KabariNews – Erasmus Napitulu merupakan seorang peneliti di bidang hukum di bawah bendera Institute For Justice Reform atau yang lebih dikenal dengan ICJR.

Jelang pemilu 2019 mendatang, anggota para Dewan di DPR dan MPR mempersiapkan Undang – undang (UU) yang dikaji setiap 4 hingga 5 tahunan yang mengatur tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (UU MD3)

Dengan demikian, Erasmus memaparkan  mengenai kajian UU tersebut, “Sebenarnya undang-undang ini merupakan Undang – Undang  5 tahunan. Karena setiap 5 tahun dia berubah berdasarkan kebutuhan di setiap pemilu, jadi hampir 5 tahun sekali undang-undang ini diproduksi,” paparnya.

“Setlah UU MD3 2014, dan untuk tahun ini UUD MD3 2018 harusnya sudah disahkan, jadi UU ini bisa dikatakan sebagai UU 4 sampai 5 tahunan karena dia sangat berhubungan dengan kebutuhan setiap pemilu dan masalahnya juga hampir sama, setiap lima tahunan sekali menimbulkan masalah karena memang kebutuhan akan UU MD3, pergolakan politik dalam konteks – konteks struktural di MPR,DPR, DPRD, DPD, tentunya itu sudah terjadi 4  hingga 5 tahun,” lanjut Erasmus.

Jadi undang-undang ini sangat sarat dengan konteks politik, dan selalu diperbaiki, diperbaharui setiap 4 hingga 5 tahun sekali.

Selain itu, kata Erasmus, “Sebenernya UU MD 3 karena pengaturannya sangat struktural, jadi dia mengatur semua mekanisme pembahasan dalam DPR, MPR, DPRDDPD,  jadi di sana kita bisa melihat alat kelengkapan para Dewan tersebut, lalu kita melihat mekanisme bahasan, kita bicara hak dan kewajiban dari anggota DPR yang kita pilih setiap 5 tahun sekali dan efeknya cukup bisa dibilang besar ya, terkait dengan pengaturan di DPR, DPRD dan di MPR,” ujar Erasmus

Perbedaan yang mendasar mengenai perubahan UU MD 3 ini secara sruktur hampir sama, bahkan tidak terlihat adanya perubahan, “Perubahan paling besar yang mendasar yaitu di beberapa aturan, jadi sorotan utama sebenernya pembagian kursi antara DPR dan MPR, DPRD dan DPD dan lainnya yang berubah,” kata Erasmus.

Dikatakan Erasmus, ICJR  menyoroti hal ini adalah masalah penegakkan hukum dari lima tahun yang lalu. Menurutnya, keberadaan Majelis Kehormatan Dewan (MKD), kemudian hak imunitas dari anggota DPD dan DPRD inilah yang menjadi problem bagi ICJR.

“Jadi yang menimbulkan masalah karena ada putusan Mahkamah Konstitusi, pada tahun 2014, ICJR juga sebagai pemohon pada saat itu, kita mengajukan yudisial kerena kita merasa bahwa ada campur tangan MKD  terkait dengan mekanisme-mekanisme penegakkan hukum yang harusnya sifatnya pro justice atau sangat murni hukum dilakukan di Indonesia,” ungakp Erasmus.

Menurut dia, perubahan ini kemudian oleh UU MKD yang baru dimasukkan kembali dan mereka mengikuti putusan MK yang tidak membolehkan MKD  tidak memberi ijin terhadap proses penegakkan hukum dari anggota DPD, DPR dan DPRD, tapi mereka memasukkan MKD sebagai alat pertimbangan, dan hal ini lah yang menjadi pembeda.

Selengkapnya klik Video dibawah ini :