KabariNews – Bisingnya jalan raya dan bunyi klakson mewarnai suasana di kedai sate milik Bapak Kirmadi (76) yang terletak di Gang Lele, Matraman, Jakarta Pusat. Kedai sate ini cukup terkenal dan sudah bediri sejak tahun 1959.

Memasuki gang, ada sekelompok pemusik keroncong sedang menghibur pengunjung. Pengamen keroncong ini sudah demkian menyatu dengan kedai sate ini, padahal antara keduanya tidak berafiliasi, alias dua bagian yang terpisah.

Tapi keduanya, sejak tahun empat tahun belakangan telah menciptakan simbiosis mutualisme. Pengamen keroncong mengais rezeki dari pengunjung, sementara pemilik kedai sate merasa senang pengunjungnya dihibur.

Berawal dari pertemuan pemilik kedai dengan Pimpinan keroncong, Suwito (48). Melihat peluang kedai tidak pernah sepi, maka Suwito meminta ijin kepada pemilik kedai sate untuk menghibur pelanggan dengan musik keroncongnya, dengan harapan bisa membangun lagu-lagu nostalgia tempo dulu.

“Dulu saya sering lewat sini, tempatnya nggak pernah sepi. Kemudian saya minta ijin ke Pak Kirmadi untuk memainkan musik keroncong di warungnya. Ternyata Pak Kirmadi pun mendukung, ya sudah sejak saat itu saya dan teman-teman mulai mengais rezeki di sini,” kenang Suwito.

Meski dengan alat yang sederhana, alunan keroncong Suwito dan kawan-kawan terdengar apik. Mereka yang merasa senang, bisa memberikan apresiasi dengan recehan yang ditaruh di toples di atas sebuah bangku kecil.

Ada lima orang pemusik sekaligus penyanyi keroncong di warung itu, yaitu Suwito, Waluyo, Ferry, Nano, dan Mulyani. Selain membawakan lagu-lagu keroncong, mereka mengimprovisasi lagu-lagu pop menjadi lagu keroncong.

Mereka mengamen dari pukul 10.00 sampai 16.00 WIB dengan pendapatan sekitar Rp 23.000 sampai Rp 50.000 per hari.

Menu Istimewa Sate Keroncong

Kedai Sate Keroncong ini dikelola Sri Mulyono(45), anak Bapak Kirmadi. Menunya istimewanya ada tiga macam. Yakni gulai, tongseng dan sate kambing. Dulu menu unggulan disini adalah gulai, namun sekarang tongseng dan sate. Kuah tongsengnya kental dengan rasa rempah yang kuat, sedangkan untuk sate, dagingnya besar dan empuk.

Dibantu oleh 15 karyawannya, Mulyono membuka kedai sejak pukul 08.00 dan baru tutup pukul 21.00 WIB. Tapi lebih sering tutup lebih awal, karena habis diserbu pelanggan.

Setiap hari Kedai Sate Keroncong menghabiskan sekira 50 kilogram daging kambing sebagai bahan dasar aneka menu tersebut.

Dan untuk mempertahankan rasa khasnya, Mulyono masih menggunakan cara-cara tradisional, mulai dari meracik, mengolah sampai memasak. “Sampai saat ini Bapak (Kirmadi) masih meracik bumbu. Kita juga tetap pakai kayu bakar untuk memasaknya,” kata Mulyono.

Keistimewaan kedai ini adalah bumbu rempahnya yang lezat. “Rahasia bumbu di sini karena kita pakai banyak rempah asal Indonesia. Untuk sate kita sediakan segar dengan potongan agak besar, nah untuk tongseng kuah andalannya diambil dari gulai, setelah itu baru dimasak lagi dengan rempah dan tambahan isian lainnya,” paparnya.

Wayan adalah salah satu pelanggan setia Sate keroncong. Sejak tahun 1968 ia dan suaminya menyukai menu tongseng dan sate. Menurutnya kedai ini menyimpan memori masa-masa pacaran dulu. Meski tidak sesering dulu, Wayan dan suami kadang mampir untuk bernostalgia. “Dari dulu saya sering makan di sini, kalau sekarang jarang, paling kalau lagi mau saja,” katanya.

Satu porsi sate dibanderol Rp 30.000, tongseng Rp 25.000 sedangkan gulai Rp 22.000. Ditanya soal omset perhari, Mulyono buka-bukaan, ayah dua anak ini menyebut angka Rp 6 juta per hari.(pipit)