Kendati mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, pemeluk Islam juga hidup tenang di Pulau Dewata itu. Keberadaan Suku Sasak asal Lombok Timur yang telah tinggal ratusan tahun di Kabupaten Karangasem, menjadi bukti mereka hidup dalam bingkai perdamaian.

Suku Sasak yang mayoritas beragama Islam mendiami sejumlah dusun salah satunya di Dusun Bukit Tabuan, Kecamatan Karangasem. Berada di kawasan sejuk yang dikelilingi bukit hijau menjadikan kampung ini sebagai salah satu permukiman Muslim yang cukup tua di kabupaten paling timur Bali ini.

”Menurut cerita leluhur kami, keturunan Suku Sasak sudah ada di sini sejak 200 tahun lalu,”tandas Mahidin,30, seorang tokoh warga setempat. Menurut data terakhir, sedikitnya sekitar 300 jiwa orang Sasak tinggal di kawasan perbukitan ini.

Rata-rata setiap keluarga memiliki empat anak. Diprediksi,generasi sekarang merupakan keturunan Suku Sasak yang kesembilan. Banyak dari mereka yang mengubah nasib dengan merantau ke daerah lain seperti ke Sumatera, Sulawesi dan daerah lain di Indonesia.

Penduduk yang tinggal di daerah tersebut tetap hidup dalam kesederhanaan dan keterbatasan. Maklum infrastruktur jalan maupun listrik memang belum sepenuhnya mendukung mobilitas warga, lantaran kondisi jalan masih berbatu dan rusak. Menurut informasi, jaringan listrik bahkan baru mengalir pada 2010 atau sekitar sembilan bulan lalu.

Sebagian besar mereka menggantungkan hidup sebagai petani, buruh, dan pedagang. Beruntung, daerah ini memiliki kekayaan alam melimpah seperti hasil perkebunan, pertanian dan peternakan yang sebagian besar untuk menyuplai kebutuhan warga Kabupaten Karangasem dan sekitarnya.

Karena sudah cukup lama di provinsi tersebut, mereka tidak hanya menguasai bahasa Suku Sasak, tetapi juga fasih berbahasa Bali. Dengan demikian, mereka mudah berinteraksi dengan kelompok warga asli Bali. Dari penuturan para tokoh agama dan masyarakat setempat, konon lahan subur yang mereka diami merupakan pemberian Raja Karangasem yang memiliki hubungan erat dengan nenek moyang mereka.

”Hubungan Islam dengan umat lain khususnya warga Hindu sejak dulu tetap harmonis dan damai.Tidak pernah terjadi gejolak atau permasalahan yang besar. Kami bisa hidup rukun berdampingan,” katanya.

Mereka sadar, meski sebagai pendatang, tetap menjunjung tinggi dan menjaga daerahnya seperti tanah asal leluhurnya di Lombok. ”Kami ini sejak lahir dan besar di sini. Bahkan kami tidak tahu lagi di mana kerabat. Kami juga tidak lagi memiliki tanah di Lombok, karena memang seluruh leluhur kami tinggal di sini,” ucap Mahidin.

Kesempurnaan keislaman mereka juga diperkaya dengan masuknya para mubalig, termasuk Jamaah Tablig yang rutin mengajak masyarakat setempat untuk berdakwah dan beribadah di masjid. Kehidupan religius sangat kental terasa di dusun ini.Setiap menjelang salat lima waktu, terdengar kumandang azan dan warga berbondong-bondong menunaikan salat.

Diakui Mahidin,meski sebagai penduduk minoritas, mereka tetap bisa diterima dan diakui,baik oleh jajaran pemerintahan maupun masyarakat Hindu.“Kami juga punya tradisi keislaman yang tetap terpelihara hingga sekarang seperti saat hari-hari besar hingga Ramadhan,” akunya.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37165

Untuk melihat artikel Nusantara lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :