Tak pelak kebijakan mobil murah ramah lingkungan (low cost green car atau LCGC) mengundang polemik di masyarakat. Kebanyakan, orang menyayangkannya. Simak wawancara kabarinews.com mengenai mobil murah ini dengan Wakil Menteri Perhubungan, Bambang Susantono.
Sejak pemerintah mengumumkan kebijakan tentang penjualan mobil murah yang digadang-gadang menjadi kendaraan roda empat ramah lingkungan ini, segera muncul reaksi kurang sedap dari masyarakat. Pasalnya, selama bertahun-tahun masyarakat telah lelah bermacet-macet di jalan raya, terutama warga di DKI Jakarta.
Mudah dipahami, karena dengan masuknya mobil murah, logikanya populasi kendaraan di jalan raya akan bertambah. “Warga lebih membutuhkan perbaikan transportasi publik yang nyaman, aman dan manusiawi,” demikian masyarakat bersuara.
Hal ini selaras dengan penolakan yang sempat dilontarkan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Diketahui, provinsi ini belakang mengurai permasalahan lalu lintas yang pelik di Jakarta, yaitu kemacetan, dengan serius. Pola transportasi makro (PTM) diterapkan, dengan kiat membangun sarana transportasi publik, membatasi penggunaan kendaraan pribadi dan memperbaiki infrastruktur jalan. Dan, masyarakat merasakan hasil pengaturan itu. Terlihat dari mulai beralihnya masyarakat Jabodetabek dari penggunaan kendaraan pribadi ke moda transportasi commuterline.
Mengenai mobil murah, Wamenhub Bambang Susantono berpendapat, selama mobil murah ramah lingkungan ini hadir di jalan untuk menggantikan mobil yang sudah ada (existing cars) yang memiliki emisi tinggi tentu akan sangat baik. Tinggal demikian pada praktiknya. Kementerian Perhubungan sendiri, dengan bertambahnya populasi kendaraan di perkotaan, sepatutnya melakukan pengaturan dalam penggunaannya.
Sesungguhnya, UU Lalu Lintas telah mengatur penggunaan kendaraan. Misalnya, pada wilayah perkotaan dengan tingkat populasi tertentu dan memiliki masalah lalu lintas (kemacetan) pada satu atau beberapa ruas jalan dengan tingkat nisbah (rasio) tertentu atau sebesar 0,5-0,7 antara jumlah lalu lintas dan kapasitas bisa dilakukan pengendalian lalu lintas. Bagaimanakah caranya?
Beberapa pengaturan, tambah Wamenhub, di antaranya dengan menerapkan strategi push and pull. Di satu sisi mengendalikan kendaraan pribadi yang masuk ke kota, di sisi lain membuat transportasi publik menjadi semenarik mungkin, sehingga mobilitas individu tidak melulu bergantung pada kendaraan pribadi.
Kunci untuk menjawab masalah lalu lintas ini adalah dengan melakukan percepatan peningkatan pelayanan transportasi publik. Di antaranya dengan memperbaiki pelayanan kereta api Jabodetabek (commuter line), Busway, pembangunan Monorail Rapid Transport (MRT), Bus Rapid Transport (BRT) yang sudah diterapkan di 14 kota, serta memberlakukan Electronic Road Pricing atau congestion pricing seperti di London.
“Kami akan rapat dengan Kepala Dinas Perhubungan dari 60 kota di Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari 500.000 jiwa. Di situ kami akan mengintroduksi cara-cara pengaturan tersebut. Di atas semua itu, daripada terjebak di dalam kontroversi, polemik, pro-kontra, lebih penting adalah mempercepat perbaikan transportasi publik. Dengan demikian, Insya Allah masyarakat dapat menikmati transportsi umum yang lebih baik, lebih nyaman, dan lebih manusiawi,” tandas Wamenhub Bambang Susantono, optimis. (Buyung Zulfiar)
Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?58941
Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini
Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
_____________________________________________________
Supported by :