Pernah mendengar nama Kampung Inggris yang berada di Kediri, Jawa Timur? Atau mungkin pernah pergi ke kampung tersebut? Jangan salah, kampung itu bukan dihuni orang-orang Inggris, tapi banyak orang menyebutkannya dengan kampung Inggris.

Dimanakah kecamatan Pare -Kediri? Pare terletak 25 km sebelah timur laut kota Kediri atau 120 km barat daya kota Surabaya. Pare berada pada jalur Kediri – Malang dan jalur Jombang-Kediri serta Jombang – Blitar.

Pare berada pada 125 meter di atas permukaan laut dan memiliki tanah yang subur bekas letusan gunung Kelud serta tidak pernah mengalami kekeringan. Hasil agraria andalan dari Pare adalah bawang merah, biji mente, melinjo dan beras. Dari Pare dikirim ke kota-kota besar di Jawa bahkan luar Jawa.

Sedangkan oleh-oleh khas dari Pare antara lain adalah tahu kuning dan getuk pisang. Di Pare sudah lama bermunculan industri menengah bertaraf internasional, seperti industri kayu lapis dan pengembangan bibit-bibit pertanian. Tempat-tempat rekreasi pun telah ada semenjak tahun 1970-an meskipun sederhana, seperti Pemandian “Canda-Bhirawa” dan alun-alun “Ringin Budo”serta sentra ikan hias di dusun Surowono Desa Canggu.

Pare sebetulnya juga terkenal , setidaknya di dunia intelektual. Di Parelah antropolog kaliber dunia, Clifford Geertz yang saat itu masih menjadi mahasiswa doktoral – melakukan penelitian lapangannya yang kemudian ditulisnya sebagai sebuah buku yang berjudul The Religion of Java. Dalam buku tersebut Geertz menyamarkan Pare dengan nama “Mojokuto”. Disertasinya di- Indonesiakan dan di beri judul ; Abangan, Santri dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa.

Yang disebut Kampung Inggris di kota Pare adalah Desa Tulungrejo. Desa ini terkenal hingga ke mancanegara. Uniknya, tak satupun orang Inggris atau paling tidak jarang ditemukan di sana. Justru yang sering ditemui adalah orang-orang pribumi yang menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari.

Awalnya adalah Kalend Osen, seorang warga setempat yang berasal dari Kutai Kartanegara dan pertama kali membuka kursus pada pertengahan tahun 1977 di kampung tersebut. Mulanya dia didatangi oleh dua mahasiswa IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Surabaya yang ingin belajar bahasa Inggris pada KH Ahmad Yazid. Dua mahasiswa ini akan menghadapi ujian negara bahasa Inggris dan Arab. Bahasa Arab sudah mereka kuasai, namun khawatir dengan kemampuan bahasa Inggris mereka.

Mereka memutuskan pergi ke Pare menemui KH Ahmad Yazid, karena kyai ini cukup fasih berbahasa Inggris yang diasahnya ketika membantu Clifford Geertz menyusun laporan disertasinya. Namun kala itu Ahmad Yazid tak ada dan oleh istri kyai, dua mahasiswa ini dianjurkan untuk ke Mohammad Kalend Osen yang juga pintar berbahasa Inggris.

Sejak itulah kursus bahasa Inggris berkembang di dua desa ; desa Pelem dan desa Tulungrejo. Kalend yang asli Indonesia itu kemudian mendirikan kursus Basic English Course (BEC) yang awalnya mengambil tempat di teras masjid dan menyewa beberapa rumah sebagai tempat kursus. Sekarang kursus pak Kalend menempati sebuah gedung megah di Jl. Anyelir, desa Pelem, Pare Kediri.

Tahun 2010 ada sekitar 80 tempat kursus di dua desa itu. Mereka membuka pendidikan setara Diploma 1 (1 tahun), Diploma 2 (2 tahun), Diploma 3 (3 tahun) dan Kursus Pendek serta tes TOEFL. Kursus pendek biasanya dilakukan pada saat libur sekolah, yaitu sebulan. Meski ada juga kursus pendek yang sampai 3 bulan, tergantung kepentingan dan program yang diambil.

Harga kursus pun bermacam-macam. Ada yang Rp 20 ribu perjam sampai Rp.80 ribu perjamnya. Ada yang Rp.200 ribu per bulan sampai Rp.500 ribu per bulan untuk setiap tingkat di program Diploma. Ada bermacam-macam nama kursus di dua desa itu selain BEC, yaitu EECC (Effective English Conversation Course), Harvard Course, ELFAST, DAFFODILES sampai nama Mahesa Institute.

Diantara kursus-kursus itu ada yang menyediakan asrama. Namun kos di rumah penduduk juga pilihan, cukup baik, murah dan bersih. Sekitar 15 ribu murid sudah lulus dari tempat kursus pak Kalend. Lulusan kursus pak Kalend kemudian mendirikan tempat kursus baru dan begitu seterusnya.

Para murid, sebagian adalah penduduk setempat. Selebihnya dari Jawa Barat, Jawa Timur, Timor Leste bahkan Arab Saudi. Tujuan mereka pun bermacam-macam. Mulai dari pelajar SMA yang ingin bisa menulis dan berbicara bahasa Inggris, sampai pada dosen yang ingin meneruskan pendidikannya ke luar negeri.

Dengan kondisi begitu, tak hanya kursus bahasa Inggris yang berkembang, namun juga perekonomian penduduk sekitar. Mulai dari usaha tempat kos, persewaan sepeda dayung, usaha fotokopi sampai tempat-tempat makan yang banyak dijumpai di dua desa ini. Beberapa orang yang membuka usaha ini sebagian adalah alumni kursus bahasa Inggris itu juga. “Sehingga kalau makan bakso pun mereka memesan dalam bahasa Inggris karena penjual dan pembeli menguasai bahasa tersebut, “ kata Yusuf, salah seorang penduduk setempat yang memiliki usaha fotokopi.

Kursus milik Kalend pun berkembang dan 12 staf pengajarnya dari alumni BEC sendiri. “Alumni BEC yang sebagian penduduk lokal dan sebagian pendatang. Mereka banyak yang jadi dosen maupun staf pengajar di lain daerah,” kata Kalend. Dia menerapkan disiplin tinggi untuk anak didiknya, misalnya ada English area. Tempat dimana mereka harus berbicara dalam bahasa Inggris tak boleh ada bahasa lain.

Seiring waktu, tempat kursus bahasa Inggris bertambah. Fasilitas dan native speaker (penutur bahasa asli) pun disediakan dan mereka makin bersemangat berbicara bahasa Inggris. Hingga kini, lembaga kursus bahasa asing itu mencapai ratusan dengan beragam nama. Metode pembelajarannya tak jauh berbeda dengan sekolah formal. Tapi, peserta kursus itu memiliki keinginan yang sama yaitu; meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka. (1002)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?47880

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :