Oleh: Dr Taruna Ikrar
(University of California, School of Medicine, Irvine, USA

Kalau melihat kelaziman dan peningkatan gangguan jiwa di dunia dewasa ini, telah terjadi peningkatan yang luar biasa dan sangat mengkhawatirkan. Menurut data dari WHO (World Health Organization) tahun 2011, penderita gangguan jiwa berat telah menempati tingkat yang luar biasa. Lebih 24 juta mengalami gangguan jiwa berat, dan pada tahun ini Indonesia menempati urutan pertama tertinggi penderita gangguan jiwa. Jumlah penderita gangguan jiwa didunia,menunjukkan seperti fenomena gunung es di lautan, yang kelihatannya hanya puncaknya, tetapi sebetulnya dasarnya lebih banyak lagi yang belum terlacak. Bahkan menurut laporan pusat piskiater Amerika, dibutuhkan dana sekitar US$ 160 biliun pertahun. Berarti gangguan jiwa berdampak dalam semua segi kehidupan; ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, dan seterusnya.

Gangguan jiwa berat merupakan penyakit mental yang ditandai dengan gangguan proses berpikir dengan respon emosional yang buruk. Kondisi tersebut sering bermanifestasi sebagai halusinasi pendengaran, delusi paranoid atau hambatan berpikir, yang disertai disfungsi sosial, yang dalam istilah kedokteran disebut schizophrenia. Skizofrenia dalam lingkup sosial, juga memberikan dampak yang mengerikan. Malahan di Indonesia, penderita gangguan jiwa berat tersebut, dirasakan sebagai suatu aib yang memalukan oleh keluarga dan lingkangannya. Sehingga penderita-penderitanya bahkan dipasung, diasingkan, dan dianggap sebagai penyakit kutukan dan gangguan setan atau mahluk halus.

Padahal penyakit jiwa menahun, kemunculannya ditentukan oleh faktor genetika dan lingkungan. Demikian pula aspek neurobiology, dan proses psikologis serta sosial menjadi faktor pencetus. Para ahli dewasa ini, memusatkan mencari tahu faktor pencetusnya pada peran neurobiology. Gejala yang kompleks telah memicu perdebatan tentang apakah diagnosis merupakan kelainan tunggal atau sejumlah sindrom.

(Gambar 1: Struktur Otak Normal [disebelah kiri] dan Otak Tidak Sehat [sebelah kanan])

Pengobatan antipsikotik, yang terutama menekan dopamin (dan kadang-kadang serotonin) pada aktivitas reseptor sistem saraf. Psikoterapi dan rehabilitasi sosial juga penting dalam pengobatan. Dalam kasus yang lebih serius, penderita ingin bunuh diri atau membunuh orang lain, harus dilakukan rawat inap. Kelainan ini diperkirakan terutama untuk mempengaruhi kognisi, tetapi juga biasanya memberikan kontribusi untuk masalah kronis dengan perilaku dan emosi. Orang dengan skizofrenia cenderung memiliki kelainan psikologis tambahan, termasuk depresi berat dan gangguan kecemasan, hampir 50 persen masalah-masalah sosial, jangka panjang, kemiskinan pengangguran dan tunawisma. Harapan hidup rata-rata orang dengan gangguan tersebut adalah 12 sampai 15 tahun, kurang dari pada mereka orang normal, dan sekitar 5 persen diantaranya mempunyai kecenderungan bunuh diri.

Perjalanan Penyakit:

Kelainan Otak yang diperoleh pada awal kehidupan dapat menyebabkan gangguan jiwa berat. Bahkan gangguan yang berasal sejak kecil, tetapi muncul pada saat dewasa, bisa berpengaruh pada tingkat keparahan penyakit dan menyebabkan psikosis, gangguan jiwa menyeluruh, dan perubahan kesadaran.

(Gambar 2: Kelainan Otak Yang Bermanisfestasi Kelaianan Jiwa Menahun)

Gangguan jiwa berat merupakan penyakit yang telah ditemukan sejak ribuan tahun yang lalu. Penyakit ini memiliki gejala yang khas pada penderita, berupa: a]. Tidak bisa membedakan antara kondisi yang nyata dan yang tidak nyata (halusianasi), b]. Biasanya juga berhubungan dengan masalah kecemasan (anxiety), depresi (depression), bahkan menjadi pencetus keinginan bunuh diri (suicidal), c]. Sangat sensitif perasaannya dan tidak stabil (Irritable or tense feeling), d).Tidak bisa fokus dan berkonsentrasi, e]. Susah bahkan tidak bisa tertidur, f]. Pada tahap selanjutnya mengalami gangguan berpikir, perasaan, bahkan gangguan/kelainan tingkah laku (behavior disorder), seperti: mendengar dan melihat sesuatu yang tidak nyata, terisolasi dari dunia nyata, kehilangan perasaan atau empati terhadap orang lain, malah keyakinan terhadap sesuatu yang tidak nyata (delusion), kalau berbicara meloncat-loncat dengan topik yang tidak saling berhubungan (loose associations).

Pengobatan

Dewasa ini, dalam hal pengobatan gangguan jiwa berat, dengan jalan perawatan di Rumah Sakit Jiwa, hal ini demi keamanan pasien dan masyarakat sekitarnya. Selanjutnya diberikan obat anti psikotik, baik berupa obat kimia, maupun pengobatan supportive dan ECT (Electro Convulsive Therapy). Pada umumnya, obat antipsikotik mengubah keseimbangan kimia dan electrolit, serta eurotransmitter di otak sehingga dapat membantu mengendalikan gejala, namun memberikan dampak samping terhadap penderita. Pengobatan penunjang juga bermanfaat bagi banyak penyembuhan gangguan jiwa berat. Terapi penunjang itu, misalnya; pelatihan keterampilan sosial, dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi sosial dan pekerjaan. Peran keluarga harus diikutsertakan, untuk mendukung penyembuhan penderita. Karena, penyakit gangguan jiwa berat merupakan penyakit menahun, maka kesembuhan pasien sangat tergantung pada kedisiplinan penderita meminum obat.

(Gambar3: Penatalaksanaan dan Pengobatan penderita penyakit jiwa berat di Rumah Sakit Jiwa)

Penemuan terbaru Pencegahan Penyakit Gangguan Jiwa berat:

Secara hipotesis oleh para pakar ilmu jiwa dan neurosains, dengan berasumsi pada kemampuan plastisitas jaringan saraf, perkembangan otak, dan fungsional kompensasi. Para ilmuwan memperkirakan bahwa pelatihan kognitif (cognition) yaitu proses kesadaran, mental dan termasuk aspek memori atau ingatan, kemampuan mengerti, dan pengambilan keputusan selama fase perkembangan otak, menjadi acuan dasar pencegahan atau menurunkan resiko para masyarakat yang memiliki resiko menderita gangguan jiwa berat.

Untuk membuktikan keyakinan para ilmuwan tadi, hasil penelitian terbaru yang di terbitkan di jurnal (Neuron 23 Augusut 2012, halaman 714–724_), memberikan jawaban yang luar biasa. Dr. Lee, dan timnya; melaporkan, bahwa pada fase neonatal hewan coba yang terdapat kerusakan pada pusat saraf di otak (ventral hippocampus) sebagai model hewan penderita penyakit gangguan jiwa berat, yang diberi label (NVHL). Dan dengan menggunakan standar dan parameter khusus pada pelatihan kognitif (proses kesadaran dan mental, ingatan, pengertian, dan kemampuan pengambilan keputusan) sewaktu masih muda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: hewan coba yang mengalami pelatihan sejak fase neonatal atau fase muda: meningkatkan sikronisasi di otak, meningkatkan kemampuan bertindak dan kemampuan mengingat, kestabilan kondisi mental yang tidak berbeda atau memberikan hasil yang sama dengan control/normal.

Berdasarkan hasil penelitian diatas, berarti penderita ataupun keturunan, anak dan bayi-bayi yang terlahir dari keluarga penderita gangguan jiwa berat, ataupun mengalami gangguan akibat kerusakan di otak sejak kecil yang memiliki kecenderungan menderita gangguan jiwa berat setelah dewasa. Pada prinsipnya, bisa dilakukan tindakan pencegahan (Profilaksis), dengan melakukan pelatihan kognitif sejak masa muda/remaja. Sehinga pada saat berkembang menjadi dewasa tidak lagi menderita gangguan jiwa berat. Hal ini akan membantu mengurangi biaya pengobatan, mengurangi kerugian akibat penderitaannya. Olehnya, sudah saatnya aspek tindakan preventif dan pencegahan perlu digalakkan di Indonesia, sebagai Negara dengan penduduk tertinggi menderita gangguan jiwa berat. (1005)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?50206

Untuk melihat artikel Amerika / Kesehatan lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

____________________________________________________

Supported by :