Musik edan, Musik rusak, Itulah bagi sebagian orang menyebutnya dengan istilah musik gila. Tapi bagi anggota komunitas Unen-Unen Ambyar (bunyi-bunyian ambyar-red) itu merupakan bentuk ekspresi dan hasil kreasi eksperimental dan industrial tanpa batas yang memiliki kepuasaan tersendiri. Mereka menciptakan suara atau memadukan noise dengan memanfaatkan benda-benda yang ada disekitarnya.

Adalah Unen-Unen Ambyar, komunitas yang didirikan untuk mewadahi seniman sound art di Jawa Timur.

“Kami ingin memperkenalkan seni ekperimental sound art kepada masyarakat. Setelah melakukan pemetaan sejak tujuh tahun yang lalu, di Jawa Timur seniman sound art ternyata cukup banyak,” tutur Febrian Aditya, Public Relations Unen-Unen Ambyar ketika ditemui Kabari saat event Sound Art Jawa Timur di Mall AJBS, Surabaya, Jumat (13/03).

Selain itu tutur Febri kembali, sejauh ini teman-teman sejak sekitar lima tahun yang bergerak sendiri, artinya selama itu tidak ada wadah atau momentum eksperimental. Dan biasanya teman-teman kebanyakan lari ke Yogyakarta untuk menuangkan ekspresinya. Tapi untuk saat ini, kami mencoba membuat momentumnya dan tentunya ada impact ke masing-masing seniman itu sendiri.

“Tidak muluk-muluk, hanya cukup terkoneksi satu sama lain. Karena selama ini kami terpisah-pisah,” kata Febri.

Masing-masing seniman yang tergabung dalam Unen-Unen Ambyar memiliki ciri khas sendiri-sendiri, ada eksperimental sound, art sound, dan Industrial.

Lebih dalam Febri menuturkan, teman-teman memiliki ciri khas tersendiri dalam mengekspresikan karyanya. Seperti Tuyul Dolanan Nuklir dari Surabaya, itu lebih ke arah eksperimental. Dimana, dia memanfaatkan barang-barang bekas dibuat untuk menghasilkan bunyi-bunyian. Sedangkan Bergegas Mati asal Malang, lebih ke arah industrial, yang artinya mengkolaborasikan bunyi-bunyian dari efek gitar, mikrofon atau yang lainnya.

Ditanya soal tanggapan masyarakat tentang sound art yang dianggap seni aneh. Febri menjawab, macam-macam tanggapan masyarakat. Ada yang ngomong musik edan. Bahkan cemoohan juga sering kami terima.

“Yang sering kami terima omongan yang mengatakan, baru lima menit mendengarkan perut mual dan rasanya mau muntah. Tapi kami tetap enjoy saja,” ungkap Febri sambil tertawa.

Namun itu tidak membuat kami berkecil hati, justru kami semakin eksis dan dirinya bersyukur saat ini sudah banyak pihak-pihak yang mulai melirik akan seni ini. Meskipun selama ini tidak ada dukungan dari pemerintah.

Padahal menurutnya, ini potensi besar yang perlu digali dan bisa menjadi potensi dalam ekonomi kreatif. Karena seniman sound art selama ini sudah bisa merasakan manfaatnya.

Seperti halnya Ageng seniman sound art asal kota Malang yang menggabungkan dua unsur seni eksperimental dan industrial dengan memanfaatkan skop bekas menjadi alat musik menyerupai biola yang berharap dapat berkreasi terus hingga ke seluruh Indonesia.

Selama ini mahasiswa Universitas Negeri Malang ini mengekspresikan karyanya masih terbatas hanya diseputaran kota-kota yang ada di Jawa Timur saja.

“Saya sejak kecil senang dengan bunyi-bunyian hingga sekarang dan saya buat alat ini sekitar dua tahun yang lalu,” tutur Ageng.

Tidak hanya Ageng, Aditya Pandu Wijaya pria asal Malang yang memiliki brand Bergegas Mati ini juga memiliki harapan yang sama. Dirinya ingin seni ini dapat dikenal masyarakat secara luas.

“untuk menikmati musik ini kembali ke personal. Bagaimana kita bisa menerima terus menikmati komposisi suara yang kita buat. Karena di noise tidak hanya satu, Tapi juga ada hard metal, hard noise, industrial dan lain-lain. Cara menikmatinya juga berbeda-beda.” Kata Aditya saat ditemui Kabari setelah performance seni noise industrialnya.

Aditya mengkomposisikan alat-alat industrial seperti delay, distorsi DOD, elektronik harmonic, metal mark, dan forwest.

Aditya mengakui, selama ini dukungan kebanyakan dari teman-temannya dan belum ada campur tangan dari pemerintah.

Komunitas Unen-Unen Ambyar memiliki kegiatan workshop dan agenda tahunan yang mengkolaborasikan seniman lokal dan seniman dari luar negeri.