Pada 2 April 2025 lalu, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menerapkan tarif universal sebesar 10% untuk barang-barang asing dan mulai berlaku per 5 April. Tak hanya tarif universal, tarif resiprokal juga diberlakukan untuk beberapa negara terhitung per 9 April 2025.
Indonesia termasuk salah satu negara yang dikenai kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat (AS). Jumlahnya adalah 32%, lebih tinggi dibanding negara Asia Tenggara lain seperti Filipina (17%), tetapi lebih rendah daripada Kamboja yang dikenai 49%.
Seiring berjalannya waktu, Presiden Trump, menangguhkan kenaikan tarif resiprokal selama 90 hari untuk puluhan negara, termasuk Indonesia. Penundaan ini tidak berlaku untuk China yang mereka anggap menantang kebijakan AS.
Mengenai kebijakan kenaikan tariff yang dilakukan Amerika Serikat ini, Kabari memiliki kesempatan istimewa berbincang khusus dengan Riska Sri Handayani, Dosen dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia
Dalam pandangan Riska, kebijakan Presiden Trump merupakan strategi yang dipilih pemerintahnya. Dalam konteks mengatur ulang perekonomian di dalam negeri Amerika Serikat dengan cara mengenakan tarif impor pada berbagai produk yang masuk ke Negeri Paman Sam. “Kebijakan tarif ini kaitannya dengan perdagangan internasional dan tentu ini kembali bagaimana setiap negara menaggapinya. Kalau kita lihat reaksi dari pemerintah China, mereka lebih reaktif dengan memberikan serangan balik, tetapi ada beberapa negara lain seperti Thailand termasuk Taiwan dan juga negara – negara lainnya, mereka cenderung sifatnya lebih koperatif dengan mengajukan negosiasi,” kata Riska.
Menurut Riska, terkait tarif resiprokal ini, sebagian besar negara – negara akan lebih bersikap melihat situasi lebih dahulu kemudian memutuskan langkah seperti apa yang akan mereka lakukan. Umumnya setiap negara akan membuat kebijakan yang menguatkan dalam negeri, lalu mereka akan maju ke meja negosiasi.
Tak bisa dimungkiri, bahwa kebijakan tariff Trump ini berdampak besar bagi Indonesia. “Kalau kita lihat ini akan sangat berdampak sekali. Kenapa? Karena kita tahu Amerika Serikat adalah mitra dagang terbesar kedua bagi Indonesia setelah China. Selama ini perdagangan kita dengan Amerika Serikat selalu surplus, berarti kita memang banyak diuntungkan dari perdagangan internasional khususnya produk ekspor ke negara tersebut. Tentunya ini akan berdampak walaupun mungkin tidak dirasakan langsung dalam waktu dekat. Saya melihat ini produk – produk kita memang mengandalkan pasar ekspor ke AS akan terdampak sekali termasuk UMKM kita yang akan kesulitan untuk bersaing di sana. Selama ini ada berbagai isu untuk bersaing di pasar internasional seperti keunggulan komparatif produk – produk kita dari standar mutunya, kemudian hambatan perdagangan dan sebagainya,” jelas Riska.
Riska mengakui bahwa dengan kenaikan tarif ekspor melalui kebijakan Trump ini akan berdampak kepada naiknya harga produk Indonesia yang ada di AS. “Mau gak mau kita harus menyesuaikan harganya dan tentu nanti kembali lagi pada pilihan konsumen di sana sehingga akan sangat ketat sekali persaingannya. Dengan tarif yang dikenakan tinggi sekali otomastis dampak secara langsung yang dirasakan adalah menurunnya produk ekspor yang bisa laku dijual di pasaran AS,” kata Riska.
Seiring berjalannya waktu, AS menangguhkan kebijakan ini selama 90 hari untuk negosiasi dengan berbagai negara terdampak, termasuk Indonesia. Apakah langkah negosiasi ini akan efektif?. “Dalam kerjasama internasional ada kesempatan kita untuk melakukan negosiasi, jadi kita akan bisa memanfaatkan waktu ini untuk bernegosiasi dan meningkatkan branding power kita. Bagaimana kita meningkatkan branding power, tentu kita meningkatkan kembali produk – produk apa yang selama ini paling banyak kita jual ke AS. Sebagian besar memang kita ekspor ke sana adalah non migas. Kita lihat kebutuhan utama mereka dari Indonesia adalah produk apa, kemudian kita lihat juga kompetitor kita siapa di pasaran AS untuk produk yang sama. Untuk produk – produk tertentu kita memang punya keunggulan khusus, ini berarti kita punya daya tawar yang cukup tinggi. Di sinilah kesempatan kita untuk bernegosiasi, mereka membutuhkan produk kita di satu sisi, kita juga butuh pasar. Karena itu, kita harus memetakan produk – produk dalam negeri kita, keunggulan apa saja dan berapa besar jumlah ekspor yang kita kirimkan ke sana. Jadi kita harus bisa menghitung untung rugi dan sebagainya,” ungkap Riska.
Riska menegaskan, jika kita bicara tentang perdagangan internasional, tentu ini berbicara tentang setiap negara mendapat keuntungan atau win – win solution. “Jadi kita jangan hanya mengikut saja apa yang dimaui AS. Jadi sekali lagi dalam interaksi internasional yang paling penting adalah bagaimana kita bisa mengejar kepentingan nasional kita dan pastikan bahwa kita mendapatkan keuntungan,” tutur Riska.
AS merupakan mitra dagang strategis bagi Indonesia. Karena itu, Indonesia perlu melakukan langkah khusus agar dalam bisnis, kedua negara sama – sama saling menguntungkan. Dikatakan Riska, kita harus mengakui bahwa AS adalah negara dengan ekonomi yang luar biasa kuat bahkan pendapatan per kapita mereka 20 kali besar dari Indonesia. Pasar AS ini memang sangat menjanjikan. Jadi berharap produk kita akan laku di sana. Karena itu, kita harus bisa menjaga hubungan baik dengan tidak bersifat reaktif, tetapi harus bisa bermain cantik,” kata Riska.
Riska memberikan usulan agar setiap kementerian bisa memetakan apa saja produk yang kita miliki dan seperti apa kebutuhan akan pasar ekspor. “Jadi sekali lagi kita bisa memetakan posisi kita, sebagai negara yang netral dalam interaksi international dan mengejar kepentingan nasional, tetapi saling menghormati, menghargai tapi juga dengan tetap mengutamakan kekuatan bangsa kita. Kedaulatan kita jangan sampai tergadai, itu yang paling penting,” tegas Riska.
Setelah ada perang dagang yang digaungkan oleh AS, maka Indonesia perlu mencari mitra-mitra dagang dari negara lain.
Riska melihat kebijakan tariff resiprokal yang diumumkan Pesiden Trump ini bisa menjadi peluang baru bagi Indonesia untuk mencari mitra dagang baru, yang tujuannya memasarkan produk Indonesia ke negara lain.
“Kalau kita bicara tentang situasi international khususnya kebijakan luar negeri itu tidak ada yang sifatnya statis, selalu berubah. Karena produk mayoritas Indonesia masuk ke pasaran di AS adalah produk non migas, jadi kita bisa lihat, negara – negara mana yang sangat membutuhkan produk – produk yang kita hasilkan ini. Misalnya negara – negara di Timur Tengah atau pun negara – negara di Amerika Latin. Saat ini adalah momen yang tepat untuk mulai menyusun langkah awal. Jadi pastikan kita punya banyak mitra dagang potensial yang saling menguntungkan, jadi ketika ada satu mitra yang mengubah kebijakan yang cukup ekstrim, tidak akan berdampak terlalu besar bagi kita,” kata Riska.
Sebagai negara besar yang kaya akan sumber daya alam, Riska menyakini bahwa Indonesia memiliki banyak potensi yang bisa dikembangkan. “Saya rasa banyak produk – produk UMKM yang harus kita perhatikan. Ketika terjadi krisis di Indonesia UMKM yang paling bertahan. Saya rasa kita harus mengembangkan produk – produk tersebut dan membantu untuk mencarikan pasarnya,” kata Riska.
UMKM sebagai backbone perekonomian nasional, sayangnya masih kurang maksimal digarap potensi pasarnya. “Banyak UMKM kita yang masih kesusahan modal, kesulitan melakukan promosi, dan masih perlu mendapat bantuan dari pemerintah. Misalnya pendampingan dalam pelatihan untuk meningkatkan standar mutu. Karena kalau kita bicara tentang pasar internasional, kita harus siap dengan mutu. Saya rasa kalau dari pemerintah mulai buka diri dengan fokus mengembangkan berbagai potensi UMKM yang ada di dalam negeri ini, maka ke depannya, produk – produk kita akan diminati di luar negeri. Saya percaya dalam waktu 5 sampai 10 tahun ke depan Indonesia dengan UMKM ini akan sangat maju sekali,” pungkasnya.
Artikel ini juga dapat dibaca di Majalah Digital Kabari Edisi 213
Simak wawancara Kabari bersama Riska Sri Handayani dibawah ini