Jakarta – Masyarakat
pencinta film di Indonesia kemungkinan besar tidak lagi menikmati film-film
Hollywood. Motion
Pictures Association (MPA) merencanakan untuk tidak mengedarkan
film-film Hollywood di Indonesia. Mengutip Antara, Kamis (17/2) Vice
President, Deputy Managing Director & Regional Policy Officer Asia-Pacific MPA, Frank S Rittman mengatakan,
MPA tengah mempertimbangkan untuk menghentikan pendistribusian film
Hollywood di Indonesia. Hal itu disebabkan pemberlakuan ketentuan
bea masuk atas hak distribusi film impor.

Saat ini, menurut Rittman, dia masih ingin
melakukan negosiasi dengan pemerintah Indonesia. MPA adalah asosiasi
perdagangan di Amerika Serikat (AS) yang menjaga kepentingan
bisnis studio-studio besar di Amerika Serikat. Beberapa studio di dalam
naugannya adalah The Walt Disney Company, Sony Pictures,Universal
Studios,dan 20th Century Fox.

Juru Bicara Jaringan Bioskop 21 yang membeli
film-film dari MPA, Noorca Massardi mengatakan, MPA anggap kebijakan bea
masuk atas hak distribusi tidak lazim. Kebijakan itu tidak pernah
diberlakukan di negara-negara lain. Selama ini pemilik film hanya dibebankan bea masuk,
pajak pertambahan nilai (PPN), dan pajak penghasilan (PPh) sebesar
23,75% nilai barang. Pemerintah daerah menerima pendapatan asli
daerah (PAD) dari pajak tontonan sebesar 10-15% untuk setiap judul
film nasional dan impor.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pertengahan
Januari 2011 mengeluarkan 8 kebijakan baru di sektor perpajakan. Diterapkan
di lingkungan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak maupun Direktorat
Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai. Salah satu yang dirilis adalah
kebijakan perpajakan untuk film impor. Kemenkeu menyatakan, aturan
ini diterbitkan demi memberikan kesetaraan perlakuan terhadap film
impor dan nasional.

Kebijakan Kemenkeu yang berpengaruh pada MPA itu menurut Noorca, tertuang
dalam aturan bernomor SE- 03/PJ/2011 tentang PPh atas penghasilan
berupa royalti dan perlakuan PPN atau perlakuan film impor.Terdapat
dua jenis pajak dalam surat edaran tersebut, yakni film akan
dikenai bea masuk sebesar $US 0,43 per meter gulungan film. Pemindahan
pembayaran royalti film akan dikenai pajak. Noorca mengatakan,
pengenaan bea masuk atas hak distribusi, selama ini telah masuk
dalam pembayaran PPh sebesar 15% dari hasil eksploitasi film impor
yang diedarkan di Indonesia. “Jadi sepertinya ada penafsiran baru
dari pemerintah tentang hak distribusi ini. Padahal sebenarnya bea
masuk atas hak distribusi sudah diakomodasi dalam pajak penghasilan,”
tegas Noorca.

REAKSI
PEMERINTAH

Direktur Perfilman Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata Syamsul Lussa mengatakan, bahwa ada informasi yang terpotong
terkait dikeluarkannya surat
edaran dari Dirjen Pajak No 3, 10 Januari 2011. Dia menjanjikan penyelesaian
dengan MPA dengan membahas dengan pihak terkait.

Sebagai gambaran, Bioskop 21 Cineplex
dengan sekitar 500 layarnya, dipasok seratusan judul film setiap tahun oleh MPA.
Film nasional baru mampu berproduksi 50-60 judul per tahun. Indonesia
memerlukan sekitar 200 judul film setiap tahunnya.

Syamsu justru menilai tidak adanya
film impor bukan berarti harus ada kekosongan. Langkah yang pemerintah justru
untuk memacu pertumbuhan produksi film nasional dan mendorong sineas untuk
menghasilkan karya yang bermutu.

“Selama ini produksi film
nasional mencapai 77 film per tahun, sedangkan impor film mencapai 140
film. Perbandingannya 36:64. Ini berbanding terbalik dengan apa
yang diamanatkan Undang-undang, yakni 60 untuk film nasional dan 40 untuk film
asing,” ujarnya.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36377

Untuk melihat artikel Jakarta lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :