Martini

Martini layak menjadi figur inspiratif untuk dipanuti. Setidaknya ia mampu menyuntik keyakinan diri pada banyak perempuan, bahwa setiap orang bisa sukses. Asalkan ia mau bekerja keras, sabar, tekun, dan menyempurnakan ikhtiarnya dengan doa. Martini telah membuktikannya.

Terkadang orang tidak tahu, bahwa Tuhan telah memberinya modal untuk merajut kesuksesan dalam hidupnya. Begitu pun dengan Martini, perempuan sederhana dari Desa Kulon Progo, Yogyakarta, Jawa Tengah. Sama sekali ia tak tahu kalau keterampilan membuat anyaman yang telah diajarkan gurunya di Sekolah Dasar itu adalah modal berharga yang telah Tuhan berikan. Dengan keberhasilan yang dicapainya sebagai eksportir kerajinan anyaman menghasilkan miliaran rupiah itu adalah lewat jari-jarinya yang lincah dan terampil menganyam.

Mengadu Nasib Jadi PRT dan Penjual Sayur

Martini bersama suami dan anak semata wayangnya

Martini bersama suami dan anak semata wayangnya

Hidup suatu perjalanan yang berliku. Banyak rahasia yang dilalui dan diseliputi misteri, tanpa kita tahu ke mana harus melangkah untuk mencapai ke kehidupan yang sejahtera. Perempuan kelahiran 11 Mei 1972 itu hanya memegang ijazah Sekolah Menengah Pertama saja. Karena keterbatasan biaya, ia harus berhenti di tengah jalan dari Sekolah Pendidikan Guru. Cita-cita yang digadangnya menjadi guru itu kandas, sehingga ia menurut saja tatkala orang tua menerima pinangan Nurhadi, lelaki asal Bantul yang bekerja di perusahaan kontraktor selaku buruh. Di usia baru 17 tahun ia menikah, lalu mengikuti ke mana sang suami ditugaskan.

“Suami saya buruh proyek pembangunan jalan dan insfrastruktur. Saya ikut, dan mendapat tugas memasak sampai bersih-bersih penginapan untuk para buruh,” kata Martini yang ikut berpindah dari Tasikmalaya, lalu ke Padang dan Lampung hingga Malangbong. Di mana-mana berpindah, ia menjalankan tugas selaku pembantu rumah tangga. Saat ada kesempatan, ia juga berjualan sayur untuk menambah penghasilan.

Setelah beberapa lama merantau dan berpindah tempat, ia pun memutuskan pulang kampung. Pikirnya, lebih enak tinggal di kampung sendiri meski harus bekerja di pabrik sekalipun. Akhirnya, Martini pun mudik dan mendapat kerja di sektor industri yang menghasilkan kerajinan anyaman.

Cepat sekali ia menyesuaikan diri dengan pekerjaannya itu, karena saat kecil ia telah terbiasa menganyam. Ingatannya pun berlari ke masa kecil tatkala ia diajarkan gurunya menganyam. Hari ke hari semakin mahir teknik menganyam dan juga jiwa seninya terasah. Malang nian, perusahaan tempatnya bekerja tutup. Semula ia merasa susah hati juga, namun di balik ketidaknyamanan itu Tuhan telah menyiapkan suatu kesempatan berharga baginya untuk maju.

Beranikan Diri Coba Buka Usaha

Eceng Gondok

Eceng gondok, tanaman yang mengantarkan Martini ke kesuksesan

Menganggur bagi Martini yang terbiasa aktif adalah sebuah siksaan. Tak heran, jika perempuan bertubuh mungil itu pun tak bisa diam, mencari akal untuk mencari uang dan mengisi waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat. Tidak ada bermalas-malasan dalam kamus hidupnya. Alhasil, sejak kantornya itu tutup, ia pun melihat ke dirinya, apa kiranya yang mampu dilakukannya. Pilihan Martini jatuh ke bisnis kerajinan tangan seperti yang dilakukannya di kantor lamanya itu.

Tepat 1 Maret 1999, masih di kampungnya juga, Martini mulai membuat anyaman dengan modal sebesar Rp.250.000 dan sebuah mesin jahit tua. Ia sengaja memanfaatkan enceng gondok atau eceng gondok (Eichhornia crassipes) sebagai bahan baku utama kerajinan anyamannya. Tanaman ini tumbuh mengapung di rawa dan lingkungan perairan, berkembang biak dengan cepat sekali sehingga kerap dianggap sebagai perusak lingkungan. Dengan kata lain, eceng gondok tersedia melimpah di alam, tetapi bila ditilik dari sifat dan tekstur daunnya, ia liat dan cukup kuat bila digunakan sebagai anyaman. Pada masa itu eceng gondok belum populer, bahkan jarang sekali orang yang meliriknya.

Justru kelemahan di mata orang lain, dimanfaatkan oleh Martini sebagai kekuatan dan modal bagi usahanya.Dengan pengetahuan yang didapatnya di perusahaan lama, ia segera mengolah eceng gondok hingga menjadi tali temali yang siap dianyam. Di awal usaha, Martini membuat tas dan karpet eceng gondok, lalu menitipkannya ke toko-toko kerajinan di daerahnya. Dengan menaiki sepeda tua warisan orang tua, ia membawa kerajinannya itu hingga jauh mencapai 40 kilometer.

Perlahan Bergeliat Maju

Martini di studio kerja

Martini di studio kerjanya

Perlahan tapi pasti, kerajinan anyaman buatan Martini banyak yang suka. Dari satu hingga lima orang membeli anyaman itu, kabarnya menular hingga akhirnya banyak yang membeli. Tentu saja ia merasa senang, namun di sisi lain ia belum siap memenuhi permintaan dalam partai besar.

Namun, rezeki tak boleh ditolak. Ia pun mengajak tetangga dan saudaranya yang tinggal di dekat rumahnya untuk membantu menganyam. Mereka diberi persenan untuk setiap unit anyaman yang dibuat. Martini sendiri giat membuat desain dan contoh produk yang akan ditawarkan ke calon pembeli.

Demikian waktu berjalan, pesanan terus mengalir, hingga jumlahnya semakin membengkak. Luar biasa! Kontrak jual-beli yang mesti dipenuhinya mencapai ratusan juta rupiah. Martini harus memodalinya dulu. Tapi ia tak punya uang sebanyak itu. Akhirnya untuk tidak mengecewakan pelanggan, pesanan yang tak tertangani sendiri itu dilemparnya ke perusahaan rekanan yang membuat kerajinan anyaman.

Klien Martini dari mancanegara

Klien Martini dari mancanegara

Empat tahun berjalan, pada 2003, Martini yang kaya akan gagasan itu terus berpikir untuk mengembangkan usahanya. Ia juga menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang pemasaran dan cara meningkatkan kualitas hasil anyaman. Ia ingin karyanya dapat bersaing di pasar luar negeri. Kebetulan ia juga menerima pelanggan dari mancanegara. Ikhtiar yang dilakukannya, di antaranya mengikuti pameran-pameran agar masyarakat tahu akan karya anyamannya. Ia juga mendirikan agen di Ibu Kota Jakarta, sehingga pasar dapat dengan mudah membeli anyamannya itu. Bali sebagai kota tujuan wisata dunia tak luput menjadi rujukannya untuk mengembangkan sayap usaha.

Gempa Dahsyat Hancurkan Semuanya

Martini mengalami masa kejayaan hingga 2005. Penghasilannya telah mencapai ratusan juta. Jumlah yang sangat menakjubkan bagi seorang mantan pembantu rumah tangga dan juga tukang sayur. Penghasilan yang melimpah itu telah mengubah wajah tempat tinggalnya. Dari semula rumahnya berlantai tanah kini telah bertingkat dua. Ke mana-mana biasanya naik kendaraan umum, kini telah memiliki beberapa mobil sebagai sarana kegiatan. Ada mobil untuk operasional pekerjaan, dan juga kendaraan untuk mengantar keluarganya. Ia juga dapat menyekolahkan anaknya, Irma Purwaningsih yang kini telah meraih master dari Universitas Islam Indonesia.

Tetapi Tuhan selalu menguji keimanan dan ketakwaan manusia. Tatkala meraih keberhasilan dan kelimpahan materi, Dia memberi Martini ujian. Pada 2006 kota Yogyakarta diguncang gempa yang dahsyat. Seluruh bengkel kerja kerajinan anyaman bernama Natural itu hancur lebur. Semuanya rata dengan tanah. Usahanya terpaksa berhenti.

Bersyukur, bisa membeli mobil untuk keluarga

Bersyukur, bisa membeli mobil untuk keluarga

Syukurlah Martini yang terbiasa hidup sederhana tak langsung putus asa. Ia pun cukup terampil mengatur keuangan, sehingga dengan uang tersisa ia memakainya sebagai modal usaha. Tetapi dananya masih sangat kurang. Tak cukup cukup kuat untuk mendongkrak usahanya yang mati suri akibat gempa. Dengan cepat ia menggalang tim kerjanya, membesarkan hati mereka untuk bangkit. Pantang menyerah.

Untuk menambah modal, Martini mengajukan kredit ke bank dengan agunan tanah. Setelah mempelajari jenis usaha Martini dan melihat perkembangannya, pihak bank setuju, lalu meminjamkan modal sebesar Rp70 juta.

Namun sayang, masih jauh panggang dari api. Kredit sebesar itu masih sangat kurang, karena dana yang dibutuhkan sebesar Rp600 juta. Sangat tidak cukup. Dari rekannya, Martini meminjam lagi di sebuah perusahaan pembiayaan kredit usaha. Ia mendapat dana suntikan sebesar Rp50 juta. Akhirnya, dengan modal sedapatnya itu, ia melanjutkan usahanya yang sempat terhenti.

Kesabaran dan doa yang tak pernah putus memohon restu-Nya, bisnis Martini pun pulih, bahkan berkembang pesat. Kini ada puluhan karyawan bekerja di rumahnya, dan ratusan pekerja di bengkel kerjanya. Mereka rata-rata perempuan yang berasal dari beberapa daerah seperti Yogyakarta, Klaten, Solo, Kutoarjo, Purworejo dan Malang. Hasil usahanya dalam satu bulan pun tidak kurang dari Rp1,2 miliar. Dalam sebulan rata-rata ia mengirim dua kontainer ke luar negeri, di antaranya ke Perancis, Italia, Eropa, dan Amerika. Pernah mencapai 8 kontainer bernilai Rp6 miliar.

Melihat kiprah Martini, kita semakin yakin, bahwa sukses adalah milik semua orang. Hanya, tinggal ikhtiar keras dan cerdas, serta doa yang khusyuk dapat mewujudkannya.(1004)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?59815

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :