Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) Jakarta akhirnya berlangsung dua putaran. Pada pilkada pertama yang berlangsung bulan Juli lalu, tidak ada satu pasangan pun yang mencapai 50 persen suara. Kala itu, enam calon bersaing memperebutkan kursi Gubernur Jakarta.

Suara terbanyak diraih oleh pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan 42 persen suara dan dibawahnya adalah Gubernur Jakarta saat ini, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Nara ) dengan 34 persen suara. Sedangkan calon-calon yang lain hanya meraih suara di bawah 10 persen bahkan ada yang tak mencapai 5 persen.

Hasil ini membuat Fauzi Bowo (Foke)terkejut mengingat pada penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh berbagai lembaga survey, angka Foke dan Nara melebihi angka Jokowi-Ahok. Namun kenyataannya lain, karena ternyata pemilih Jakarta lebih memilih Jokowi dan Ahok.

Kondisi inilah yang membawa pilkada Jakarta berlangsung dua putaran, diikuti oleh pasangan Fauzi Bowo-Nara dan Jokowi-Ahok. Dua pasangan ini adalah pasangan peraih suara terbanyak.

Foke Rubah Cara Dekati Masyarakat

Banyak hal terjadi setelah Jokowi ‘mengalahkan’ Fauzi Bowo pada pilkada putaran pertama . Apa? Salah satunya adalah sikap Foke yang berubah total dalam hal cara mendekati masyarakat Jakarta. Pada masa kampanye pilkada terdahulu, ada kesan Foke terlihat percaya diri, tak mau mendekati masyarakat sama sekali. Dia menyerahkan upaya mendekati rakyat ini kepada calonnya, Nara. Nara yang belum banyak dikenal oleh masyarakat Jakarta, lebih banyak menyebarkan brosur dan stiker kepada masyarakat.

Sikap Foke yang terkesan angkuh ini memang sudah terlihat ketika ia dan wakilnya terdahulu, pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir. Wakil Gubernur Foke sebelumnya adalah Priyanto. Mantan Asisten Teritorial (Aster) berpangkat Mayor Jenderal ini mengundurkan diri pada akhir 2011 sebelum dia menuntaskankan tugasnya sebagai wakil gubernur. Alasannya? Foke terlalu sering bekerja sendiri tanpa memberikan kewenangan kepadanya. Akhirnya, pasangan yang pada tahun 2007 didukung oleh 19 partai ini memang benar-benar tak bisa melanjutkan duet mereka memimpin Jakarta.

Sikap angkuh Foke juga kelihatan dari menyusutnya dukungan partai-partai saat putaran pertama berlangsung. Saat itu, Foke hanya didukung oleh 1 partai saja yaitu Partai Demokrat. Meski pada putaran kedua ini Foke menyatakan, bahwa beberapa partai seperti PKS dan Golkar akan merapat padanya.

Akhirnya di putaran kedua ini, Foke memang benar-benar mengubah caranya. Meski masa kampanye belum dimulai , pada bulan Ramadhan lalu, Foke turun ke bawah untuk mendekati rakyatnya. Misalnya, mendatangi korban kebakaran dan melakukan kunjungan ke masyarakat lainnya. Bahkan, istrinya pun dikerahkan untuk mendekat ke rakyat. Istrinya tercatat mengundang penjual jamu gendong dan pedagang sayur di pasar.

Beberapa kesalahan dilakukan oleh Foke saat kegiatan-kegiatan itu. Diantaranya ketika mendatangi para korban kebakaran di Tanah Abang, Foke sempat bertanya kepada salah satu korban. ”Kemarin lu nyolok sapa? Kalau Jokowi, sono noh , bangun Solo aja,” kata Foke kala itu. Pernyataan itu langsung mendapat perhatian berbagai pihak karena dinilai menyindir pasangan lain.

Hal ini agak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh lawannya Jokowi dan Ahok yang hanya punya waktu sangat sedikit untuk berkampanye. Mereka tak punya kesempatan sebanyak yang dimiliki oleh Foke. Foke bisa mendekati rakyat kapan saja termasuk ketika dalam situasi kerja.

Namun, Jokowi yang harus ‘selalu’ berakhir pekan di Jakarta (karena sehari-hari harus bertugas di Solo) memiliki waktu pendek untuk mendekat masyarakat Jakarta. Tapi, walikota yang sebelumnya pengusaha mebel ini memanfaatkan waktunya dengan baik. Dia pergi ke pasar, makan bakso di pinggir jalan, datang ke beberapa kelompok band (Jokowi sangat menyukai musik rock), mendatangi klub-klub olahraga. Semua didatangi tanpa beban.
Hasilnya? Simpati datang ke segala penjuru. Para relawan menyediakan banyak waktunya untuk Jokowi dan Ahok. Beberapa lagu diciptakan oleh para simpatisan mereka dan diunggah di youtube (meski ada juga lagu-lagu dukungan untuk Foke). Ada juga games yang diciptakan oleh simpatisan mereka. Bagi banyak kalangan, Jokowi dan Ahok adalah sebuah harapan baru, harapan Jakarta untuk bisa ditata dengan lebih baik.

Masyarakat melihat apa yang telah dibuat oleh Jokowi selama 7 tahun memimpin Solo. Kota ditata dengan baik, masyarakatnya bekerja dengan nyaman dan banyak dari mereka berprestasi. Mereka juga merasakan ketika Jakarta dipimpin Foke, selama 5 tahun ini nyaris tanpa perubahan berarti.

Begitu juga Ahok. Meski diterpa kampanye hitam berbau SARA (Suku Agama, Ras), Ahok tak bergeming. Hal ini malah mengundang simpati banyak orang. Ahok adalah mantan Bupati Belitung Tiimur yang kini menjadi anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Ahok adalah sosok pemimpin jujur dan rendah hati.
Banyak prestasi diraih oleh Solo di tangan Jokowi. Kota dengan motto The Spirit of Java ini, pernah meraih penghargaan Kota dengan Tata Ruang Terbaik ke-2 di Indonesia Piala, Piagam Citra Bhakti Abdi Negara dari Presiden RI (2009) untuk kinerja kota dalam penyediaan sarana Pelayanan Publik, dll. Juga penghargaan dari Kementerian Keuangan untuk pelaksanaan pengelolaan keuangan yang baik (2009), Penghargaan dari UNICEF untuk Program Perlindungan Anak (2006). Berikutnya, Solo juga memperoleh Indonesia Tourism Award 2009 kategori Indonesia Best Destination dari Kementerian Kebudayaan & Pariwisata RI dan Penghargaan Tata Tertib Lalu Lintas dan Angkutan Umum, serta banyak lagi.

Bersama Membangun Jakarta

Banyak meyakini, keberhasilan Jokowi adalah kemauannya mengajak masyarakat sekitar untuk bersama-sama mengubah sesuatu. Ketika memindahkan ratusan pedagang barang bekas di pasar Banjarsari, berlangsung tanpa gejolak karena mereka pindah dengan sukarela. Kenapa? Salah satunya karena Jokowi mendekati para pedagang itu dengan puluhan pertemuan sambil minum kopi di rumah dinasnya.

Dia juga melakukan pengaturan untuk pelayanan publik. Dia menerbitkan kartu platinum, gold dan silver untuk pendidikan dan kesehatan. Untuk pendidikan, yang paling miskin memperoleh kartu platinum. Mereka mendapat fasilitas gratis semuanya, mulai dari uang pangkal sampai kebutuhan sekolah dan juga biaya operasional. Untuk gold, beberapa hal gratis, tapi tak sebanyak platinum. Begitu juga yang silver, hanya dibayari pemerintah untuk kebutuhan tertentu. Untuk kesehatan , pemegang kartu gold ditujukan bagi mereka yang sangat miskin. Semua gratis, perawatan rawat inap, bahkan cuci darah pun gratis.

“Sayalah yang meminta dia (Jokowi) mencalonkan diri pada pilkada Jakarta,” kata mantan wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. Mantan pengurus partai Golkar ini mengatakan, bahwa Jakarta perlu dikelola bersama-sama dan harapan itu ada pada Jokowi. “Kalau Fauzi Bowo sepertinya mau sendiri saja mengurus Jakarta,” katanya. Karena itu dia mengontak Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pimpinan Megawati agar mencalonkan Jokowi dalam Pilkada Jakarta. Jokowi adalah kader dari partai ini.

Memang, Jakarta memerlukan harapan untuk dikelola lebih baik. Keadaan kota begitu pikuk dan semrawut. Macet di mana-mana dan banjir selalu datang jika hujan turun satu jam. Angkutan umum yang layak, sangat kurang. Preman di mana-mana dan ruang terbuka hijau juga sangat kurang.

Membangun Jakarta memang tak bisa sekadar kata, karena beban masalah yang begitu banyak dan rumit. Sang pemimpin juga harus berpacu dengan waktu, karena tak mungkin harus menunggu puluhan kali bertemu dengan rakyat untuk mengubah sesuatu. Jakarta harus dikelola oleh pemimpin yang cerdas dengan memberdayakan masyarakat. Yang jelas, Jakarta tak bisa dikelola sendirian. (1002)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?48820

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :