Taruna Ikrar memperoleh penghargaan sebagai ilmuwan berpengaruh di Indonesia dari Unpri Medan. Penghargaan gelar ilmuan berpengaruh di Indonesia tersebut diserahkan langsung oleh Rektor Unpri Prof. Dr. Crismis Novalinda Ginting, M.Kes. kepada Kepala BPOM Prof. dr. Taruna Ikrar, Ph.D., M.Biomed. di Ballroom Universitas Prima Indonesia (Unpri) Medan, Sumatera Utara, Sabtu (4/1/2025).
Acara yang dihadiri Menteri Hukum Supratman Agtas dan Penjabat (Pj.) Gubernur Sumatera Utara Agus Fatoni juga dihadiri Beberapa rektor dan tamu undangan lainnya. Rektor Universitas Insan Cita Indonesia Prof. Laode Masihu Kamaluddin, Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Muryanto, Amin, S.Sos, M.Si, Dekan Fakultas Farmasi Militer–Universitas Pertahanan Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.Si., Apt., Wakil Kepala BRIN Prof. Dr. Ir. Amarulla Oktavian, S.T., M.Sc., DESD., ASEAN Eng., Ketua Dewan Pengurus Daerah Ikatan Alumni Lemhannas Prof. Yusran Jusuf, dan Director Center for Leadership of Indonesia Prof. Dr. Muh. Nur Sadik, MPM. Hadir menyaksikan langsung pemberian penghargaan sekaligus orasi ilmiah yang disampaikan Kepala BPOM.
Kepala BPOM RI Taruna Ikrar memaparkan mengenai silent pandemic yang juga telah dituangkan Taruna ke dalam 2 bukunya yang berjudul “Ancaman ‘Silent Pandemic’ Akibat Resestensi Antimikroba” dan “Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia”. Kedua buku tersebut diserahkan Taruna kepada tamu undangan yang hadir. Buku ini merupakan sumbangsih Taruna Ikrar dalam pengembangan di dunia kesehatan Indonesia.
Rektor Unpri Prof. Dr. Crismis Novalinda Ginting, M.Kes., dalam sambutannya mengatakan bahwa Unpri berkomitmen untuk berkontribusi terhadap perkembangan pengetahuan dan teknologi bidang kesehatan. Untuk itu, Unpri memberikan penghargaan tertinggi ilmuwan berpengaruh di Indonesia kepada Kepala BPOM Taruna Ikrar.
“Prof. Taruna telah berkontribusi signifikan di bidang farmakologi, kesehatan jantung, dan sistem saraf. Karya-karyanya telah menginspirasi. Saya mewakili civitas akademika Unpri mengucapkan selamat [kepada] Prof. Taruna Ikrar, bukan hanya bentuk apresiasi tapi [juga] dorongan untuk terus berkarya di tingkat nasional dan global,” ungkap Crismis.
Sementara Menteri Hukum Supratman Agtas dalam sambutannya mengatakan bahwa Supratman tidak meragukan penghargaan tersebut karena Prof. Taruna Ikrar telah menunjukan kapasitasnya yang mumpuni sebagai ilmuwan dan praktisi. Selain itu, tugas Taruna sekarang sebagai Kepala BPOM bukanlah tugas yang ringan. Tugas ini merupakan beban tanggung jawab yang luar biasa untuk mengawasi begitu banyaknya produk obat dan makanan yang beredar di Indonesia.
Kepala BPOM Taruna Ikrar merupakan alumni Fakultas Kedokteran Unhas telah menyelesaikan magister biomediknya dengan spesialisasi Farmakologi di Universitas Indonesia pada 2003. Dalam orasi ilmiahnya siang ini, Taruna memaparkan bahwa silent pandemic atau resistansi antibiotik pada tubuh seseorang yang diakibatkan oleh antimikroba menjadi ancaman serius dunia. Resistansi antimikroba kini menjadi fenomena biologis kompleks yang mengancam kemampuan manusia dalam mengendalikan mikroorganisme berbahaya.
Lebih lanjut Taruna menjelaskan bahwa resistansi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup dan berkembang bahkan ketika di bawah paparan obat antimikroba yang sebelumnya efektif membunuh mereka. Spektrum mikroorganisme yang berpotensi menjadi resistan sangatlah luas seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit.
“Setiap kali mikroorganisme terpapar agen antimikroba, terjadi seleksi ketat di mana organisme yang memiliki keunggulan genetik untuk bertahan akan melangsungkan kehidupan dan reproduksi,” urai Taruna Ikrar.
Bakteri dapat mengalami mutasi genetik dalam hitungan menit, memungkinkan mereka secara cepat mengembangkan mekanisme pertahanan melawan zat antimikroba yang semula efektif membunuh mereka. Setiap kelompok memiliki karakteristik unik dalam menghadapi tantangan antimikroba. Bakteri merupakan contoh paling nyata, dengan kemampuan horizontal gene transfer yang memungkinkan mereka berbagi informasi genetik resistansi antarspesies.
Mekanisme terjadinya resistansi antimikroba sangat beragam dan canggih. Bakteri dapat mengembangkan resistansi melalui beberapa strategi genetik. Pertama, bakteri dapat memodifikasi struktur molekul yang menjadi target obat, sehingga antimikroba tidak lagi mampu berikatan atau mengganggu fungsi sel bakteri. Kedua, bakteri dapat mengembangkan enzim yang mampu merusak atau memodifikasi struktur molekul obat sebelum obat tersebut dapat memberikan efek. Ketiga, mereka dapat mengembangkan pompa efluks, yaitu mekanisme yang secara aktif mengeluarkan molekul obat dari dalam sel sebelum obat dapat memberikan efek terapeutik.
Dalam orasi tersebut, Taruna Ikrar juga menguraikan beberapa faktor pendorong resistansi. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional baik dalam bidang kesehatan manusia maupun peternakan, menjadi faktor pendorong utama. Faktor ini telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme. Ketika antibiotik digunakan secara berlebihan atau tidak tepat, hal ini menciptakan tekanan seleksi yang kuat bagi mikroorganisme untuk beradaptasi dan berkembang. Selain itu, globalisasi, perpindahan penduduk, dan perdagangan global semakin mempercepat penyebaran strain resistan lintas wilayah dan benua.
“Upaya mengatasi resistansi antimikroba memerlukan strategi komprehensif yang tidak hanya berfokus pada pengembangan obat baru, tetapi juga pada perubahan perilaku dan sistem,” jelas Taruna kembali. Penanganan ini membutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan mikrobiologi, genetika, epidemiologi, kebijakan kesehatan, dan kesadaran masyarakat.
Kesadaran global terhadap resistansi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistansi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan. Di Indonesia, resistansi antimikroba memiliki dimensi kompleks yang dipengaruhi oleh faktor geografis, demografis, dan sistem kesehatan. Sebagai negara dengan keragaman ekologis dan praktik kesehatan yang beragam, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam mengendalikan penyebaran mikroorganisme resistan.
Berdasarkan data Bank Dunia, pada tahun 2050 diperkirakan kerugian ekonomi global akibat resistansi antimikroba dapat mencapai 100 triliun dolar atau setara dengan hilangnya 3,8% produk domestik bruto global. Sedangkan Proyeksi World Health Organization (WHO) pada tahun 2050, diperkirakan 10 juta nyawa akan hilang setiap tahun akibat angka infeksi resistansi yang melampaui kematian karena kanker.
Hal ini menuntut perhatian dan bukan sekadar prediksi statistik, melainkan peringatan keras tentang potensi keruntuhan sistem kesehatan global. Setiap tahun penundaan penanganan serius akan semakin memperbesar risiko bencana kesehatan global. Hal inilah yang menjadikan resistansi antimikroba merupakan silent pandemic bagi seluruh dunia.
“Respon internasional menjadi kunci dalam mengatasi krisis resistansi antimikroba. Dibutuhkan kolaborasi lintas negara, lintas sektor, dan lintas disiplin ilmu. Tidak hanya diperlukan riset pengembangan obat baru, tetapi juga transformasi menyeluruh dalam praktik penggunaan antimikroba di bidang kesehatan, pertanian, dan peternakan. Setiap negara, institusi, dan individu memiliki peran strategis dalam mencegah eskalasi krisis ini, “ tutup Taruna Ikrar.
Sumber Foto: Istimewa
Baca Juga:
- Genta Garby luncurkan single baru “Senandung Hidupku”
- Spesial Untuk Base Jam Friends, Base Jam Rayakan Ulang Tahun ke-31 dengan Acara “Unsung Songs – Acoustic Session”
- BPOM Ajak Influencer Kosmetik Gaungkan Produk Lokal Aman dan Berkualitas
- Model Cilik Berprestasi Joanne Ekklesia Aritonang Bercita-cita Ingin Berpartisipasi Pada Ajang Miss Universe di Masa Depan
- Kedubes AS Luncurkan Ambassador’s Youth Diplomacy Academy untuk Pemimpin Muda Indonesia