KabariNews – ‘Kewajiban menggunakan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai dilaksanakan penuh pada 1 Juli 2015. Peraturan tersebut ditujukan untuk menegakkan kedaulatan Rupiah di Indonesia serta mendukung stabilitas ekonomi makro’.

Per 1 Juli 2015, Bank Indonesia memberlakukan kewajiban menggunakan mata uang rupiah untuk semua jenis transaksi pembayaran di dalam negeri. Ketentuan ini tertuang dalam peraturan Bank Indonesia Nomor 17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Kesatuan Republik Indonesia, yang mengatur setiap transaksi yang dilakukan di wilayah NKRI wajib menggunakan Rupiah. Peraturan Bank Indonesia ini merupakan pelaksanaan dari Undang-undang No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, serta berdasarkan UU Bank Indonesia.

Direktur Departemen Komunikasi BI Peter Jacobs dalam keterangan tertulisnya mengatakan, peraturan ini dibuat untuk menegakkan kedaulatan rupiah di NKRI dan sekaligus mendukung stabilitas ekonomi makro. Kewajiban penggunaan Rupiah per tanggal 1 Juli berlaku untuk semua transaksi baik itu tunai maupun non tunai, mencakup transaksi yang menggunakan mata uang kertas maupun uang logam sebagai alat pembayaran yang sah.

“Pengaturan tersebut juga berlaku untuk para ekspratriat atau orang asing yang bekerja di Indonesia. Gaji para pekerja asing ini termasuk transaksi dan pembayaran, wajib menggunakan rupiah,” paparnya. “Selama pekerja asing memiliki kontrak di dalam negeri, gaji dan transaksi harus menggunakan rupiah. Transaksi valuta asing (valas) seperti dolar AS bisa dilakukan ekspatriat jika kontrak kerjanya dilakukan di luar negeri.

Jacoeb melanjutkan, ketentuan tersebut memberikan pengecualian untuk transaksi-transaksi dalam rangka pelaksanaan APBN, perdagangan internasional, pembiayaan internasional yang dilakukan oleh pihak yang salah satunya berkedudukan di luar negeri, kegiatan usaha bank dalam valuta asing yang dilakukan sesuai Undang-Undang yang mengatur mengenai perbankan dan perbankan syariah, transaksi surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah dalam valuta asing di pasar perdana dan pasar sekunder yang sudah diatur dengan udang-undang, serta transaksi lainnya dalam valuta asing yang dilakukan berdasarkan undang-undang.

Agar kegiatan perekonomian dan implementasi kewajiban pengguna Rupiah dapat berjalan lancar, maka sesuai Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 16 PBI tersebut. Bank Indonesia berwenang memberikan persetujuan kepada pelaku usaha, yakni dasar permohonan yang diajukan kepada Bank Indonesia untuk tetap dapat menggunakan valuta asing terkait proyek infrastruktur strategis dan karakteristik tertentu yang memerlukan, antara lain penyesuaian sistem, pembukuan, strategi bisnis, evaluasi terhadap proses bisnis dan keuangan perusahaan.

“Selama permohonan masih dalam proses di Bank Indonesia, maka pelaku usaha dapat menggunakan valuta asing dalam kegiatan usaha tersebut. Pengenaan sanksi akan diberlakukan sejak dikeluarkan penolakan atas permohonan yang diajukan ke Bank Indonesia,” paparnya.

Kesulitan Dalam Aplikasi Bisnis

Logo Bank IndonesiaSeperti sempat diulas di media massa, tujuan Bank Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut tiada lain untuk menstabilkan mata uang di dalam negeri. Jadi, bila gejolak ekonomi dunia cenderung tidak stabil, maka nilai rupiah bisa diselamatkan. Sebuah niat yang baik, namun sepatutnya dikaji serinci sebelum diberlakukan. Pasalnya, dalam realisasi di lapangan, tidak semua aktivitas bisnis dapat serta merta diubah untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan tersebut. Banyak hal teknis yang perlu diadaptasi.

Di sisi pengusaha batubara, misalnya, sejak lama transaksi bisnis dilakukan dengan menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat. Sekitar 80% pengusaha anggota Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) bertransaksi menggunakan dolar.

Toh ada jaminan kesepakatan berupa Surat Keputusan Dirjen Pajak yang memperbolehkan penggunaan mata uang selain Rupiah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga memiliki acuan yang memperbolehkan penggunaan mata uang selain rupiah.

Untuk itulah ada terdengar pendapat, bahwa sepatutnya pemerintah dan Bank Indonesia mempertimbangkan dulu adanya peraturan lain, yang pada praktiknya di lapangan menimbulkan kebingungan di masyarkat pelaku bisnis. Pemerintah seharusnya menyelaraskan harmonisasi antara peraturan terkait, sebelum memberlakukan kebijakan yang baru.

Sempat juga tebersit kekhawatiran di pihak pelaku bisnis akan dampak kewajiban penggunaan Rupiah terhadap aktivitas penanaman modal asing maupun aliran modal.

Contoh lain yang menghadapi kesulitan dalam mengaplikasikan wajib rupiah adalah di sektor bisnis farmasi. Seperti pernyataan pelaku usaha yang masuk dalam Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia (GPFI), mereka keberatan lantaran industri farmasi sulit melakukan transaksi. Diketahui, hampir seluruh bahan baku obat didapatkan dari impor dan transaksi itu tentunya dilakukan dalam mata uang dolar Amerika.

Jika transaksi wajib memakai Rupiah, terutama jika melalui pemasok, maka saat bahan baku diantar, nilai bahan baku yang ada itu berpotensi berbeda dari nilai saat pemesanan. Perbedaan ini terjadi karena ada perubahan dalam nilai rupiahnya.

Dengan peraturan wajib transaksi memakai Rupiah ini mau tidak mau membuat para pengusaha farmasi kewalahan mengatur bisnis mereka. Terlebih kebanyakan dari 224 perusahaan farmasi yang tergabung di dalam GPFI tersebut merupakan perusahaan menengah yang omzet bisnisnya tidak terlalu besar.

Kondisinya tentu akan berbeda dengan pengusaha farmasi yang besar. Pasalnya, aturan BI tidak berpengaruh besar terhadap kegiatan bisnis mereka. Toh transaksi dollar hanya dilarang di dalam negeri dan tidak termasuk transaksi dengan luar negeri atau impor. (1001)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/78951

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Asuransi Bisnis

 

 

 

 

kabari store pic 1