Prihatin dengan situasi perpecahan di Tanah Air — situasi yang juga terjadi di Amerika — House of Angklung dari Washington DC mengajak kita introspeksi melalui filosofi sesuatu yang sudah mereka kenal baik: Bambu.

Instrumen ini sangat populer di Indonesia. Unik namun sederhana relatif mudah, namun memukau. Anak-anak memainkannya di sekolah, dan orang dewasa memecahkan rekor dengan mengumpulkan ribuan pemain angklung di luar negeri. Namun mungkin tak banyak yang menyadari bahwa bambu, tanaman yang menjadi asal-usul angklung, memiliki filosofi yang sangat mendalam.

Diadakan di George Washington University di Washington DC pada hari Sabtu malam tanggal 12 Mei 2018, konser bernama #LearnFromPring ini dibuka dengan alunan angklung yang memainkan lagu kebangsaan Amerika “Star Spangled Banner”, sebagai bentuk penghargaan atas negeri tempat House of Angklung tumbuh, berkembang dan berkarya selama hampir 1 dekade. Anak-anak Indonesia yang tergabung dalam sekolah bahasa Indonesia di bawah naungan “Rumah Indonesia”, serta anak-anak Amerika dari sebuah sekolah lokal dengan bangga mengocok angklung mereka, membuka konser yang dihadiri sekitar 800 penonton.

Merayakan Filosofi Bambu

Inspirasi konser ini datang dari puisi karya Sindhunata SJ, seorang wartawan, budayawan, dan rohaniwan Katolik, “Ngelmu Pring” atau “belajar dari bambu”. Puisi yang dituangkannya dalam buku “Air Kata-Kata” mengajak manusia untuk mencontoh tanaman bambu yang senantiasa tumbuh dan memberi tempat untuk kehidupan rumpun-rumpun baru, serta bermanfaat bagi manusia.

Puisi berbahasa Jawa ini ditampilkan dalam ilustrasi garapan Demokreatif, sebuah unit karya sosial Berakar Komunikasi di Jakarta. Setiap segmen didahului dengan video yang menampilkan visual bambu dan elemen-elemennya sebagai pengingat akan karakter bambu yakni introspektif, berani menghadapi, fleksible, tidak mudah menggerutu dan mengeluh, jujur, peduli, dan tidak pura-pura tidak tahu.

Dari “Ave Maria” Hingga “Tak Tong Tong”

Karakter angklung dengan suara alamnya yang unik dan getarannya yang kaya warna ditampilkan tidak hanya sebagai instrumen utama, melainkan juga sebagai instrumen pelengkap yang meningkahi alat-alat musik barat. Pengarah Musik sekaligus Dirigen Tricia Sumarijanto mengatakan bahwa musik yang diperdengarkan tidak hanya mencakup musik tradisi dan pop Indonesia, tetapi juga musik klasik barat, bahkan pop, hingga rock.

Pengaransemen musik Ulung Tanoto memadukan unsur new age dan progressive dalam nomor-nomor yang ditampilkannya,  seperti “Fratres” dari Avro Pärt dan “New World Symphony” dari Dvorak. Menurutnya, karya-karya ini adalah masterpiece yg akan mengejutkan pengamat musik klasik, terlebih lagi karena lagu-lagu tersebut memiliki sentuhan tradisional.

Dari Indonesia ada “Yamko Rambe Yamko” yang dimainkan dengan nada-nada pelog dan dengan iringan musik yang jazzy. Ditampilkan pula momen-momen “mashup” yang merupakan fusi berbagai elemen yang berbeda, seperti “How Far I’ll Go”-nya Disney bertemu dengan “Tak Tong Tong” dari Sumatera, “Ave Maria”-nya Schubert berpadu dengan “What A Wonderful World”-nya Louis Armstrong, bahkan Firework”-nya Katy Pery pun tampil semarak dengan gaya jaipongan bercampur hiphop.

Bicara soal angklung dan memang sulit dilepaskan dari tari jaipongan yang sama-sama berasal dari Jawa Barat. Jauh-jauh dari Bandung, kelompok tari Padepokan Jugala yang dibentuk oleh maestro tari Gugum Gumbira ambil bagian dalam konser ini. Dua minggu sebelumnya, bersama kelompok Saung Angklung Udjo dari Bandung, mereka mendampingi House of Angklung tampil dalam acara PTRI (Perutusan Tetap Republik Indonesia) di Markas PBB di New York dalam rangka diplomasi Indonesia yang sedang mencalonkan diri menjadi Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB periode 2019-2020.

Hebat Karena Beragam

Bagian yang mungkin bisa dibilang paling favorit adalah segmen interaktif. Para penonton mendapat angklung yang tidak hanya boleh dibawa pulang secara cuma-cuma, tetapi juga boleh dimainkan dan bahkan menjadi bagian dari konser.

Dirigen Tricia serta Sam Udjo dari Saung Udjo memimpin pelajaran angklung ini dengan menggunakan Solfege hand sign yang menggunakan bahasa tangan untuk menentukan nada Do, Re, Mi, dan seterusnya. Hanya dalam beberapa menit, penonton yang belum pernah memegang angklung sudah bisa memainkan “Mother How Are You Today”. Sebuah kejutan, karena kebetulan keesokan harinya adalah Hari Ibu di Amerika. Mereka sampai terpukau dengan kebolehan mereka sendiri yang awalnya hadir tanpa tahu apa-apa soal alat musik ini.

Ignorance is not a virtue—ketidaktahuan bukanlah kebajikan. Pesan ini yang ingin disampaikan oleh Ko-produser Karina Sudyatmiko dari Grace Heritage Foundation, yang mengatakan bahwa baik publik Indonesia maupun Amerika bisa belajar untuk memahami bahwa perbedaan adalah kekuatan, dan bukan sesuatu yang membuat kita resah, takut, apalagi berseteru.

Konser selama 2 jam ini ditutup dengan finale “America The Beautiful”, salah satu lagu patriotik Amerika yang paling terkenal, yang dimainkan bersama pemain pemula a.k.a penonton.

 

[Debbie Sumual-Patlis, Washington DC]

Photo credit: Cynthia Sumarijanto