Bagi Bali, Ubud bagai bilik kecil dari sebuah jantung. Satu
ruang kecil yang penting dan hidup. Karena dari sana, pelukis besar dan
terkenal, pernah ada. Sejak tahun 1932 di wilayah banjar (desa)
Padangtegal-Ubud pernah ada sejumlah seniman lokal dan asing, seperti
Walter Spies, Rudolf Bonnet, Arie Smith, Antonio Blanco, Tjokorda Gede
Agung Sukawati dan Hans Snell. Mereka mendirikan sanggar seni Pita Maha
di Padangtegal.

Awal Februari lalu, sejumlah karya seniman asal Desa Padangtegal,
Ubud, Kabupaten Gianyar, berpameran. Mereka banyak terinspirasi dari
pelukis-pelukis itu. Pameran itu menampilkan patung, lukisan dan foto,
itu dibuka oleh Bupati Gianyar Tjokorda Oka Ardhana Sukawati di wantilan (ruang perteman terbuka) Pura Dalem Monkey Forest di Ubud, Bali.

Obyek Wisata Monkey Forest setiap harinya dikunjungi oleh
ratusan bahkan ribuan wisatawan mancanegara. Tempat ini berupa hutan
kecil yang dihuni oleh ratusan kera Bali yang cukup jinak dan dapat
diajak bermain – main. Kera yang berada di hutan Padangtegal berbeda
dari kera kebanyakan , karena kera tersebut disucikan dan tidak diganggu
oleh masyarakat setempat.

“Ini semua merupakan karya para seniman yang tergabung dalam Komunitas Seni Padangtegal (KSP),” kata Ketua KSP, Sudarna Putra. “Teman-teman di KSP baru pertama kali ikut pameran. Dan langsung mendapat kesempatan karya seninya dapat disaksikan turis asing,” katanya.

Pameran itu bertema “Sagilik, Saguluk, Salunglung, Sabayangtaka
itu juga dipentaskan atraksi seni gerak dengan menggunakan alat musik
dari bambu. Atraksi seni gerak itu diperagakan oleh para penari yang
naik ke atas rajutan bambu setinggi enam meter.

“Tarian itu mengandung maksud ajakan kepada masyarakat untuk
mencintai lingkungan serta menjaga keharmonisan alam,” kata Sudarna.

Pameran ini kami harapkan menjadi momentum bangkitnya seniman
Padangtegal yang sudah berkibar sejak tahun 30-an ketika sejumlah
seniman asing, mendirikan sanggar seni Pita Maha di Padangtegal. Seni
rupa di Ubud adalah gabungan dari dua kekayaan sejarah seni rupa, yaitu
antara sejarah seni tradisi di Ubud yang dikembangkan lewat seniman rupa
Bali turun-temurun dan “seni rupa Eropa”.

Kedua latar inilah yang bergabung dalam perhimpunan seniman Pita Maha di
Bali pada tahun 1936. Menyatukan nama seniman Tjokorda Gede Agung
Sukawati, Walter Spies dengan Rudolf Bonnet. Ketiganya bisa disebut Trio Motor seni bagi Ubud.

Seniman dengan latar belakang berbeda namun sejiwa ini lalu
mempertahankan kualitas seni yang kemudian menjadi ciri khas seni rupa
Bali, sekaligus mengembangkan teknik dan topik baru dalam dunia seni
lukis. Ide dari Pita Maha kemudian ditawarkan kepada seniman generasi
muda di Bali. Mereka juga membantu memperkenalkan karya para seniman
muda Ubud-Bali kepada para pelancong dari mancanegara

Wacana seniman-seniman Bali tahun 1930-an dari rahim dan lingkungan
budaya Pita Maha-lah yang melahirkan Gusti Ketut Kobot, Gusti Nyoman
Lempad sampai pada Cokot, Nyana, dan lain-lain.

Di pameran ini, para pelukis tidak banyak bermain warna di dalam
karya-karyanya. Lukisan-lukisan yang ditampilkan kebanyakan menggunakan
tinta hitam-putih atau coklat- kuning- hitam dan banyak menggambarkan
kegiatan masyarakat sehari-hari. Salah satu ciri pelukis desa Padang
tegal adalah menampilkan suasana gembira dalam lukisan-lukisannya.
Misalnya lukisan dua petani yang sedang mengendarai pedati yang ditarik
kerbau. Baik petani maupun kerbaunya digambarkan dengan senyum yang
riang.

Kadang mereka menampilkan lukisan atau foto yang religius. Namun
selalu menampilkan senyum riang pada setiap tokoh-tokohnya. Seakan ingin
mengajak kita untuk tetap optimistis dan tetap gembira di dalam
menjalani hidup. Itulah seniman Ubud, sebuah bilik kecil di jantung
seni Bali. Kecil tapi penting.(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37855

Untuk melihat artikel Seni lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :