Kabarinews –  Polemik di kisaran hak angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus kian meruncing dan kian menuai pro dan kontra. Bagaimana tidak! DPR terus bersikeras apa yang telah diputuskan tentang hak angket telah benar dan legal sesuai dengan undang-undang. Meskipun secara prosedur dalam memutuskan hak angket terhadap KPK menuai kontra ditengah lapisan masyarakat dan patut dipertanyakan.

Tak terkecuali ICW (Indonesia Corruption Watch), yang selama ini getol menyuarakan perang terhadap korupsi  di negara ini gerah dibuatnya. ICW mempunyai komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk berpartisipasi dan aktif melakukan perlawanan terhadap korupsi yang terus berjalan di negara tercinta ini.

Melalui koordinator bidang Hukum dan Peradilan, Emerson Yuntho, ICW mengemukakan pendapatnya terkait dengan hak angket DPR terhadap KPK saat ditemui Kabari dalam acara diskusi hak angket KPK di Universitas Surabaya (UBAYA), Kamis (20/07).

Menurutnya, ketika KPK mulai bergerak  di isu politik, itu banyak membuat anggota dewan gerah. Sebagian anggota dewan tidak suka KPK, itu fakta yang tidak bisa dipungkiri dan banyak anggota dewan yang mengatakan bahwa KPK adalah lembaga Ad Hoc.

“Ketika saya berdebat saya mengatakan, bos kalau KPK lembaga Ad Hoc, tolong tunjukin ke gua mana nota politik KPK lembaga Ad Hoc. Tidak ada”, jelas Emerson.

Artinya, lanjut Emerson. Sepanjang undang-undang itu tidak di gugat, KPK itu masih ada. Kemudian mengenai penolakan anggaran KPK oleh anggota DPR, itu jelas menjadi sinyalemen tidak sukanya anggota DPR terhadap KPK. Selain penolakan gedung KPK yang akhirnya melahirkan gerakan saweran untuk KPK, rencana KPK untuk membuka perwakilannya di daerah juga di tolak oleh DPR.

Demikian juga terhadap undang-undang penyadapan yang diajukan KPK kepada DPR, juga dibuat mentah. Karena KPK harus mengajukan ijin terlebih dahulu kepada lembaga Kehakiman.

“KPK ingin menyadap, lalu KPK menelpon dan mengatakan, boleh enggak saya mau menyadap ketua MA? Ya gak dikasih dong. Ini logika yang gak masuk akal”, kata Emerson.

Alumnus Universitas Gajah Mada ini, meneruskan pendapatnya, Sampai ada wacana DPR yang menyatakan, KPK cukup melakukan tugasnya hanya dalam batas tingkat penyidikan dan tetap selanjutnya dikembalikan ke Kejaksaan. Jadi ada banyak hal yang mau diatur dan menurut ICW ini bagian dari upaya pelemahan undang-undang KPK.

Tidak hanya itu, intervensi dalam proses penyidikan dan tuntutan KPK. Mungkin kita masih teringat ada satu kasus Walikota Semarang, Sumarmo yang ditangani KPK. Temen-temen DPR inginnya itu diadili di Pengadilan Tipikor Semarang. Dan diduga ini ada permainan di dalamnya.

“Nah, disini ada konflik kepentingan secara individu dan konflik kepentingan lintas partai. Kalau kita ingat kasus pemilihan Deputi Gubernur Bank Indonesia, hampir 30 orang semuanya dari anggota DPR dan kasus-kasus yang lainnya”, ungkap Emerson.

Belum lagi temuan dari BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) pada bulan Mei tahun 2006 yang melangsir adanya temuan potensi kerugian negara sebesar Rp. 945 milyar dalam kunjungan kerja perorangan yang dilakukan oleh anggota DPR selama tahun 2005.

Melangkah pada kasus Setya Novanto soal proyek E-KTP, Emerson membeberkan temuan-temuan ICW, kalau kita melihat dari surat dakwaan, itu ada 102 E-KTP. 52 orang diantaranya atau separuhnya merupakan anggota DPR. Ini sangat luar biasa karena adanya konflik kepentingan secara partai politik.

“Kehadiran KPK ini membuat banyak politisi gerah. Kenapa? Karena mereka yang biasanya merampok uang rakyat lewat beberapa anggaran, ini merasa terganggu dengan kehadiran KPK. Berbicara fakta sampai dengan tahun ini paling tidak ada 120 kasus yang ditangani KPK terkait dengan anggota DPR”, tegas Emerson.

Secara langsung, ujar Emerson. Kekuatan yang dibangun KPK paling tidak membuat banyak politisi yang terjerat kasus korupsi dapat terungkap dan itu yang mereka takutkan.

Di dalam panitia hak angket DPR juga demikian. 15 orang dari 23 anggota Pansus (Panitia Khusus), itu adalah pengusul revisi Undang-Undang KPK. Jadi mereka sebenarnya ingin merevisi Undang-Undang KPK dan kemudian mengajak presiden untuk membuat proses regulasi di DPR.

Kembali Emerson menegaskan saat ditanya, apakah posisi hak angket DPR untuk menguatkan Undang-Undang KPK atau untuk melemahkan? kita lihat dari beberapa pernyataan anggota DPR. Pak Hari bilang ingin membubarkan KPK. Pak Hari adalah salah satu inisiator hak angket. Kemudian narapidana kasus korupsi yang ditemui oleh panitia hak angket. Kalau para narapidana kasus korupsi di tanya, keinginan mereka jelas ingin membubarkan KPK. Karena mereka merasa pihak yang menjadi korban KPK.

Terkait dengan itu semua, ada indikasi anggota DPR memaksakan diri. Emerson membenarkan hal itu.

“Iya memang memaksakan diri. Di beberapa anggaran juga sudah ditabrak tuh. Tentang Undang-Undang MD 3,  kemudian prosesnya juga janggal, dan kemudian angket berjalan tanpa dasar yang kuat. Itu kan mengindikasikan mereka mengambil cara-cara angket. Karena tidak ada cara yang lain untuk menjatuhkan KPK”, kata Emerson.

Ketika dimintai pendapatnya dari sudut pandang ICW, sebenarnya anggota DPR yang memaksakan diri, apakah masih mengemban amanah rakyat atau partai? Dengan tersenyum, Emerson menjawab, itu yang perlu kita pertanyakan.

Dengan candanya, Emerson juga menyindir tentang hak angket saat menjawab pertanyaan yang diajukan awak media.

Ini angket apa angkot? Karena mereka menabrak banyak aturan dan nekadnya mau menyelesaikan hak angket ini, meskipun di tolak oleh banyak publik dan kami sudah membaca dugaan atau ke arah revisi Undang-Undang KPK dan ingin menjelaskan kepada publik, bahwa KPK bermasalah.

Jadi menurut kita, kata Emerson adalah semangat yang kontra produktif terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi dan tidak menguntungkan bagi KPK, tapi menguntungkan sebagian elit partai politik yang terganggu dengan adanya KPK.

“Saya pikir KPK menyikapinya dengan biasa-biasa saja. Toh, juga dukungan terhadap KPK setiap harinya mengalir. Plus menurut kita, hak angket tidak mengganggu kerja KPK. Ketika KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka, itu menunjukan sebenarnya KPK sendiri itu tidak terganggu dengan keberadaan hak angket. Itu yang kita desak ke KPK”, pungkanya. (Foto dan video Kabari1003)