Hari mulai sore. Saatnya pulang kerja bagi pekerja Jakarta.
Jalan Jakarta menuju Bogor padat, Sebuah mobil meluncur saat langit
Jakarta mulai gelap. Mereka sekeluarga. Pasangan Rasyad, Maya dan Sekar
anak mereka yang masih berumur 6,5 tahun. Ke arah Lido, perbatasan
Bogor-Sukabumi. Di jalanan sempit dan meliuk itu, mobil mereka terus
melaju. Dan terhenti di sebuah rumah panggung di kecamatan yang sejuk.

Di rumah itu sudah ada beberapa orang yang menunggu. Persis antrian
dokter. Rumah panggung di kaki gunung Pangrango itu adalah tempat
praktek pengobatan herbal. Sudah 6 bulan keluarga Rasyad berobat di
tempat itu demi anak mereka. Sekar menderita spektrum autisme.

Tingkahnya menunjukkan ketidaksamaan dengan anak lainnya ketika
berumur 2 tahun. “Awalnya kami pikir masih bisa baik. Tapi ketika saya
membawa dia ke psikiater anak, didapat bahwa Sekar menderita MSDD”
(Multi System Development Disorder), kata Maya. Saat itu, ia menemukan
Sekar tak mau menoleh ketika dipanggil. Sering mengepak-ngepakkan
tangannya, sering berputar dan tak kunjung bisa berbicara. Setelah 3
tahun dipastikan dia menderita ASD (Autism
Syndrome Disorder).Gangguan perilaku pada anak-anak.“ Hati saya hancur.
Saya seperti mendapat lotere yang paling buruk di dunia.Kami berobat ke
sana ke sini, tanpa hasil, “katanya lagi.

Ketika itu hari-harinya penuh dengan pertanyaan dan airmata, kenapa
saya Tuhan, kenapa saya? “ Kenapa saya mendapat lotere yang buruk ini
?,” katanya mengenang dengan mata berlinang. Namun kondisi Sekar
membuatnya berusaha membuang jauh pikiran itu dan mulai usaha untuk
memperbaiki Sekar. Setelah dia berobat pada ahli herbal yang dia sebut
guru di Lido itulah, menurut Maya, Sekar bisa membaik.

Tak lama, sang guru memanggil keluarga Arsyad. Masuk ke ruang
praktek. Banyak dedauan dan akar-akaran di dalam toples dan botol di
ruangan itu. Temboknyapun penuh dengan gambar-gambar tumbuhan. Tak ada
ritual-ritual tertentu yang dilakukan. Tak ada dupa. Tak ada ratus, tak
ada kembang. Berbicara sebentar dan sang guru mengangguk-angguk. Enam
bulan sebelumnya Sekar tak bisa bicara. Setelah sang guru memberikan
ramuan yang diberikan ke lidah Sekar, dia mulai bisa berbicara.

”Nama anak saya, Maudy Sekar Prahastuti. Sang guru meminta kami untuk
mengganti panggilan terhadap anak saya , jadi Sekar. Sebelumnya kami
memanggilnya dengan nama Maudy. Tak dinyana Maudy senang dengan
panggilan barunya itu. Bersamaan dengan itu, satu bulan menginjak
umurnya ke 5 , dia dapat mengucapkan kata pertamanya; mama. Saya sampai
menangis mendengarnya,” kata ibu tinggi semampai ini.

Ini adalah salah satu usaha Maya untuk “menyembuhkan” Sekar. Dari
psikiater, pakar pengobatan alternatif yang ada di Jakarta, psikolog
anak sampai pada pakar herbal yang dia sebut guru itu. Tak terhitung
biaya yang dia harus keluarkan demi usahanya untuk Sekar. Dia merasa
sang guru memberikan solusi yang baik bagi anaknya. Selain itu dia juga
membawa anaknya ke terapi seminggu lima kali, wicara, okupasi dan sensory integrasi. “Sekarang dia dapat memakai bajunya sendiri dan makan, meski dia belum bisa memegang sendok dengan baik,” kata Maya.

Tak hanya itu, Maya juga menerapkan diet CFGF
(Casein Free-Gluten Free) bagi Sekar. Makanan yang berbasis susu sapi
dan tepung terigu serta turunannya, jadi terlarang bagi Sekar. Ada
makanan-makanan tertentu yang tidak disarankan untuk anak dengan
spektrum autisme karena diyakini akan memacu perilaku tertentu. Di
sekolah, Sekar juga memiliki seorang guru pendamping (shadow teacher) yang membantu Sekar ketika bersekolah. Guru pendamping ini selalu berada di samping Sekar selama mata pelajaran berlangsung.

Keluarga Arsyad hanya salah satu keluarga di Jakarta yang tak lelah
berusaha. Banyak keluarga yang juga berupaya seperti itu. Sepuluh tahun
lalu, tak banyak orang tahu tentang autisme di Indonesia. Image
yang berkembang adalah bahwa penderita ini adalah anak-anak orang kaya.
Penanganan dan tenaga ahli yang terbatas, juga menambah eksklusivitas
autisme.

Padahal, tak semua penderita ASD berasal
dari keluarga mampu. Banyak diantaranya yang berada di ekonomi menengah
dan bawah. Ketidakmampuan dan ketidaktahuan terhadap ASD
kadang menambah derita anak-anak penderita. Mereka sering dicerca,
disiksa ada juga yang sampai dipasung. Mereka dianggap sebagai beban
karena relatif tak bisa mandiri. Dari bangun tidur sampai tidur kembali,
dia selalu memerlukan orang lain untuk menolongnya. Hal-hal remeh temeh
bagi anak lain seperti memegang sendok, menyikat gigi yang mudah
dilakukan oleh anak normal, susah dilakukan bagi anak ASD.

Kondisi ini membuat para orang tua mencari berbagai upaya untuk
memperbaiki mereka. Dari hal yang logik sampai ke hal yang kadang tak
logik. Karena pengetahuan yang sempit, kadang mereka berpaling pada
paranormal atau dukun untuk memperbaiki anak mereka. “ Tak perlu sampai
seperti itu. Kalau saja orang tua cepat mendeteksi dini gejala autisme
pada anak dan anak mendapat penatalaksanaan yang baik (terapi) maka akan
dapat diperbaiki,” kata dr Ika Widyawati, SpKJ (K) seorang psikiater
anak dari RSCM. Menurut Ika, ASD adalah suatu spektrum. Di mana kondisi tiap anak berbeda dengan yang lain. Yang termasuk dalam spektrum autisme antara lain Syndrome Asperger, Rett, PDD-NOS, ADD (Attention Deficit Disorder_) sampai ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)

Menurut Ika, terapi bagi ASD bertujuan
untuk mengurangi masalah perilaku, meningkatkan kemampuan belajar dan
berbahasa. Terapi diyakini dapat membuat anak lebih mampu untuk mandiri
dan bersosialisasi di lingkungan sosialnya. Anak autisme yang ditangani
secara lebih dini menunjukkan hasil yang lebih baik. Bagi masyarakat di
Indonesia, terapi memang masih dirasa mahal. Sekali terapi selama satu
jam biasanya mereka memungut biaya sebesar 60 – 75 ribu. Frekwensi
terapi tergantung pada kondisi anak. Dalam seminggu sang anak bisa
terapi sebanyak 3 kali. Bahkan ada yang sampai 5 kali dalam seminggu.

Berbagai terapi yang telah ada di Indonesia. Yang paling mendasar adalah “menyelesaikan masalah” yang berhubungan dengan sensory
dan motorik kasar. Karena bila masalah sensory dapat terselesaikan
dengan baik, maka cenderung motorik halus dan kemampuan yang lain dapat
diperbaiki dengan bertahap.

Yang paling banyak dipakai adalah terapi dengan metoda Applied Behavioral Analysis (ABA). Terapi ini dengan sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak, dengan memberikan positif reinforcement
(hadiah/pujian). Selain itu adapula terapi Wicara, terapi Okupasi
(untuk motorik halus), terapi Visual, terapi Biomedik, terapi
Akupunktur. Metode tusuk jarum ini diharapkan bisa menstimulasi sistem
saraf pada otak hingga dapat bekerja kembali. Terapi Musik sampai terapi
Hiperbarik (terapi Oksigen) yang dianggap aman.

Ada juga terapi Balur. Terapi ini didasarkan, bahwa anggapan autisme
disebabkan oleh tingginya zat merkuri pada tubuh penderita. Terapi balur
ini bertujuan mengurangi kadar merkuri dalam tubuh penyandang autis.
Caranya dengan menggunakan cuka aren campur bawang yang dilulurkan lewat
kulit. Tujuannya melakukan detoksifikasi gas merkuri.

Selain itu, juga berkembang terapi Lumba-lumba untuk autismae. Dunia
medis meyakini bahwa di tubuh lumba-lumba terkandung potensi yang bisa
menyelaraskan kerja saraf motorik dan sensorik penderita autisme. Sebab
lumba-lumba mempunyai gelombang sonar (gelombang suara dengan frekuensi
tertentu) yang dapat merangsang otak manusia untuk memproduksi energi
yang ada dalam tulang tengkorak, dada, dan tulang belakang, sehingga
dapat membentuk keseimbangan antara otak kanan dan kiri. Selain itu,
gelombang suara dari lumba-lumba juga dapat meningkatkan
neurotransmitter. Di Indonesia, terapi ini terdapat di Ancol-Jakarta dan
di Singaraja-Bali.

Keluarga Arsyad dan Maya hanya satu contoh dari keluarga di Indonesia
yang memiliki anak dengan spektrum autisme. Semua usaha mereka
bertujuan untuk membantu sang anak supaya dapat mandiri. Tak semua
keluarga di Indonesia seberuntung keluarga Arsyad, yang ditunjang dengan
pemahaman terhadap autisme dan keadaan finansial yang cukup. Namun
begitu ada juga beberapa keluarga yang tetap dapat mengasuh anaknya yang
ASD dengan menerapi sendiri sang anak. Dari
semuanya itu, bermuara pada harapan untuk sang anak supaya dapat
mandiri. Kemandirian yang menjadi keniscayaan. (Indah)

Untuk share atikel ini klik www.KabariNews.com/?36408

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :