KabariNews – Pemerintah sedang menghadapi kenyataan sulit. Realisasi penerimaan pajak hingga bulan Februari 2016 baru mencapai Rp 122,4 triliun atau sekitar sembilan persen dari target yang ditetapkan dalam APBN. Padahal, idealnya hingga akhir Maret 2016, realisasi penerimaan pajak dapat mencapai Rp 340 triliun atau 25 persen dari target total sebesar Rp 1.360 triliun. Dengan sisa waktu tinggal beberapa hari, tampaknya berat bagi pemerintah untuk mengejar kekurangan Rp 217,6 triliun. Mengharapkan realisasi penerimaan pajak meningkat drastis pada bulan-bulan ke depan juga tidak realistis.

Akhmad Akbar Susamto Ph.D (Ekonom CORE Indonesia) menjelaskan sejak pertengahan tahun lalu sebenarnya pemerintah telah mengusulkan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) untuk menambah penerimaan dalam APBN. Usulan tersebut antara lain menyebutkan rencana penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana perpajakan bagi individu-individu yang selama ini tak membayar pungutan wajib ke negara. Syaratnya, mereka mau mengaku salah dan membayar tebusan sebesar 1 sampai 6 persen dari nilai kekayaan bersih yang belum dilaporkan. Melalui kebijakan tax amnesty, pemerintah diperkirakan dapat memperoleh tambahan penerimaan sebesar Rp 60–80 triliun selama tahun 2016.

“Namun, kebijakan tersebut tak kunjung terwujud. Setelah sempat bergulir cepat pada Oktober 2015 dan masuk dalam Program Legislatif Nasional (Prolegnas) pada Januari 2016, satu bulan kemudian RUU Pengampunan Pajak ditolak Badan Musyawarah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Padahal, pemerintah sebelumnya sangat optimis bahwa RUU tersebut dapat diselesaikan pada masa persidangan kuartal pertama DPR atau menjelang periode reses April 2016” katanya seperti dilansir dalam siaran pers CORE Indonesia , Selasa, (29/3).

Dia menambahkan dengan rendahnya realisasi penerimaan pajak, haruskah pemerintah memaksakan segala cara untuk mengejar penerimaan dari tax amnesty? Tax amnesty bukanlah kebijakan yang baru. Tercatat berbagai negara pernah memberlakukannya, baik yang tergolong negara maju seperti Amerika Serikat, Australia dan Spanyol maupun negara berkembang seperti Argentina, Kolombia dan Kostarika. Baru-baru ini, parlemen Pakistan meloloskan Undang-Undang baru tentang pengampunan pajak.

Di Indonesia sendiri, kebijakan tax amnesty pernah dilaksanakan dua kali. Pertama, kebijakan tax amnesty yang dilaksanakan tahun 1964 berdasarkan Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Kedua, kebijakan tax amnesty yang dilaksanakan tahun 1984 berdasarkan Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1984 tentang Pengampunan Pajak. Selain itu, pada tahun 2008, Indonesia juga pernah memberlakukan sunset policy yang dapat dipandang sebagai pengampunan pajak mini.

Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan tax amnesty tak selalu berjalan efektif. Di antara alasannya ketidakadaan basis data perpajakan yang lengkap yang membuka kemungkinan petugas pajak untuk mendeteksi kekayaan yang tak dilaporkan. Pengemplang pajak pun tak merasa perlu khawatir akan tertangkap. Terlebih, kekayaan yang tak dilaporkan pada umumnya berada di luar negeri sehingga benar-benar jauh dari jangkauan petugas pajak.

Kalau pun kebijakan tax amnesty benar-benar berjalan dan membawa lonjakan partisipasi wajib pajak, kegagalan dapat terjadi bila sistem perpajakan yang ada tidak mampu mengendalikan dan mempertahankan tingkat kepatuhan pajak secara berkelanjutan. Ditambah belum adanya kejelasan mengenai kewajiban bagi wajib pajak untuk menempatkan kekayaannya di dalam negeri, besar kemungkinan individu-individu yang meminta pengampunan pajak akan menyembunyikan kembali kekayaan mereka di luar negeri ketika manfaat tax amnesty tak lagi diberikan.

Di sinilah kehati-hatian menjadi sangat penting. Harus diakui bahwa Indonesia masih belum memiliki basis data perpajakan yang lengkap. Meskipun reformasi sistem perpajakan telah mulai dilakukan, tetapi kinerja Direktorat Jenderal Pajak belum benar-benar seperti yang diharapkan. Kepercayaan masyarakat kepada petugas pajak secara umum juga masih rendah.

Perlu diingat bahwa, dalam jangka panjang, kebijakan tax amnesty dapat berakibat buruk terhadap kepatuhan sukarela (voluntary compliance) wajib pajak yang selama ini patuh. Di luar itu semua, perlu diantisipasi munculnya persepsi masyarakat bahwa kebijakan tax amnesty hanyalah akal-akalan untuk menghapuskan kewajiban para individu kaya yang selama ini tak taat pajak. Hal ini terutama terkait dengan akan diberlakukannya automatic exchange of information/AEOI mulai September 2018.

“Ketimbang memaksakan segala cara untuk mengejar penerimaan dari tax amnesty akan lebih baik jika pemerintah fokus menjaga momentum fiskal dengan segera mempersiapkan revisi APBN. Pembahasan APBNP 2016 merupakan keniscayaan mengingat indikator-indikator makroekonomi saat ini jauh berbeda dari asumsi-asumsi yang telah ditetapkan”tuturnya.  (1009)