KabariNews – Pemerintah Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang tak ringan. Di satu sisi harus membuka 2-3 juta lapangan kerja baru tiap tahun, di sisi lain anggaran negara lebih akrab dengan defisit. Investasi pun menjadi harapan. Namun, mutlak diperlukan kerja yang sangat keras untuk menarik investasi, mengingat daya saing  negeri ini yang masih kurang menggembirakan.

Dalam laporannya tentang kemudahan menjalankan bisnis di 189 negara tahun 2015, Bank Dunia mencatat, Indonesia hanya menempati peringkat 114. Peringkat tersebut jauh di bawah negara-negara Asia yang menjadi kompetitor utama menarik investasi, seperti Thailand (26), Vietnam (78), dan Filipina (95). Kategori penilaian mencakup kemudahan memulai bisnis, prosedur berinvestasi, waktu yang dibutuhkan untuk memulai usaha, biaya, kelistrikan, dan modal minimum. Jumlah izin dan lembaga pemberi perizinan masih terlalu banyak. Perizinan untuk usaha baru di sektor manufaktur, misalnya, membutuhkan 794 hari menurut undang-undang di Indonesia.

Berita kurang menggembirakan tentang daya saing ini juga hadir dari hasil laporan World Economic Forum (WEF) 2014-2015, yang menyebutkan, Indonesia hanya menempati peringkat 34. WEF juga mencatat, faktor paling problematik menjalankan bisnis di Indonesia adalah korupsi, dengan indeks sebesar 15,7.

Dalam kategori kemudahan melakukan usaha, masih menurut WEF, hal yang dinilai sebagai aspek terlemah Indonesia adalah kepastian hukum. Indonesia hanya menempati peringkat 172 dari 189 negara.

Seperti dilansir dari siaran pers Pusat Transformasi Kebijakan Publik atau Transformasi, Senin, (3/8),  berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, peringkat yang rendah ini terutama disebabkan oleh korupsi yang masih tinggi di sistem peradilan. Di samping itu, diskresi staf pemberi perizinan yang terlalu besar, sehingga menimbulkan suap.

Dalam satu dekade terakhir, sejak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), citra korupsi Indonesia sebenarnya relatif membaik. Dunia bisnis memberikan persepsi yang positif. Transparency International mencatat, Indonesia memperbaiki peringkatnya, dari 114 pada tahun 2013 menjadi 107 pada tahun 2014.

Jika sebelum ada KPK Indonesia, bahkan, lebih sering di bawah Bangladesh, sejak kehadiran komisi tersebut Indonesia berada di atas negara yang dipandang paling korup di Asia itu. Ini merupakan pencapaian yang baik, karena negara lain juga berusaha memerangi korupsi dan berupaya memperbaiki peringkat mereka. Oleh karena itu, sejumlah hal yang belakangan cenderung melemahkan KPK, seperti kriminalisasi komisioner dan staf KPK, serta rencana revisi Undang Undang KPK oleh parlemen, dikhawatirkan akan dapat memperburuk persepsi korupsi Indonesia kembali.

Selain konsistensi dan ketegasan dalam pemberantasan korupsi, ada empat hal yang setidaknya mendesak ditempuh oleh Pemerintah Indonesia guna mendorong daya saing. Pertama, mengambil alih otoritas perizinan dari 22 kementerian dan lembaga. Kedua, men 147 perizinan di tingkat pusat (kecuali pembiayaan, minyak dan gas bumi). Ketiga, integrasi  sistem awal paling lambat akhir 2015 (24 provinsi, 120 kabupaten). Keempat, integrasi sistem secara penuh paling lambat 2016.

Transformasi juga mencatat, setidaknya ada empat tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah Indonesia melalui kebijakan dan implementasi yang tepat. Pertama, mengurangi jumlah perizinan. Kedua, membuat aplikasi dan sistem pembayaran online berfungsi dengan baik. Ketiga, transisi yang mulus dari sistem lama ke sistem baru. Keempat, integrasi sistem perizinan pusat dan daerah. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/78925

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Asuransi Bisnis

 

 

 

 

Kabaristore150x100-2