Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Kementerian Sekretariat Negara menyelenggarakan pameran koleksi seni Istana Kepresidenan setiap tahunnya. Pameran pertama yang diselenggarakan pada 2016, Goresan Juang Kemerdekaan menampilkan karya-karya yang sebagian besar memperlihatkan tema perjuangan dan beberapa karya ikonik lainnya. Pada tahun 2017, pameran serupa mengambil tema Senandung Ibu Pertiwi menampilkan keragaman alam, dinamika keseharian, tradisi dan identitas, serta mitologi dan religi di bumi Nusantara. Pameran yang digelar tahun ini bertepatan dengan perhelatan Asian Games ke-18 di Jakarta dan Palembang. Mengangkat tema Indonesia Semangat Dunia, benda-benda seni koleksi Istana Kepresidenan RI yang disajikan menampilkan semangat perjuangan, kemerdekaan, keragaman, kerja sama, kreativitas, dan globalisasi.

Perkelahian Dengan Singa karya Raden Saleh (1870)

Raden Saleh kembali melukis dengan tema yang pernah digarap sebelumnya ketika tinggal di Eropa sekembalinya ke Hindia Belanda pada tahun 1852. Delapan tahun kemudian, seniman kelahiran Semarang (1811) ini melukis sebuah lukisan berukuran sangat besar dengan subjek seekor kuda hitam berguling di tanah dengan sorot mata panik dan ngeri. Otot-ototnya tampak menegang lantaran punggungnya diterkam oleh seekor singa. Penunggangnya ikut terjatuh meski berusaha melawan dengan menembakkan senapan dari jarak dekat ke arah si raja hutan.

Kemungkinan-kemungkinan antara hidup dan mati yang tercipta dari adegan dramatis dalam lukisan inilah yang menjadikan karya Raden Saleh istimewa. Lukisan yang diberi judul Perkelahian Dengan Singa ini juga dikenal dengan julukan Antara Hidup Dan Mati.

Memanah karya Henk Ngantung (1944)

Lukisan ini dulunya tergantung di beranda rumah pribadi Presiden Soekarno (Jl. Pegangsaan Timur 56), di mana Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Memanah mulai dikerjakan oleh Henk Ngantung pada akhir tahun 1943. Karena keterbatasan kanvas, lukisan cat minyak tersebut dibuat di atas landasan tripleks.

Berdasarkan catatan sejarah yang ditulis oleh Agus Dermawan T., Bung Karno sangat menyukai karya Henk Ngantung tersebut lantaran bertema orang memanah. Dalam pemahaman sang Proklamator, memanah merupakan lambang kesatriaan dan keterampilan yang mengkristal dalam kebudayaan Jawa serta kosmologi wayang. Panah dianggap representasi dari senjata utama bangsa Timur dan Selatan, seperti halnya senapan bagi bangsa Barat. Bung Karno konon mendatangi sendiri rumah sang perupa untuk membeli lukisan tersebut.

Dalam Sinar Bulan karya Basoeki Abdullah (1947)

Basoeki Abdullah dikenal gemar melukiskan wanita-wanita dari berbagai negara. Sebagai seorang pelukis potret, ia banyak berkesempatan melukis sosok wanita tersohor kala itu. Salah satunya Naoko Nemoto, wanita asal Jepang yang setelah menikah dengan Presiden Soekarno dikenal dengan nama Ratna Sari Dewi. Lukisan yang diberi judul Dalam Sinar Bulan menampilkan sang model dalam balutan Kain Sari khas India.

Imam Bonjol karya Harijadi Sumadidjaja (1951)

Citra dari Tuanku Imam Bonjol yang kini banyak dikenal merupakan gambaran yang didasarkan pada deskripsi dalam naskah-naskah Belanda serta sketsa karya Hubert de Stuers yang dibuat pada tahun 1826. Sketsa de Stuers menggambarkan Imam Bonjol dengan dahi lebar dan jenggot hitam panjang lengkap dengan sorban dan jubah putih layaknya seorang ulama. Sketsa tersebut menjadi rujukan para seniman ketika melukis pahlawan kelahiran Bonjol tersebut, termasuk bagi Harijadi Sumadidjaja. Bersama dengan karya Sudjojono (1947), lukisan Imam Bonjol yang dirampungkan oleh Sumadidjaja pada tahun 1951 ini merupakan 2 potret pahlawan Perang Padri yang sejak lama menjadi koleksi Istana Kepresidenan RI.

Jendral Sudirman karya Joes Soepadyo (1954)

Potret Jendral Sudirman karya Joes Soepadyo merupakan salah satu lukisan yang sering terekam dalam berbagai dokumentasi kegiatan Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Namun, informasi tentang Joes Soepadyo hampir tidak ditemui dalam sejarah seni rupa Indonesia.

Citraan Jenderal Sudirman mengenakan mantel tebal dengan sebilah keris pada bagian dada busananya sambil memperlihatkan gerakan memberi hormat, sering ditemukan dalam foto-foto penyambutan kembalinya sang Jenderal Besar ke Jogjakarta pada Juli 1949 dari misi bergerilya hingga ke wilayah Jawa Timur.

Penombak karya Roberto Juan Capurro (1959)

Ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Argentina pada tahun 1959, beliau mendapati patung Penombak di Museum Seni La Boca dan menyatakan kekagumannya pada karya Roberto Juan Capurro tersebut. Mengetahui hal itu, Presiden Argentina Dr. Arturo Frondizi menawarkan sebuah edisi patung itu sebagai kenang-kenangan atas kunjungan Bung Karno. Sang Proklamator menerima tawaran tersebut dengan senang hati dan mengatakan bahwa patung tersebut akan dipamerkan di taman Istana Kepresidenan di mana terpajang pula patung-patung dari perupa terkenal dunia.

Bagi Bung Karno, sosok penombak yang digambarkan oleh Capurro sangat sesuai dengan semangat perjuangan yang ingin disampaikan kepada masyarakat Indonesia yang sebenarnya juga merupakan bangsa pelaut.