tokoh yang kerap datang ke kediamannya, baik untuk bersilaturahmi maupun meminta wejangan dan bertukar pikiran. Kandidat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pun berduyun-duyun silih berganti menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2019, diawali dengan Presiden petahana Joko Widodo. Sang RI 1 juga sempat menikmati suguhan bubur merah putih bertepatan dengan peringatan hari kelahiran Alm. Gus Dur. Sehari kemudian, giliran cawapres Sandiaga Uno yang sowan. Berbeda dengan sang petahana, mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu sempat dibekali sekotak tempe mendoan oleh sang empunya rumah. Tak mau ketinggalan, capres Prabowo Subianto juga datang berkunjung tiga hari kemudian. Sementara itu, K.H. Ma’ruf Amin yang didaulat untuk mendampingi Joko Widodo sebagai calon wakil presiden menjadi kandidat terakhir yang bertandang ke kediaman Alm. Gus Dur.