depok keluarga loen1932Yang dinamakan Belanda Depok itu sebenarnya tidak ada unsur Belandanya sama sekali. Pernyataan itu terlontar dari Yano Yonathan saat ditanya oleh Kabarinews.com perihal siapa sebenarnya Belanda Depok. Istilah Belanda Depok itu muncul saat Hindia Belanda (nama Indonesia sebelum merdeka) sedang gencar-gencarnya membangun jalur transportasi, khususnya rel kereta api antara Jakarta dan Bogor di tahun 1876.

Banyak Belanda Depok yang pergi ke Jakarta dengan menggunakan kereta. Istilah Belanda Depok muncul karena olok-olokan saat para mereka berinteraksi dengan masyarakat “Orang-orang yang sekarang dinamakan Belanda Depok banyak berbicara menggunakan bahasa Belanda selain dari bahasa melayu” tutur Yanu. Namun pada kenyataanya banyak juga yang merasa risih dengan olok-olokkan Belanda Depok karena mereka bukanlah orang Belanda.

Nah, keberadaan Belanda Depok itu tak bisa dilepaskan  dari sosok yang bernama Cornelis Chastelein. Mengutip buku Depok Tempo Doeloe, Cornelis Chastelein adalah anak dari Athony Chastelein seorang Hugenoot protestan pengikut Calvin dari perancis yang melarikan diri ke Belanda akibat pertikaian agama di negerinya. Ia kemudian menikah dengan Maria Cruydenier. Pasangan ini lalu dikarunia oleh 10 anak diantaranya Cornelis Chastelein yang lahir tanggal 10 Agustus 1657.

 

Di usianya yang ke 17,Cornelis menjadi pegawai di VOC dan ditempatkan di Hindia Belanda. Karirnya pun melesat hingga menghantarkan dirinya menjadi seoarang saudagar besar. “Namun Cornelis mengundurkan diri dari jabatannya karena ketidaksetujuannya dengan politik dengan Gubernur Jenderal saat itu karena orangnya humanis dan kritis“ kata Yano salah satu pengurus YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein).

Setelah mengundurkan diri Cornelis lantas membuka perkebunan dan pertanian. Salah satu lahan yang  nantinya menjadi perkebunannya adalah daerah Depok, selain daerah gambir, lapangan banteng dan tempat lainnya. Pengelolannya diserahkan kepada kurang lebih 150 orang pekerja yang dimiliki oleh Cornelis yang dibelinya dari kampung Bali, Benggala dan tempat lainnya.

Yang uniknya para pekerjanya sangat loyal dan patuh menjalankan perintah Cornelis. Yano mengatakan kedekatan antara sang tuan tanah Cornelis dengan para pekerjanya terjalin sangat erat  lantaran Cornelis ingin membentuk komunitasnya sendiri yang sesuai dengan prinsip hidupnya yang humanis. “Ada saatnya para pekerjanya itu percaya kepada Cornelis“ ujar Yanu. Mereka pun dibaptiskan menjadi 12 nama baptis dari 150 budak, diantaranya Jonathans, Laurens, Bacas, Loen, Soedira, Isakh, Samuel, Leander, Joseph, Tholense, Jacob dan Zadokh.

Sebelum kematiannya Cornelis Chastelein berwasiat akan memberikan tanah kepada seluruh pekerjanya dan membebaskan dari perbudakan. Selepas kematiannya,  para pekerja itu lalu mendapatkan apa yang dijanjikan Cornelis dalam surat wasiatnya. Berbekal surat wasiatnya, mereka lalu membentuk tatanan pemerintah sendiri yang diatur dalam Reglement van Het Land Depok. Isi reglement di antaranya Depok dipimpin oleh seorang presiden yang dipilih 3 tahun sekali melalui pemilu.“ Ini lebih bersifat administratif dan mereka seperti mempunyai hak otonomi khusus“ kata Yanu.

Masa sulit “Belanda” Depok

Belanda Depok hidup damai selama puluhan tahun, namun damai itu terkoyak saat Soekarno-Hatta proklamasi kemerdekaan Republik pada 17 Agustus 1945. Tak pelak, rakyat Indonesia menyambut peristiwa itu dengan gegap gempita. pekik merdeka pun berkumandang dengan lantang seiiring dengan berkibarnya sang saka merah putih disetiap sudut jalan.

Tetapi euphoria itu tidak menyentuh tanah depok.  Belanda Depok belum mengakui kemerdekaan RI. konsekuensinya selang beberapa bulan setelah Proklamasi, Depok diserbu oleh tentara republik. Banyak orang Belanda Depok yang ditawan bahkan dibunuh. “Bapak saya  cerita waktu itu pernah ditangkap dan dipukul pakai popor senjata sampai gegar otak tak sadarkan diri selama tiga bulan” kata Yano yang juga merupakan keturunan dari 12 marga pekerjanya Cornelis Chastelein.

Pernah ada suatu cerita saat Belanda Depok ditawan di salah satu gedung yang berada di kota Depok. “Mereka dikumpulkan menjadi satu dan ingin dibakar semuanya” kata Yanu. Untungnya, kata Yanu, ada wartawan asing yang kala itu melihat kejadian dan segera melaporkan kepada pihak Belanda.  Pihak Belanda pun mengirimkan beberapa pasukan Gurkha-nya kesana dan mencegah terjadinya tindakan pembakaran terhadap Belanda Depok.

 

Hanya Dua Pilihan: Tinggal atau Pergi!

HUT61-1Setelah penandatangan Konfrensi Meja Bundar (KMB), Belanda pada tanggal 27 Desember 1949 dan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia  Belanda Depok ditempatkan pada pilihan yang sulit. “Hanya ada dua pilihan saat itu, mau ikut Indonesia atau pergi Belanda” kata Yanu. “Bapak saya termasuk orang yang memilih untuk tetap berada di Indonesia” sambungnya.

Kini, mereka yang tinggal di Indonesia terkumpul dalam satu wadah yang bernama YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein). “Sekarang ini ada kurang lebih 4000 orang Belanda Depok di kota ini dengan beragam profesinya,” tutur Yanu. Keturunan mereka umumnya tinggal di kawasan Depok Lama. Hanya saja, sekarang hanya ada sebelas marga saja karena marga Zadokh telah habis. Hal ini karena keturunann penerusnya kebanyakan adalah wanita.

YLCC ini bertugas mengkoordinasikan masyarakat Depok lama yang 12 marga, menjaga asset berupa tanah pemakaman, lapangan sepakbola, sekolah, rumah sakit, gedung pertemuan, tempat ibadah yang merupakan warisan Cornelis Chastelein serta merawat bukti-bukti peninggalan sejarah. Nah, mereka yang memilih tinggal Belanda  juga  mendirikan sebuah paguyuban yang dinamai De Dodol, singkatan dari Depok Ondervindt Doorlopend Onze Liefd, artinya Depok membuat cinta kami tetap. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62139

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

lincoln