Anak Pengamen

Demi recehan, setiap hari mereka berpindah dari satu angkutan ke angkutan umum lainnya. Meski terik matahari menyorot, atau cuaca sedang hujan tak membuat mereka alpa menjalani kesibukannya sebagai pengamen jalanan. Tidak ada pilihan lain, itulah jawab mereka ketika ditanya kenapa memilih jadi pengamen. Beralaskan sandal jepit, atau bahkan tanpa alas kaki mereka mengejar angkutan umum yang ramai penumpang. “Ya selamat siang, bapak, ibu.. saya numpang ngamen untuk makan. Daripada saya panjang tangan, lebih baik saya panjang suara” itulah kalimat pembuka para pengamen cilik. Sambil memainkan gitar kecilnya (uku lele) dan suara pas-pasan mereka mencoba menghibur penumpang.

Fauzi, Abeth, Budi, dan Pudin adalah segelintir anak di bawah umur yang menjalani hari-harinya di jalanan. Putus sekolah dan memutuskan untuk mencari nafkah demi membantu orang tua. Mereka mengaku tanpa paksaan, semua dijalani dengan senang hati. “Ngamen halal, daripada kami melakukan kriminal lebih baik cari rejeki dengan ngamen” papar salah satu dari mereka pada Kabari.

Fauzi

Fauzi (13) sudah 2 tahun menjadi pengamen. Setiap hari bocah berperawakan kurus kecil ini berangkat mengamen dari pukul 11.00 – 17.00, dan hasil yang didapatkannya sekitar Rp 50-60 ribu. Dari hasil tersebut ia mengaku dipergunakan untuk makan, jajan, ditabung dan diberikan kepada ibunya. “Kasih Ibu Rp 20.000, terus buat makan sama jajan, sisanya ditabung” ujarnya.

Tak pusing memikirkan tugas sekolah, PR (pekerjaan rumah), ulangan harian, hari-harinya dijalani bersama teman-teman seprofesi. Sejak putus sekolah, belum ada keinginan Fauzi untuk melanjutkan pendidikannya. “Males, maunya ngamen” ungkapnya polos. Meski belum lulus Sekolah Dasar (SD), Fauzi punya impian dan cita-cita seperti anak-anak lainnya. Ia ingin sekali menjadi polisi, punya wibawa karena ia tidak ingin terus-terusan jadi pengamen. Malas bukan berarti tidak mau sekolah, Fauzi pun masih menanti janji bapaknya yang ingin menyekolahkannya di pesantren. “Kata bapak nantinya saya mau disekolahin di pesantren, saya juga mau pintar” ujarnya.

Budi

Ada lagi Budi (14), mulai mengamen sejak usia 6 tahun. Bertahan di bangku sekolah hanya sampai kelas 5 SD. Karena keasyikan main, bisa dapat uang, banyak teman jadi alasan Budi untuk berhenti menuntut ilmu. Mengaku sering diajak teman-temannya mengamen, Budi pun tertarik menekuni profesi ngamen. Orang tuanya pun tidak melarang, asalkan dirinya bisa jaga diri, tidak melakukan hal buruk seperti mencuri dan kejahatan lainnya. Sebelum mengamen di angkutan umum, Budi kecil memulai aksi ngamennya di komplek perumahan, setelah terbiasa menyanyi di depan orang-orang, ia pun tertantang menyanyi di angkutan umum sama seperti teman-temannya.
Budi tak malu, bahkan ia senang bisa membantu orang tua ketika dapat hasil yang lebih banyak. “Kalau hasilnya lumayan, saya pulang dulu ngasih emak. Senang aja gitu bisa bantu orang tua” kata Budi.

Abeth

Suka duka jadi pengamen pun dirasakan Abeth (15), dia mengaku pernah dimarahi supir angkutan saat numpang ngamen. “Sering dimarahi supir, dibilang berisik. Kadang saya lawan, kan saya cuma numpang cari nafkah ngga mencuri di angkutan” akunya. Abeth yang ingin jadi tentara ini hanya mengenyam pendidikan terakhir 2 SMP. 4 tahun jadi pengamen jalanan sambil sekolah terasa berat, karena sering dibujuk mengamen di jam-jam sekolah menjadikannya malas ke sekolah sampai akhirnya putus sekolah. Tapi Abeth sadar, cita-citanya yang tinggi harus ditunjang dengan pendidikan yang setara, dan rencananya dalam waktu dekat ini Abeth akan kembali melanjutkan sekolahnya seperti kenginan orang tuanya. “Rencananya bakal sekolah lagi, karena bapak maunya saya sekolah” pungkasnya.

Mukminin Syapudin

Berbeda dengan Mukminin Syapudin (15), siswa SMPN 23 Bekasi ini masih semangat sekolah. Meski banyak temannya yang putus sekolah, ia tidak ingin meninggalkan sekolah meski sibuk mengamen. Bocah yang akrab disapa Pudin terpaksa mengamen demi tetap sekolah. Penghasilannya mengamen dikumpulkan untuk membeli perlengkapan sekolah, jika ada lebih ia berikan kepada ibunya. Pudin tidak merasa ‘minder’ dengan teman-temannya, sekalipun berpapasan dengan temannya saat ia mengamen.

Kegiatan mengamennya disesuaikan dengan waktu sekolah. Ia tidak ingin sekolahnya terganggu. Misalkan jadwal sekolah siang, ia hanya mengamen saat libur (Sabtu-Minggu) saja, tapi ketika jadwal sekolah pagi, ia sempatkan sepulang sekolah untuk mengamen sampai malam. “Ada waktunya untuk mengamen dan sekolah” ungkapnya.

Meski keterbatasan biaya Pudin ingin terus sekolah, karena ia ingin lebih baik dari orang tuanya yang berprofesi sebagai tukang bakso “Saya mau terus sekolah, jadi nanti gedenya ngga ngikutin kerjaan orang tua. Saya ingin bisa lebih baik buat bekal masa depan” katanya.
Tak dipungkiri Pudin, bersama dengan pengamen lainnya suka duka dijalani bersama, terkadang teman-teman jadi penghibur ketika ia sedang sedih atau susah. “Seneng bisa bercanda, ngobrol bareng sama teman-teman, itu suasana yang ngga bisa dilupain. Lepas ngga ada beban pikiran” akunya.

Sama seperti Fauzi, Pudin pun bercita-cita ingin jadi polisi. Ia mengaku akan terus berusaha mewujudkannya, karena itu ia ingin terus melanjutkan sekolah untuk mencapainya. “Pengennya sih lebih dari SMK kalau ada biayanya, tapi kalau ngga ada ya terpaksa maksimal SMK”.
Dari hasil ngamennya Pudin juga menabung. Setiap hari minimal Rp 2.000 ia sisihkan untuk ditabung, dimana hasilnya nanti bisa digunakan untuk persiapan ketika dia atau keluarganya sakit, bahkan bisa diambil saat dibutuhkan misalnya untuk keperluan Lebaran atau beli perlengkapan sekolah.

Kodau 115

Meski banyak yang putus sekolah, bergelut dengan jalanan dan angkutan umum anak-anak ini tetap santun di bawah bimbingan Ichay (32) yang dianggap sebagai abang mereka. Niatnya menampung anak-anak pengamen ini hanya karena ia merasa prihatin. Ia tidak ingin anak-anak tumbuh di jalanan tanpa arah tujuan, terjebak narkoba apalagi terjaring oprasi preman. Biar pun pengamen, Ichay dan istrinya tidak lelah menasehati adik didiknya seperti menasehati adik kandungnya.

Berawal dari ayah Ichay yang kasihan melihat anak-anak tidur di emperan toko depan rumahnya. Kala itu hujan turun lebat, karena merasa kasihan, anak-anak itu diminta masuk dan digelarkan tikar. “Tong, daripada lo ke hujanan, lo masuk dah. Tidur noh disitu seadanya, entar ada polisi malah ditangkep” ungkap Ichay menirukan bahasa Ayahnya yang berlogat Betawi kental.

Dari mulut ke mulut anak-anak terus bertambah, membawa temannya mampir untuk singgah. Karena nyaman anak-anak pun betah, dan setiap hari usai mengamen atau saat istirahat mengamen anak-anak berkumpul untuk sekedar ngobrol atau berlatih menghapalkan lirik lagu. Kumpulan anak-anak pengamen ini, memberi nama rumah kedua mereka Kodau 115, yang artinya Kodau merupakan alamat rumah, sedangkan 115 adalah tanggal 11 bulan 5 (Mei), tanggal dimana mereka pertama kali bertemu dan berkumpul.

Ichay yang membuka bengkel di depan rumahnya tidak pernah merasa direpotkan dengan kehadiran anak-anak. Ia hanya berpesan kepada anak-anak agar tidak melakukan hal yang buruk, ia juga mengingatkan anak-anak yang masih sekolah agar tidak meninggalkan sekolah. “Saya tetap nasehatin anak-anak, kalau sekolah ya sekolah, ngamen ya ngamen. Pokoknya asal jangan berantem, jangan panjang tangan, apalagi narkoba, boleh di sini” ucapnya.

Tidak sekedar menasehati, bapak satu anak ini juga menularkan kepada anak-anak cara menyisihkan uang dengan menabung dari penghasilan mengamen setiap harinya. Dibantu istrinya, Ichay mengkolektifkan tabungan harian. “Terserah dia mau nabung berapa, yang penting setiap harinya mereka harus menyisihkan. Nantinya uang itu buat mereka sendiri, buat kalau mereka sakit, buat beli buku, bantu orang tua, semua terserah anak-anak,” paparnya

Di belakang rumah keluarga Ichay, anak-anak ini berkumpul setiap harinya. Tiga tahun sudah mereka bersama, jumlah mereka pun terus bertambah. Kini ada sekitar 20 orang, dengan usia termuda 13 tahun dan dewasa 21 tahun. Dalam suka dan duka mereka berbagi pengalaman, bercanda dan mencari jati diri. Mereka memang sekumpulan anak-anak yang kurang beruntung, diusianya yang masih belia mereka sudah sibuk dengan urusan orang dewasa yaitu mencari uang. (1001)

Untuk nonton video kisah Abeth, Klik disini

Untuk nonton video kisah Budi, Klik disini

Untuk nonton video kisah Pudin, Klik disini

Untuk share artike ini, Klik www.KabariNews.com/?57101

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :