Bila orang Indonesia tersesat di kota-kota di Mesir dan bisa
berbahasa Arab, tidak perlu kuatir. Cukup bilang, “orang Indonesia” dan
orang Mesir akan bersikap ramah dan cepat membantu. Kenapa begitu
merasa dekat ?

Orang Mesir – terlebih di angkatan tua- amat mencintai presiden
Mesir tahun 1950-an, Gamal Abdul Nasser. Presiden ini dekat dengan
Soekarno. Sejak itu, Indonesia dan Mesir saling menjaga hubungan baik.
Soeharto di akhir kekuasaan tahun 1998, sedang melakukan kunjungan ke
Mesir. Waktu itu, Hosni Mubarak sudah menjadi Presiden Mesir. Sepulang
dari Mesir, Soeharto menyatakan mundur. 13 tahun kemudian, perlawanan
rakyat dialami oleh Mubarak. Tidak seperti Soeharto, Hosni sangat keras
kepala.

Mesir diatur dengan sistem semi presidensial multipartai. Di atas
kertas, kekuasaan eksekutif dibagi antara presiden dan perdana menteri.
Praktek di Mesir adalah, kekuasaan terpusat pada presiden. Hosni Mubarak
berkuasa sejak 1981 menggantikan Anwar Sadat. Dia selalu memenangkan
Pemilu dengan sistem kandidat tunggal. Tahun 2005, Amerika Serikat
mendesak Mubarak merevisi konstitusi soal multikandidat presiden. Pemilu
2005 berlangsung dengan beberapa calon presiden. Mubarak tetap menang.
Kini Mesir bergolak. Bila kekacauan usai, apakah Mesir tetap memiliki
magnet bagi orang Indonesia? Jawabannya, Ya. Alasannya ? Universitas Al
Azhar.

Al Azhar dengan 40 fakultasnya, adalah pusat pendidikan sastra Arab
dan kajian Islam Sunni terbesar di dunia. Misi universitas ini adalah
penyebaran agama dan budaya Islam. Ribuan Sarjana dan Doktor Indonesia,
lulusan Al Azhar. Di Mesir, saat ini terdapat 5083 mahasiswa Indonesia.
Mereka sebagian besar belajar di Al Azhar, meski ada juga yang belajar
di Cairo University dan beberapa sekolah tinggi lainnya.

Kemudahan akses dan mahasiswa

Banyaknya mahasiswa Indonesia di Mesir tak lepas dari peran Departemen Agama Indonesia. Ada Memorandum of Understanding(MOU) dengan Al Azhar University
Mesir. Mereka banyak memberi beasiswa lewat Departemen Agama RI.
Beasiswa itu mulai dari sekolah tingkat menengah, program sarjana dan
pascasarjana.

Melamarnya, cukup mudah. Pendaftarannya bisa dilakukan di IAIN atau Departemen Agama di setiap provinsi.

Humaidi Hambali, misalnya. Dia mendapat beasiswa setelah mendaftar di
Departemen Agama Yogyakarta. Alumnus pesantren Krapyak Yogyakarta ini
bebas dari uang kuliah dan mendapat 165 pound Mesir atau sekitar 45 US$ /
bulan untuk tunjangan hidup. Jumlah yang tidak banyak. Beasiswa itu
biasanya ditujukan untuk lulusan-lulusan terbaik setiap provinsi. Tesnya
lumayan. Bahasa Arab, hafalan Al Quran dan pengetahuan agama. Tim
penilai di Indonesia adalah lulusan Al Azhar juga.

Untuk menghemat beasiswa yang tidak banyak itu, Humaidi tinggal
dengan mahasiswa Indonesia. Selain asrama Al Azhar, ada juga asrama
daerah ; asrama mahasiswa Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pembangunan asrama itu dibantu oleh masing-masing provinsi.

“ Lebih enak sekamar dengan sesama orang Indonesia. Bisa saling mengerti
situasi dan psikologi dibanding harus sekamar dengan mahasiswa dari
negara lain,”kata Humaidi yang tinggal di Nasser City.
Warga Indonesia sebagian besar tinggal di distrik 10, Nasser City, Cairo
. Karena, harga sewa rumah di distrik itu lebih murah dibanding
kawasan lain.

Menurut Humaidi, mahasiswa Indonesia umumnya kuliah di
dua fakultas yaitu Syari’ah (jurusan Syari’ah Islamiyah) dan Ushuluddin
(jurusan Tafsir dan Hadis). Dia mengambil jurusan Tafsir dan Hadis.
Sekarang tingkat tiga. “Umumnya mahasiswa Indonesia mengambil 2 jurusan
itu. Selain itu, terlalu sulit bagi kami,” katanya.

Mahasiswa Indonesia di Al Azhar rata-rata menyelesaikan kuliah dalam
waktu yang lama. Lebih dari 4 tahun untuk S1. Kelulusan di sana
ditentukan oleh hasil ujian tingkat. Bukan jumlah satuan kredit semester
(SKS) seperti Indonesia. Mahasiswa yang lulus
seluruh mata kuliah di satu tingkat akan naik ke tingkat berikutnya.
Mahasiswa yang gagal, harus mengulang lagi di tingkat yang sama, dengan
mengambil mata kuliah yang sama pula. Memang, ada toleransi. Kalau hanya
2 mata kuliah yang tidak lulus, si mahasiswa dapat naik tingkat dengan
mengulang 2 mata kuliah itu.

Mahasiswa yang gagal lebih dari 2 mata kuliah, harus mengulang seluruh
mata kuliah yang ditempuhnya di tingkat yang sama. Sistim kuliah masih
menggunakan
sistem ceramah. Mahasiswa mendengarkan ceramah dosen di kelas. Bukan
sistem kelas kecil dan dialogis. Juga bukan membuat makalah untuk
didiskusikan. Jumlah mahasiswa mencapai ratusan untuk kelas-kelas
tertentu. Kehadiran mahasiswa di kelas (absensi) tidak jadi hal yang
penting.

Humaidi dan 3 teman Indonesia, saat ini masih bertahan di rumah mereka. Makanan jadi masalah. KBRI memang mengirimkan instant mie. Tapi mereka bagikan juga ke beberapa mahasiswa Indonesia lainnya. Uang di ATM tak bisa diambil, karena tak ada uang lagi di tempat itu.

Mereka masih bisa berkomunikasi dengan internet dan handphone.
Meski jauh dari Tahrir Square, menurut Humaidi, Nasser City mulai
rawan penjarahan. Kendaraan lapis baja dan truk militer melakukan
patroli setiap malam. Suara tembakan kadang terdengar. Ada ronda malam
yang dilakukan Komite Rakyat setempat, untuk membantu mengendalikan
keamanan.

Dengan keadaan seperti ini, bisakah Mesir yang ekonominya bersumber
dari pariwisata dapat mengembalikan citranya lagi? Humaidi dan
teman-temannya, menjawab: “Bisa. Bila revolusi ini berakhir, kami akan
kembali. Karena Al Azhar menanti kami, “ ujar mereka. (Indah Winarso)

Untuk share atrikel ini klik www.KabariNews.com/?36306

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :