KabariNews  – Siang itu Yanie menyampaikan donasi berupa stroller untuk bayi Nurhakim di RSCM. Nurhakim adalah bayi malang berusia 11 bulan yang menderita Hydrocephallus sejak lahir. Ia sudah dua kali menjalani operasi penyatuan tengkorak dan pemasangan selang. Keluarganya amat bersahaja asal Nusa Kambangan. Mereka menyewa kos di sekitar RS, karena harus 2-3 kali bolak balik dalam seminggu. Yanie berharap, semoga stroller yang nilainya tak seberapa itu dapat membantu dan meringankan beban Ibunda Nurhakim.

10414598_272447826275501_2494997338563885674_nApa yang dilakukan Yanie kepada bayi Nurhakim merupakan satu dari banyak tindakan sosial Yanie saat mendampingi pasien. Setiap beberapa hari dalam seminggu, dia mengunjungi RSCM dengan membawa relawan untuk menghibur pasien dampingannya yang terkena kanker dan penyakit berisiko lainnya. “Saya melakukan ini belum ada dua tahun,” katanya.

Yanie berkisah lagi, apa yang dilakukannya berawal dari pertarungan hidup anaknya melawan penyakit Leukimia selama tiga tahun. Sedih, senang, capek dijalaninya, hingga ajal menjemput anaknya yang bernama Taufan pada Mei 2013. Sedih terasa, layaknya orang tua kehilangan anak tercinta. Ia merasa masih belum bisa merelakan kepergian putra keempatnya itu di RSCM.

Pada Juli, dia kembali ke rumah sakit yang sama ketika Taufan menghembuskan nafas terakhir. Dia mengunjungi bangsal anak sekadar mengenang yang dilakukannya dulu di sana. Wanita yang tinggal di Bekasi ini pun berbagi pengalaman soal kehilangannya melalui email dengan Count Me In. Awalnya, Yanie tidak tahu apa itu Count Me In. Maklum, konsentrasi wanita kelahiran Bandung, 5 Maret 1977 ini hanya untuk rumah tangga.

Namun, lama kelamaan dia intens berkomunikasi dengan Count Me In setelah tahu Count Me In ini merupakan kumpulan para relawan. Yanie berpikir, dia harus berbuat sesuatu. “Apa yang saya lihat di rumah sakit, saya rasakan hal serupa dengan para orang tua yang anaknya terkena kanker. Di saat itu saya ingin bantu mereka,” katanya kepada Kabarinews di RSCM, Jakarta Pusat.

Didukung keluarga dan teman-teman dari Count Me In, termasuk Zack Pettersen, Yanie mendatangi rumah sakit dengan sebuah misi. “Saya ingin mengedukasi lebih banyak orang tua pasien, mengumpulkan lebih banyak teman untuk terus berbagi, dan mengingatkan lebih banyak orang akan penyakit berisiko tinggi, menerangi arah, membuka wawasan, dan mengingatkan bahwa harapan itu selalu ada,” tuturnya.

Syahdan, kegiatannnya pun berjalan lancar hingga pada Desember 2013 Yanie membentuk komunitas yang dinamakan Komunitas Taufan. Kala itu ia berdua saja dengan temannya selama 9 bulan. Namun keduanya menjalankan program sesuai dengan apa yang Yanie rasakan dulu saat Taufan masih dalam perawatan. “Seperti yang saya butuhkan dulu, saya rasakan dulu saja,” bilangnya. Mereka memfasilitasi antara donator dan relawan, melakukan rekreasi dan memberikan santunan berupa kebutuhan dasar.

10846278_329657390554544_8853504722209870721_nTak dinyana, dalam perkembangannya pasien dampingan Yanie membludak sampai ratusan orang. “Baru seumur jagung saya melakukan ini, namun sudah tak terhitung lagi berapa banyak pasien dampingan yang kami _support_”. Yanie mengiyakan semakin banyak pasien dampingan, semakin besar pula tanggung jawabnya. Dukungan moral baginya adalah penting, tetapi dukungan yang berbentuk materi juga sangat dibutuhkan. Apalagi kebanyakan orang tua dengan anak yang menderita kanker bisa kehilangan harta benda dalam waktu panjang. “Kami tak pernah dana, hanya dana saja yang datang kepada kami”

Umur pasien dampingan Komunitas Taufan amat bervariasi, dari 0 sampai 17 tahun. Dalam mendampingi para pasien, dia melakukan pendekatan humanistis yang disesuaikan dengan karakter dan latar belakang si pasien. “Harus ada kemampuan yang esktra bagi mereka yang sudah dewasa, panjang lebar tetapi mukanya datar seperti si-sia saja, berbeda dari anak kecil. Kita hibur, mereka senang, asal kita juga bisa melucu,” tuturnya.

Yanie mengatakan, pasien dampingan yang paling susah jika si anak sudah bosan dan capek tidak mau berobat. Rasanya seperti hilang harapan dan putus asa. Namun, ditambahkannya, anak-anak kecil yang terkena kanker dapat dewasa dengan sendirinya. “Mereka malah sudah terbiasana. Terkadang dia yang menguatkan kita sebagai orang tua. Hati saya trenyuh, karena ada momen di mana anak-anak itu malah yang mengajari kita, orang dewasa, untuk tabah,” tuturnya.

Selain blusukan di rumah sakit, Yanie mengunjungi tempat tinggal pasien. Menurutnya, dengan mengunjungi rumah pasien, kami jadi dapat lebih dekat dengan orang tua dan pasien. Yanie merasa yang mereka butuhkan adalah dukungan moral dan suasana kekeluargaan. Pasien dampingan kebanyakan sudah capek dengan kondisi yang ada. “Awal anaknya sakit banyak yang mendukung, tapi dalam hitungan bulan, semakin sedikit dukungan itu. Oleh karena itu kami melakukan home visit, sebab banyak relawan dan donator yang mau datang,” katanya.

Hingga saat ini Yanie dan Komunitas Taufan sudah mendampingi dan membantu lebih dari ratusan pasien anak dan keluarganya. Harapan Yanie, kegiatan ini dapat memberi hikmah untuk para pasien dampingan maupun yang membantu. “Bagi mereka yang membantu, pertemuan yang hanya sebentar itu banyak sponsor relawan yang bisa mengubah hidup dan cara pandangnya. Berobat bisa dibantu pemerintah. Berobatnya iya, tetapi kebutuhan dasar yang murah itu juga termasuk penting. Saya harap dengan kegiatan ini dapat berdampak pada mereka yang membantu di Komunitas Taufan,” pungkas Yanie.

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/74106

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan

 

 

 

 

Kabaristore150x100-2