Gagasan Islam Nusantara dan posisi wanita dalam ajaran agama Islam merupakan sekian beberapa topik yang kerap kali diperdebatkan dan disalahpahami oleh banyak orang. Pada kesempatan wawancara dengan Kabari News, Sinta Nuriyah Wahid berusaha untuk menjelaskan dan meluruskan hal-hal yang berkenaan dengan 2 topik tersebut sebagai berikut:

 Hakikat Islam Nusantara

Mendiang Gus Dur dan sang istri Sinta Nuriyah Wahid merupakan sederet tokoh yang sangat lekat dengan gagasan Islam Nusantara. “Akidah tetap, ibadah tetap, semuanya mengikuti cara-cara Islam tetapi yang kita ubah adalah budayanya,” ujarnya menjelaskan konsep yang selama ini dianggap kontroversial oleh beberapa pihak di Indonesia. Gagasan tersebut tidak lain lahir dari kesadaran bahwa budaya Arab dan budaya Nusantara yang jauh berbeda. “Kita itu orang Indonesia yang beragam Islam, bukan orang Islam yang tinggal di Indonesia,” ujarnya menirukan prinsip yang dipegang oleh Gus Dur berkenaan dengan gagasan tersebut.

Wanita Dalam Ajaran Islam

Saat disinggung mengenai feminisme, Sinta menjelaskan bahwa konsep tersebut tidak ada di dalam ajaran agama Islam. “Yang ada kesetaraan… Jadi, Islam tidak mengenal feminisme atau perbedaan antara laki-laki dan perempuan,” ujarnya. Perbedaan dan bias gender tersebut, menurutnya, lahir sebagai akibat dari penafsiran ajaran Islam yang mayoritas dilakukan oleh kaum pria. Di bawah bimbingan Sinta Nuriyah, Yayasan Puan Amal Hayati melakukan reinterprestasi terhadap Kitab Uqudullujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain, sebuah kitab tentang hubungan suami istri yang masih diajarkan di pondok-pondok pesantren. Upaya tersebut dimaksudkan untuk meluruskan peran wanita yang terkesan menjadi subordinasi pria. “Kita telah menginterpretasikan dan menuliskannya dalam bahasa Arab, bahasa pop (awam), dan bahasa akademis dengan judul yang berbeda-beda,” jelasnya.

Sinta Nuriyah Wahid juga mengomentari fenomena poligami. “Gus Dur selalu mengatakan yang menjadi korban itu perempuan, karena itu yang harus ditanya tentang masalah itu adalah korban,” ujarnya menjelaskan. Gus Dur semasa hidupnya tidak banyak berbicara tentang isu tersebut melainkan memberikan contoh dengan hanya mempunyai satu istri (monogami). Menurut Sinta, kesan bahwa agama Islam mengizinkan poligami itu datang dari pembacaan ayat-ayat secara patriarkal dan sepotong-sepotong.