Danu (14), mengenakan sepatunya. Pagi itu, dia akan berangkat
ke sekolah. Sepeda dayung di depan rumah pamannya sudah menunggu
mengantar ke sekolah. Dia bersekolah di SMP Negeri 2 Sidoarjo kelas 1. Dua tahun lalu, Danu masih bersekolah SDN Pejarakan kecamatan Jabon, Sidoarjo. Salah satu SD yang sangat dekat dengan lumpur Lapindo. Semenjak SMP dia diminta keluarga pamannya bersekolah di kota Sidoarjo. Agak jauh dari area terdampak lumpur.

Sewaktu bencana Lapindo terjadi, Danu masih kelas 2 SD. “ Waktu itu
sekolah kami sempat berpindah-pindah,” katanya, mengingat beberapa tahun
lalu. Saat itu, Danu dan keluarganya tinggal di pengungsian. “Kami
bersekolah di sekolah yang agak jauh dari lumpur. Kami sekolah diantar
sama bapak-bapak tentara,” katanya melanjutkan. Tentara menurut Danu
memakai truk mengangkut anak-anak untuk bersekolah dan ketika siang
memulangkan kembali mereka ke tempat pengungsian. Tiap hari? “Ya, tiap
hari. Tapi kadang truk tidak bisa jemput karena ada kegiatan bapak-bapak
tentara,” katanya.

Karena situasi yang tidak menentu seperti itu, keluarganya memutuskan
untuk “mengirim” Danu tinggal di rumah pamannya. Sehingga dapat
bersekolah dengan baik. Bagi yang memiliki saudara atau biaya lebih
mereka menyekolahkan anak-anaknya di tempat lain. Namun ada juga yang
masih mencoba bertahan di tempat mereka semula. Karena tak punya banyak
pilihan.

Tahun lalu, lima tahun tragedi lumpur Lapindo di Sidoarjo, gedung
sekolah yang rusak akibat lumpur terus bertambah. Setidaknya 36 bangunan
TK hingga SMA rusak, belum termasuk gedung sekolah di tepi tanggul lumpur yang harus tutup atau pindah.

Sekolah yang terkena lumpur Lapindo tersebar di Kecamatan Porong,
Jabon, dan Tanggulangin. Sekolah swasta yang memiliki biaya biasanya
pindah ke lokasi lain. Sedangkan sekolah negeri hanya dianggarkan dana APBD
untuk perbaikan atau relokasi. “Sekolah yang direlokasi biasanya
digabungkan dengan sekolah terdekat. Sedangkan gurunya ditugaskan ke
sekolah lain yang membutuhkan,” kata Kepala Dinas Pendidikan Sidoarjo,
Agoes Budi Tjahjono.

Bekas sekolah Danu memang sangat dekat dengan Lumpur. Sesekali gas
metan menyembur. Tak sehat untuk kesehatan. Kadang, air lumpur juga
masuk ke halaman dan kelas. Kepala SDN
Pejarakan 1, Mudzakir Fakir mengatakan, sudah tiga kali sekolahnya
terkena lumpur Lapindo. Dia sudah sering mengajukan usul perbaikan
sekolah kepada pemerintah, namun tak ada tanggapan. Belum juga ada
kepastian relokasi gedung sekolah yang akan dijadikan tanggul lumpur
ini.

Tiga bulan lalu, ketika SD Penjarakan terkena lumpur, aktivitas
kegiatan belajar-mengajar siswa terpaksa dipindahkan ke mushala
setempat. Salah seorang guru, Misbaqus Sobir mengatakan para siswa
belajar di ruang mushala karena ruang kelas mereka sudah tidak layak
pakai.
“Bau gas metan yang menyengat yang muncul di sela-sela lantai ruang
kelas dan ruang kamar mandi siswa juga turut mengganggu proses aktivitas
belajar, mengajar siswa,” katanya. Ia mengatakan bahwa semburan gas
metan dari bawah permukaan tanah ini muncul menyebar di area sekolah
yang ditandai dengan gelembung air dan gas di atas permukaan tanah dan
lantai bangunan.

Tak hanya di Pejarakan, di desa Renokenongo, situasinya pun tak jauh
berbeda. Lumpur juga merendam halaman sekolah Taman Kanak-kanak,
Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah
(MA) Kholid bin Walid, serta salah satu ruang kelas yang digunakan
untuk murid kelas I MI Kholid bin Walid. Tinggi genangan 5-10
sentimeter.

“Kami berusaha mengeluarkan lumpur dari ruang kelas sehingga kelas
dapat digunakan,” kata Mashudi, Kepala MI. Menurut Ketua Yayasan Kholid
bin Walid Muslich Sholeh, ada 350 murid dan 30 guru yang belajar ataupun
mengajar di sekolah itu. Dengan pertimbangan banyak murid itu pula,
yayasan sampai saat ini belum mengajukan ganti rugi ke Lapindo. “Kalau
tanah dan bangunan sekolah dibeli sekarang, murid-murid bisa telantar
karena tidak punya tempat untuk belajar,” kata Mashudi.

Terendamnya sekolah yang berjarak 200 meter dari tanggul kolam
penampungan lumpur terluar itu tidak hanya terjadi kali ini. Oktober
2006, kompleks sekolah ini juga terendam lumpur. Ketika itu, dua dari
delapan ruang kelas terendam lumpur cukup parah sehingga tidak dapat
lagi digunakan. Sekitar 50 meter dari sekolah itu terdapat dua sekolah
lain yang masih digunakan, yaitu SDN Renokenongo 1 dan SDN Renokenongo 2.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS)
menyatakan, tidak memiliki anggaran sosial untuk relokasi atau pun
perbaikan gedung sekolah. Hanya ada anggaran untuk dampak lumpur
Lapindo. “BPLS hanya melakukan pendataan. Perbaikan dan relokasi sekolah menjadi urusan mereka (Lapindo dan pemerintah),” kata humas BPLS Ahmad Khusaeri.

Menurut Khusaeri, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007,
biaya perbaikan dan relokasi sekolah yang masuk peta terdampak menjadi
tanggung jawab PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, Peraturan Presiden Nomor
48 Tahun 2008 dan Nomor 40 Tahun 2009 menyebutkan, semua biaya perbaikan
dan relokasi sekolah menjadi tanggungan pemerintah.

“Meski demikian, pihak sekolah hingga saat ini belum berupaya
melakukan evakuasi sekolah ke tempat yang lebih aman, mengingat belum
ada lokasi lain untuk pindah,” ucapnya.

Akhmad Kusairi hanya mengimbau kepada masyarakat untuk tidak
menyalakan api di lokasi tersebut, mengingat kandungan gas yang keluar
mudah sekali terbakar jika disulut api. Dia mengaku telah
menginstruksikan kepada petugas keamanan BPLS untuk terus melakukan pemantauan di lokasi tempat munculnya semburan lumpur tersebut. Ia mengatakan, BPLS sendiri juga tidak melakukan pemasangan sparator di lokasi semburan karena lokasinya yang menyebar di beberapa titik.

Bertahan sampai kapan? “Kami tak tahu,” kata Mashudi. “Kalau mau gampangnya, yayasan menjual saja tanah ini ke BPLS.
Tapi anak-anak akan bersekolah di mana ? Pejarakan juga sama
kondisinya,”lanjut Mashudi. Mungkin Mashudi mewakili hati ratusan
anak-anak yang ingin tetap bersekolah. Anak-anak dan orangtua mereka
menunggu Aburizal Bakrie dan pemerintah untuk segera menuntaskan
beberapa persoalan yang belum selesai, termasuk penyelesaian ganti rugi.
(Indah)

Untuk
share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36723

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :