Jakarta,
KabariNews.com
– Cerita duka para tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri
selalu menghantui benak setiap calon para TKI. Meski demikian, kebutuhan
ekonomi keluarga yang mendesak, serta kurangnya lapangan kerja di daerah
memaksa para calon TKI tersebut “mengesampingkan” rasa takut mereka akan hal-hal buruk yang
dapat menimpa mereka di negara-negara penempatan.

Rosita
Siti Saadah Binti Muhtadin Jalil adalah salah satu dari sekian banyak TKI yang
mengadu nasib dengan menjadi TKI. Ibu satu anak asal Karawang, Jawa Barat,
yang bekerja di sektor rumah tangga sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT) di Fujariah, Persatuan Emirat
Arab (PEA) adalah salah satu TKI yang mengalami peristiwa buruk di tempatnya
bekerja. Bahkan ia juga harus menghadapi kriminalisasi hukum karena ditahan selama 20 bulan
dengan tuduhan membunuh rekannya sesama PRT.

Di Fujariah, Rosita bekerja
kepada sepasang suami istri yang memiliki 8 anak perempuan, 2 anak laki-laki,
dan 7 mobil. Kediaman majikan terdiri dari beberapa bangunan terpisah yang
berfungsi sebagai rumah majikan dan anak-anaknya, kamar PRT, dapur, kamar
mandi, garasi dan majelis (ruang tamu pria). Semua itu diurus oleh Rosita dan
seorang perempuan Indonesia lainnya, sebut saja X.

Malam itu, tidak seperti
biasanya, Rosita tidur mendahului X. Tiba-tiba ia terbangun karena mendengar teriakan
X. Saat itu, ia melihat seorang pria tinggi sedang melonggarkan bohlam lampu
hingga padam. Lampu diluar kamar pun sudah dimatikan. Tiba-tiba, seseorang memegangi Rosita,
membekap mulutnya, dan berkata, “Jangan teriak atau saya bunuh kamu!”. Rosita
pun diam tak melawan.

Ketika
para pria pergi, Rosita memanggil-manggil X. Ia kemudian menghampiri X ke
kasurnya namun X tidak juga menjawab. Rosita menjadi sangat takut, dan memutuskan
untuk melapor kepada majikan. Rosita lari ke rumah majikan dan mengetuk pintu.
“Baba, madam, tolong! Saya takut. Ada laki-laki masuk kamar”. Mendengar itu,
majikan bukannya membukakan pintu dan memeriksa keadaan, malah menyuruh Rosita
membukakan pintu untuk polisi. Polisi kemudian membawa Rosita ke rumah sakit.
Saat itulah Rosita tahu bahwa X meninggal dunia.

Selanjutnya,
Rosita menjalani 20 bulan di tahanan. Selama di tahanan Rosita mengalami
kesulitan dalam menghubungi pemerintah maupun keluarganya. Polisi melarangnya
untuk berbicara atau membuat pernyataan dan menghubungi orang lain. Rosita
bahkan mengalami penyiksaan dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak dia
lakukan. Dia dipukuli oleh polisi, dan tidak boleh tidur selama lima hari.

Baru
setelah setahun Rosita di tahan, dan menjalani tiga sidang, Pemerintah
Indonesia mengetahui kasus Rosita. Selama tiga kali sidang, Rosita sama sekali
tidak didampingi, baik oleh pengacara, penerjemah, maupun staff perwakilan
pemerintah RI.

Pada
tanggal 11 Juni 2011, tiba-tiba Rosita dilepaskan dari tahanan. Polisi
memberikannya tiket, dan mengantarkan ke bandara, tanpa melalui perwakilan
pemerintah RI. Begitu sampai di Jakata pada tanggal 12 Juni, Rosita baru bisa
menghubungi keluarganya, dan langsung kembali ke Karawang.

Selasa,
14 Juni 2011, Rosita bersama Solidaritas Perempuan dan Solidaritas Buruh Migran
Karawang mendatangi Kementerian Luar Negeri. Ketika dihubungin melalui telepon,
ternyata Konsulat Jendral (Konjen) RI di Dubai, sebagai perwakilan pemerintah
RI terdekat dari Fujariah, sama sekali tidak mengetahui kepulangan Rosita
tersebut.

Kasus tersebut diungkapkan Rosita saat didampingi organisasi Solidaritas Perempuan untuk Buruh Migran di Gedung Sekretariat
Nasional Solidaritas Perempuan, di Jakarta, Kamis (23/6).

Berkaca dari
kasus tersebut, Solidaritas Perempuan dan Buruh Migran melihat betapa buruknya
koordinasi antara Pemerintah Indonesia dan Uni Emirat Arab. Pasalnya, Rosita
yang seharusnya mendapat pendamping dari Perwakilan Pemerintah RI sejak dirinya
ditangkap dan dimintai keterangan itu tidak terwujud. Pemerintah yang memiliki kewajiban untuk memastikan
proses hukum yang dijalani Buruh Migran berjalan dengan adil dan memastikan bahwa hak-hak Buruh Migran dilindungi nyatanya tidak mengetahui hal
tersebut. Bahkan Pemerintah RI baru mengetahui kasus Rosita tersebut setelah
Rosita ditahan selama satu tahun.

Staff
Penanganan Kasus Buruh Migran Solidaritas Perempuan, Vicky Sylvanie, meminta
agar apa yang dijanjikan pemerintah Indonesia untuk melindungi dan mendampingi
warganya yang bekerja di luar negeri diwujudkan secara nyata. Khususnya Kedutaan
Besar RI (KBRI) yang fungsi kerjanya sangat dekat dengan para TKI, khususnya negara yang menjadi negara penempatan TKI tersebut.

“Untung saja ia (Rosita) bisa pulang ke tanah air, kalau tidak ia bisa saja dihukum pancung,” imbuh Vicky.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36935

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :