KabariNews – Bertahun-tahun Renny Damayanti Mallon beserta kawan-kawan Diaspora Indonesia di Tim Advokasi Diaspora Indonesia Global yang menangani Keimigrasian dan Dwi Kewarganegaraan Indonesia terus menyuarakan agar Dwi Kewarganegaraan Indonesia mewarnai Undang-undang Kewarganegaraan yang baru bagi Diaspora Indonesia. Bila ini berhasil, maka banyak kentungan bisa dipetik oleh para Diaspora Indonesia dan negara tempat kelahiran mereka, Indonesia. Seperti di banyak negara yang telah memberlakukan asas tersebut terbukti mencapai pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan.Bersama Nuning Purwaningrum Hallett, Renny memberikan gambaran hasil riset tentang pentingnya Dwi Kewarganegaraan bagi Diaspora Indonesia yang berjumlah sekitar 8-10 juta orang, di mana 4,6 juta-nya masih WNI dan sisanya eks-WNI beserta keturunannya.

Saat ini migrasi menjadi faktor penting dalam rencana pembangunan global pasca Millennium Development Goals 2015. Diaspora menjadi non-state actors dalam Hubungan Internasional dan sebagai agen perubahan di Tanah Air dapat dimaksimalkan perannya secara efektif untuk membawa remitansi dan juga asset dalam bentuk human capital, skills, wealth, dan networks.

Sebanyak 56 negara di dunia sudah menyesuaikan kebijakan imigrasi dan kewarganegaraannya untuk mengakomodasi Diaspora. Di antaranya, 44 negara menerapkan Dwi Kewarganegaraan dalam konteks seseorang tidak kehilangan warga negara asalnya jika ia mengambil kewarganegaraan lain. Strategi “extended nation” ini membuktikan ke-44 negara itu beroleh 78% remitansi dan sirkulasi aset lebih banyak dari negara lain.

Saat ini Indonesia masih belum memiliki kebijakan efektif dalam mengelola Diaspora. DPR sudah mengajukan usulan RUU Amandemen atas UU Kewarganegaraan No 12 Tahun 2006 untuk mengakomodasi Diaspora, membuka peluang Dwi Kewarganegaraan bagi Diaspora, dan mendapuk potensi Diaspora untuk pembangunan nasional Indonesia.

Hamdan Hamedan mengulas, banyak negara, di antaranya India, merasakan manfaat dari adanya UU Dwi Kewarganegaraan, seperti transfer teknologi, ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia yang diberikan oleh para Diaspora.

Menurut Renny, pemegang Dwi Kewarganegaraan menjadi potensi pahlawan devisa yang luar biasa. Saat ini mantan WNI yang telah menjadi WNA memiliki banyak kendala berinventasi karena terhalang oleh banyaknya peraturan investasi yang ada. Jika mereka diberi kesempatan memiliki Dwi Kewarganegaraan dan mendapatkan WNI-nya kembali, maka kendala dan halangan tersebut akan hilang. Mereka akan memiliki kemudahan berinvestasi, sekaligus beroleh kepastian hukum.

“Diaspora Indonesia Eks-WNI ingin berbakti kepada Indonesia, dengan adanya UU Kewarganegaraan yang membolehkan Dwi Kewarganegaraan, sehingga mereka merasa tetap WNI dan merasa kembali direngkuh oleh Pemerintah. Ini akan menguntungkan kedua belah pihak, baik Diaspora Indonesia Eks-WNI maupun Negara Indonesia,“ kata Renny dalam diskusi KABARI bertema Dwi kewarganegaraan beberapa waktu lalu.

Sementara itu Christian Tan, Diaspora Indonesia di Amerika Serikat mengatakan, pemerlakuan Dwi Kewarganegaraan di Era Globalisasi sekarang di mana mobilitas begitu tinggi akan menciptakan efektivitas ekonomi. Kepastian hukum bagi Diaspora Indonesia yang eks-WNI ini memungkinkan mereka bisa berinvestasi dan melakukan aktivitas lainnya yang dapat membantu meningkatkan ekonomi tinggi.

Ditambahkan Renny, para Eks-WNI ini juga akan merasa aman, membuka peluang berinvestasi dan juga membuka lapangan kerja. “Namun, pasti ada perbedaan antara WNI dan WNA dalam perlindungan hukum jika kita bukan warga negara,” tandasnya.

Salah seorang Diaspora Indonesia di Amerika Serikat lainya, Dita Nasroel Chas, berpendapat sedikit berbeda. Katanya, dengan makin terbukanya jarak dunia, banyak sekali orang Indonesia, pria dan wanita, yang menikah dengan orang asing. Jika pernikahan lancar, tidak ada masalah. Tetapi bagaimana jika salah satu pasangannya meninggal dunia atau bercerai?

Perempuan yang telah menjadi ibu sering kewalahan, sebab diketahui, anak hasil perkawinan campur akan memiliki warga negara bapaknya, dan sampai usia 21 tahun ia harus memilih warga negaranya sendiri. “Tidak jadi persoalan jika si anak pandai memilih. Bagaimana jika anak itu seorang difabel? Pasti kewalahan memilihnya,” katanya.

Ada tiga kategori pokok yang diperjuangkan Tim Advokasi Dwi Kewarganegaraan: Pertama, untuk WNI di luar negeri di mana Diaspora Indonesia tidak kehilangan status WNI bila ia mendapatkan kewarganegaraan di negara domisili. Sekali WNI, tetap jadi WNI. Kedua, memberikan Dwi-Kewarganegaraan kepada Eks-WNI baik orang dewasa dan anak-anak, termasuk anak yang memegang status Dwi Kewarganegaraan Terbatas. Ketiga, memberikan Dwi-Kewarganegaraan kepada orang dewasa dan anak-anak yang lahir di luar negeri dan Indonesia, di mana salah satu orang tuanya WNI atau mantan WNI, atau kedua-duanya WNI, namun akibat hukum Ius Soli/Ius Sanguinis yang berlaku di negara bersangkutan menyebabkan subyek Dwi Kewarganegaraan tersebut menjadi WNA secara otomatis. (Baca juga Penerapan Selektif Dwi Kewarganegaraan)

Hanya saja perjuangan Diaspora agar Dwi Kewarganegaraan menjadi Undang-undang bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan biaya besar dan proses yang panjang. Nuning Purwaningrum Hallett, Direktur Eksekutif Yayasan Diaspora Indonesia mengatakan, isu Dwi Kewarganegaraan harus masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) di DPR dulu. UU yang akan diamandemenkan, diubah, atau dibuat UU baru masuk dan lolos dalam Rapat Paripurna, apakah akan dibahas atau tidak.

Untuk masuk Prolegnas pertama harus diusulkan, entah dari DPR atau pemerintah. Soal Dwi Kewarganegaraan di bawah Komisi III DPR. Namun, pada 2015 tidak dibahas, karena Tim Diaspora belum siap dengan naskah akademis dan Rancangan Undang-undang (RUU). Siapa yang membuatnya? Mereka adalah para stakeholder: DPR, Pemerintah dan Diaspora.

“Masing-masing membuat naskah dan RUU, lalu dibandingkan. Jika tidak sependapat, didiskusikan hingga tercapai titik temu dan bisa disahkan di Sidang Paripurna sebagai UU,” tutur Nuning.

Dalam proses legislasi penyusunan naskah akademis tersebut, Tim Advokasi Diaspora melibatkan tenaga dan pemikiran para ahli Hukum Internasional, Kewarganegaraan dan Tata Negara. Dibutuhkan biaya besar bila kita meminta DPR bekerja dan menjadikan isu Dwi Kewarganegaraan untuk mereka kerjakan, kata Nuning.

Untuk masuk ke Sidang Paripurna, diperkirakan butuh dana 1 miliar IDR (setara 77,000 $ US dengan kurs 13.000). Tetapi yang paling mendesak adalah menyelesaikan naskah akademik Dwi Kewargenegaraan pada Juli 2015 ini. Bila telat, maka tidak bisa membuat RUU dan masuk ke Sidang Paripurna membahas masalah Dwi Kewarganegaraan.

“Dana yang paling mendesak adalah 350-500 juta IDR untuk pembuatan Naskah Akademik ditargetkan Juni – Juli 2015. Itu yang perlu dikejar agar jangan sampai mundur,” tuturnya. (1009)

Bantuan dana untuk membantu meloloskan UU Dwi Kewarganegaraan Indonesia bisa disalurkan melalui:

1. GOFUNDME: www.Gofundme.com/9200ek
2. PAYPAL : timadvokasidk@gmail.com
3. Check / Money Order, ke alamat :
Indonesian Diaspora Network (IDN) – USA
2130 Harvey Mitchell Parkway, #9837
College Station, TX 77840.
(jangan lupa untuk menuliskan alamat emailnya di dalam surat/mail)
4. Deposit dan Transfer, ke bank di Indonesia :
BNI KCP Plaza Semanggi.
Jl. Jend. Sudirman Kav. 50, Jakarta 12930.
a/n Yayasan Diaspora Indonesia Global.
No. account: 6116 6116 54.
SWIFT: BNINIDJAXXX

(Silakan sertakan email kepada timadvokasi@yahoo,com setelah melakukan transfer dan menyertakan bukti transfer)