Pemilihan Gubernur DKI tahap pertama telah selesai. Sekitar 6,9 juta warga Jakarta pada hari Rabu 11 Juli melakukan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada). Ada 6 pasang calon Gubernur (Cagub) dan wakil Gubernur (Cawagub) Jakarta kali ini, yaitu: 1) Fauzi Bowo – Nacrowi Ramli, 2) Hendardji Soepanji – Ahmad Riza Patria, 3) Joko Widodo – Basuki Tjahaja Purnama, 4) Hidayat Nur Wahid – Didik Rachbini, 5) Faisal Basri – Biem Benyamin dan 6) Alex Noerdin – Nono Sampono.

Hasilnya, agak mengejutkan. Pasangan cagub dan cawagub Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) yang banyak diperkirakan oleh sejumlah lembaga survei memenangkan Pilkada, justru kalah dari pasangan cagub dan cawagub Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok). Perolehan suara Jokowi-Ahok jauh di atas pemilih dua partai pendukungnya, yaitu PDIP dan Gerindra. Artinya, Jokowi-Ahok berhasil menarik suara independen (swing vote) dan bahkan mungkin juga pemilih partai lain.

Hal yang sama dialami Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Pemilihan Presiden tahun 2004. Meskipun Partai Demokrat memperoleh suara kecil, waktu itu SBY bisa memenangkan pilpres tersebut, jauh melampaui Megawati (PDIP) dan Wiranto (Golkar).

Meski banyak pihak menilai, bahwa hal itu wajar untuk Jakarta, tapi hasil itu jauh dari perkiraan elit politik dan survei sekalipun. Semua survei menjagokan Fauzi Bowo dan Nachrowi. Dan hasilnya, semua survei salah. Jokowi dan Ahok yang berada di peringkat dua survei ternyata meraih suara terbanyak.

Ada apa dengan Survei?

Setidaknya ada empat lembaga survei yang menangani Pemilukada Jakarta. Lembaga Survei Indonesia (LSI), LP3 ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan dan Ekonomi Sosial), Lingkaran Survey Indonesia dan Indobarometer.

Lembaga survei ini tidak main-main dalam mengerahkan penelitinya. Lembaga Survei Indonesia memiliki Syaiful Mujani, PhD dan Kuskrido Ambardi,PhD yang keduanya lulusan Ohio University , AS. Di LP3ES ada peneliti senior yang juga ketua Litbang Kompas, Daniel Dakidae. Pada Lingkaran Survey Indonesia ada peneliti senior Denny JA yang juga lulusan Ohio University dan Eriyanto. Sedangkan Indobarometer ada peneliti M. Qodari.
Pada UU Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 246, survei diakui sebagai partisipasi masyarakat dalam pemilu, dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu. Dalam prakteknya, muncul keraguan masyarakat atas nilai etis lembaga-lembaga survei yang kecenderungannya kian banyak yang mengikatkan diri dengan orang atau lembaga yang punya kepentingan politik dalam Pemilu/ Pemilukada.

Sangat terbuka lebar kemungkinan ada kepentingan dalam survei yang didanai oleh pihak yang sedang bertarung. Di tingkat metodologi masih mungkin lembaga survei tertentu masuk ke dalam kekeliruan mendasar, misalnya memilih responden di basis pemesan sehingga angkanya tinggi. Meskipun kesalahan mendasar ini akan sangat mudah terdeteksi, karena hasil riset bisa saja aneh dan jauh berbeda dengan lembaga survei lain.

Karena itu, sangat penting memastikan ulang tatacara pengambilan sample di lapangan. Publikasi hasil riset yang tidak dalam, juga sering dilakukan media
mengingat keterbatasan rubrik atau waktu tayang, serta arah isu menjadi pilihan mereka. Kepentingan pemesan survei dan agenda media, sering menghadirkan informasi hasil survei yang tidak adil. Akhirnya, survei pun menjadi hal yang menarik dalam pertarungan isu media.

Pada pemilukada Jakarta, seluruh survei berbeda dengan hasil akhir. Apa yang salah dengan survei-survei itu ? Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Toto Sugiarto mengatakan, bahwa ada tiga kesalahan yang dilakukan lembaga survei sehingga hasilnya tak tepat.
Pertama adalah salah potret. Pemilihan orang yang disurvei adalah ibu rumah tangga, karena paling mudah dijangkau. Sementara, pemilih pemula yang memiliki kemungkinan sebagai swing voter terbesar justru tidak tertangkap oleh lembaga-lembaga survei ini.

Kedua, wilayah Jakarta memiliki jumlah swing vote yang sangat besar dibandingkan daerah lain. Saat disurvei, umumnya massa ini akan menjawab ragu-ragu atau tidak tahu pilihannya. “Massa mengambang yang cair ini membuat survei menjadi salah dan hasilnya justru berbalik,” kata Toto.
Ketiga, adanya konflik lembaga survei yang merangkap sebagai konsultan politik juga membuat hasil survei menjadi berat sebelah. Karena terkadang pertanyaan yang diajukan kepada warga mengarah untuk memilih ke salah satu pasangan calon.

Tiga kesalahan ini tidak disadari oleh lembaga survei sehingga dapat mengatakan, bahwa pasangan nomor urut satu akan menang mudah pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 yang menawarkan enam pasang calon.
Selain itu, berbagai lembaga survei ini juga tampak tidak membaca angin perubahan yang berhembus di tengah warga Jakarta. Seluruh survei dilakukan pada lebih dari 8 hari sebelum Pilkada. Padahal 7 hari menjelang Pilkada tersebut, terdapat banyak perubahan.

Ada apa dengan Jakarta?

Pilkada adalah ajang mempertaruhkan masa depan. Pemilih Jakarta adalah pemilih yang cerdas dan terdidik serta tidak lagi bisa dikelabui dengan kampanye hitam (kampanye yang menjelek-jelekkan lawan).
Pemilih Jakarta tidak mengandalkan nasib masa depannya semata-mata kepada partai-partai politik, tetapi lebih kepada figur yang dipercayai mampu membawa masa depan yang lebih baik. Bahwa figur itu merupakan calon partai politik, tidak ada masalah. Dukungan banyak tokoh kepada Foke-Nara, ternyata juga tidak berarti.

Pelajaran pertama dari Pemilukada DKI, faktor figur sangat penting. Kalau di dalam lingkungan partainya ada tokoh yang potensial dan memperoleh kepercayaan luas, memang layak diajukan. Pemilihan di lingkungan partai pun harus dilandasi jiwa besar, bahwa pemilihan itu dilandasi semata-mata bagi kepentingan nasional. Calon yang diajukan harus memiliki daya jual tinggi, termasuk di luar partainya. Kalau ternyata tidak memiliki daya jual yang tinggi, tidak mustahil hanya akan menjatuhkan nama partai.

Pelajaran kedua, setiap partai makin dituntut untuk melakukan pencarian bibit-bibit pemimpin, baik di lingkungan maupun di luar partainya. Penemuan Jokowi dan Ahok dapat dikatakan hasil kecermatan kedua pimpinan partai, PDIP dan Gerindra, yang menemukan keduanya untuk dicalonkan sebagai pasangan gubernur-cawagub. Hal yang sama mestinya juga harus dilakukan oleh partai-partai lain.

Pelajaran ketiga, partai-partai politik kita didorong makin terbuka. Dengan demikian, tidak menutup kehadiran bibit-bibit pemimpin di luar partainya, bagi kehormatan partai dan kepentingan nasional.
Rakyat juga tidak akan keliru memilih pemimpinnya. Sebab, calon pemimpin yang diajukan oleh partai-partai sudah sangat selektif, sebagai yang terbaik, baik dari luar maupun dalam lingkungan partai yang bersangkutan. Ini pelajaran yang sangat berharga dari Pilkada Gubernur DKI. (1002)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?46761

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :