Separuh dari hidup perempuan berusia 48 itu dihabiskannya di tempat tidur. Penyakit rematik paling ganas Rheumathoid Arhtitis telah membuatnya lumpuh total, sekaligus memupus cita-citanya menjadi guru. Tetapi Tuhan Maha Penyayang. Dengan kuasa-Nya, Wak Een, sapaan akrabnya, bisa mengajar, mewujudkan cita-citanya menjadi guru.

Mencari kediaman Een Sukaesih di Dusun Batukarut, RT01 RW06, Desa Cibereum Wetan, Cimalaka, Sumedang, Jawa Barat tak terlalu sulit. Warga mengenal baik sosok ‘Ibu Guru’ istimewa ini. Ya, karena ia seorang luar biasa, Umumnya orang memberi di saat lapang, tetapi Een berbeda. Dalam keterbatasannya, ia membantu menyiapkan masa depan orang lain dengan cara membagi ilmu dan kasih sayang, serta menjadi sahabat bagi anak didiknya.

Alhamdulillah, Allah memberiku jalan sehingga boleh dibilang, aku telah meraih cita-citaku menjadi guru. Setiap hari, di kamar mungilku, mereka meriung sepulang sekolah. Mereka membawa pekerjaan rumah. Bergantian, mereka membacakan surat kabar, majalah atau menonton televisi, lalu kami membahasnya bersama. Aku ingin mereka paham situasi yang berkembang di luar sana. Siapa sangka, dalam keterbatasan fisikku, aku bisa membagi ilmu, mengentaskan dari ketidaktahuan menjadi tahu.

Kali lain anak-anak membuat rujak di kamarku, atau membuat es durian yang segar. Bahkan anak-anak perempuan minta diajarkan menari. Padahal, aku, menggerakkan tangan saja, aku tak sanggup. Yah, itulah kesibukanku sehari-hari. Aku bahagia menjadi bagian dari perkembangan dan kemajuan mereka. Tak hanya itu, juga kutanamkan ajaran agama dan nilai-nilai kepribadian agar mereka menjadi pintar, juga berkarakter yang baik.

 

 

Seperti yang dilakukan Een pada Layla, yang sempat mogok sekolah diledek sebagai teletubbies karena fisiknya tidak normal. Berhasil, Layla kini mahasiswi di Universitas Parahyangan Bandung, kampus Een dulu. Itulah sejatinya fungsi pendidik, seperti yang dilakukan Pak Rahmad, gurunya di SDN 1 Cimalaka.

Aku tak pernah menyangka begitu singkat waktuku mengecap kesehatan dan kebebasan bergerak. Praktis hanya sampai SMP aku bisa berlari riang dan bermain bola dengan teman-teman, sebab jelang tahun ajaran kelas III Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sendi tanganku mulai terasa nyeri. Kata dokter, rematik. Aku diberi obat, tapi itu hanya menghilangkan gejalanya sementara. Setelah obat habis, kambuh lagi, bahkan nyerinya menyebar ke lutut, siku, tengkuk, hingga persendian kecil seperti jari-jemari.

Aku ganti dokter dengan harapan mungkin mukjizat kesembuhan bisa kudapat. Nyatanya? Nihil! Ngilu dan nyeri masih kurasakan, sampai-sampai tangan kuikat ke pundak, mirip orang patah tulang, untuk mengurangi rasa sakit itu. Dokter memberiku obat berdosis tinggi, 3×2 sehari, tapi sakitku bertambah parah. Aku tidak bisa bangun, bergerak atau berjalan. Rasanya seperti ditusuk-tusuk.

Dari hasil tes laboratorium 5 April 1982 dokter menyatakan Een menderita Rheumathoid Artitis. Belum ada obatnya. Hancur hati perempuan muda itu, dan mengucapkan selamat tinggal kepada cita-citanya menjadi guru. Gurunya yang tahu akan potensi Een tidak membiarkan siswa kesayangannya ini patah semangat. Ia sampai menahan ijazah Een demi memaksanya untuk ikut tes ke perguruan tinggi. Benar saja, Een lulus tes penyaringan dan diterima di Program Diploma 3 Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan di IKIP Bandung.

Umurku waktu itu 18 tahun, masih sangat muda untuk menyerah. Aku pun menguatkan diri, disokong oleh Kakek dan Nenek yang begitu luas kasihnya untukku. Aku kos di Bandung. Rutin mereka memperhatikan kebutuhanku, memberi vitamin, mengantarku ke dokter, membiayai keseharian dan pendidikanku. Kini mereka telah tiada. Hanya doa yang bisa kupanjatkan selalu untuk mereka sebagai tanda terima kasihku.

Singkat cerita, aku kuliah. Sebuah perjuangan yang berat dan panjang. Bagaimana tidak? Sendi-sendiku nyeri, sementara aku harus naik tangga atau menyusuri lorong yang jauh untuk mencapai perpustakaan. Karenanya, supaya tidak ketinggalan, aku lebih awal ke kampus dibanding teman-teman. Sedih bukan main, tapi aku harus optimis dan berusaha. Aku harus yakin Allah, Maha Penyembuh. Alhamdulillah, aku masih bisa mengetik sendiri, jadi tidak pernah minta tolong orang kalau ada tugas. Bersyukur Allah memberiku seorang sahabat setia, Mimin Suhaeti namanya. Ia menemaniku dan mau mengantarku ke dokter atau menginap di tempat kosku setiap sakitku kumat.

Pada 1985 aku lulus dengan nilai cukup baik, dan diangkat jadi guru di SMA Sindang Laut, Cirebon, Jawa Barat. Sebulan di sana, sebelum sempat prajabatan, aku sudah tak kuasa menahan sakit. Aku pulang ke Sumedang. Begitu turun dari mobil, aku jatuh, lalu diboyong ke rumah. Sejak itu, tidak bisa berjalan lagi. Aku, Een Sukaesih, lumpuh total.

 

 

Kalau orang bilang aku tegar, itu bohong! Orang tidak tahu, kalau tiap malam aku menangis terus sampai pagi datang. Aku menangisi cita-citaku yang diterbangkan waktu, menjauh dariku, dan meninggalkanku teronggok di pembaringan. Masih ada lagi ujian untukku. Karena berbaring terus, punggungku lecet parah hingga uratnya keluar. Berbulan-bulan itu berlangsung hingga akhir 1987 kondisiku membaik. Adikku yang setia mengurusiku. Sungguh mulia hatinya. Begitu juga Ibuku.

Een kemudian berusaha ikhlas menerima penyakitnya dan kondisinya. Tapi ia terus berdoa memohon kesembuhan dari-Nya. Ia putar otak untuk mengisi waktunya yang hening dengan sesuatu yang bermanfaat. Doanya pun terjawab. Dari mengajar anak kerabat dan keponakannya membuatkan pekerjaan rumah, kini anak-anak tetangga berjumlah puluhan orang menjadi ‘murid’nya. Tanpa memungut bayaran alias gratis. Untuk dedikasinya pada pendidikan, Een beroleh sejumlah penghargaan, di antaranya Dompet Dhuafa Award 2010, lalu Education Award dari Bank Syariah Mandiri (BSM), lalu dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Kartini Award 2012 dan Tupperware She Can! untuk karya inspiratifnya.

Anak-anak jadi penghiburku. Pernah suatu hari dadaku sakit dipakai untuk bernapas, tapi begitu anak-anak datang, lalu berceloteh riang di kamarku, aku ikut larut dalam suasana hati mereka. Tahu-tahu nyeri itu hilang. Ya, anak-anak ini telah menjadi obat untukku. Apalagi ketika dikabari kalau mereka mendapat nilai bagus di sekolah. Aku ikut puas, meski itu bukan hasil kerjaku sendiri.

Selain memberi anak-anak bekal ilmu pengetahuan, aku ingin mereka jadi pribadi yang cerdas secara emosional dan spiritual. Tidak cengeng atau manja. Aku ingin mereka tegar dan berani menghadapi kehidupan, lengkap dengan duri atau onaknya. Harapanku mereka jadi pribadi yang kuat, mencintai kemajuan, selamat di dunia dan akhirat. Kini, aku akan terus menjadi sahabat mereka dalam belajar, juga menjalin silaturahmi dengan teman-temanku semasa kuliah, salah satunya Prof Dr H Dasim Budimansyah, yang kini telah menjadi Guru Besar di UPI Bandung. Ilmu pengetahuan terus berkembang, makanya aku minta dibelikan buku dan surat kabar yang kemudian dibacakan oleh anak-anak.

Harapanku, anak-anak, sekitar 30 orang ini, baik yang duduk di SD maupun SMP, bisa berprestasi. Rata-rata mereka memang sudah berprestasi baik di sekolah, dan ada juga yang juara kelas dan masuk 10 besar. Bahkan ada juga yang terpilih untuk ikut berbagai lomba bidang studi, mulai di tingkat kecamatan dan kabupaten. Anak-anak adalah kebahagiaanku. Terima kasih, ya Allah. (1003)

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :