“Kokumi seperti halnya apple dan starbucks punya penggemar fanatiknya sendiri sehingga bisa bersaing dalam market. Kokumi bukan barang komoditi yang customers beli hanya dari harga tetapi customers membeli kokumi karena ada asosiasi emosional yang didapat ketika minum Kokumi dan beli merchandise-nya. Nilai lebih terletak pada keunikan, identitas brandnya.”

Demikian yang terucap dari Founder and CEO Kokumi Jacqueline Karina saat ditanya mengenai posisi Kokumi di tengah persaingan minuman kekinian yang kian menjamur meramaikan industri Food and Beverage / F&B di Indonesia.

Kokumi yang dirintis sejak 2018 oleh Jacqueline dengan nama perusahaannya PT Kokumindo Berkat Makmur sekarang sudah memiliki 70 outlet dari awalnya yang satu outlet di wilayah Greenlake. 

Yup! Kokumi yang bukan minuman boba biasa ini didirikan untuk memberikan nilai tambah yang unik yang punya emotional attachment kepada anak-anak muda, dan bisa menjadi suatu brand yang menyentuh hati, nilai hidup dan lifestyle customers.

“Saat bisnis minuman kekinian sedang berkembang, kami memutuskan untuk membuka Kokumi. Minuman kekinian yang menjadi trendsetter dan punya “soul” nya sendiri.  Alasannya karena kami merasa kebanyakan bisnis minuman di Indonesia itu tidak punya branding identity dan personality dan jarang yang punya added value. Kebanyakan hanya FOMO (Fear Of Missing Out), profit oriented, dan hanya ikut-ikutan trend,” kata Jacqueline kepada KABARI.

Kokumi hadir sejurus dengan nama Kokumi sendiri yang diambil dari bahasa Jepang yang memiliki arti rasa ketujuh atau seven sense of the tongue yang bisa dirasakan lidah setelah asin, manis, pedas, pahit, asam, umami dan kaya rasa yang bisa dirasakan lidah pada satu waktu.

“Itulah rasa yang menginspirasi rasa produk-produk di Kokumi,” tandasnya.

Akan halnya dengan lambang Kokumi yang berupa Unicorn yang merupakan karakter mistik yang bisa dilihat hanya oleh orang yang berhati tulus/anak kecil. Unicorn melambangkan magic, harapan dan ketulusan hati, sesuatu yang dibutuhkan target market Kokumi yang menyasar gen z dan milenial dari usia 6-35 tahun.

Dalam membangun bisnis Kokumi, pengalaman kerja Jacqueline yang sebelumnya sebagai professional di Flavor Consultancy sangat berguna dalam melatih palette lidah dan rasa, pemilihan bahan baku terbaik dan bagaimana mengkombinasikannya dalam membangun bisnis Kokumi.

Dan tentunya membangun bisnis Kokumi yang saat ini berjalan 5 tahun tidak semudah membalik telapak tangan.  Terlebih dengan adanya pandemi di awal tahun 2020 sampai sekarang yang secara langsung berdampak kepada roda bisnis Kokumi.

“Sebelum pandemi, pembeli 60% offline dan impulse buyers karena lokasi Kokumi sangat strategis. Setelah pandemi beralih menjadi 60% online. Pandemi ini sangat memengaruhi bisnis Kokumi, terutama dalam sisi marketing. Saat ini kami meminimalisasi operational cost dan lebih membudgetkan dana ke digital marketing,” kata lulusan Universitas Pelita Harapan ini.

Tak hanya pandemi kendala juga ada dalam membangun team yang solid dan sehat, dan persaingan market. Penyelesaian membutuhkan proses, waktu dan tidak secara instan karena masih dalam tahap pembelajaran yang pasti semua dimulai dari sisi fundamentals, mulai dari system, SOP, menjaga standardisasi kualitas.

Terlepas dari kendala, di tahun-tahun mendatang Kokumi akan berupaya lebih menginspirasi customers, sekaligus bisa memberikan lapangan kerja yang inspiratif untuk banyak orang. Karena sukses bagi Jacqueline adalah bisa menjadi berkat dan memberikan dampak yang positif sekecil apapun itu selain juga rencana ekspansi Kokumi yang saat ini sedang rebranding new concept.