Tegas, lugas, terpelajar dan tentu saja kritis. Semua itu dimiliki oleh seorang Retno Listyarti. Wanita yang kini menjabat kepala sekolah SMAN 76, Cakung, Jakarta Timur  ini dikenal sepak terjangnya yang lantang menyuarakan aspirasi melawan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.   “Saya ini orangnya kritis sekaligus taat aturan, namun kritisnya saya adalah untuk perubahan yang lebih baik di dunia pendidikan,”  tegasnya  saat ditemui Kabarinews.com di kantornya.

Retno Listyarti berkisah, sifat kritisnya terbentuk melalui proses pembelajaran yang panjang. Sifat Itu muncul sewaktu dirinya masih duduk di bangku SMA dan ikut dalam sebuah kelompok ilmiah remaja. “Kira-kira aktif di organisasi tersebut  di tahun 1986 dan kumpul di gelanggang remaja di Jakarta Utara” tutur dia.  Tanjung Priok saat itu merupakan daerah miskin, tetapi uniknya Retno dalam komunitas tersebut “gila” baca dan bacaanya itu adalah buku yang dilarang oleh Orde Baru ketika ituseperti buku-buku kiri. “kenapa buku Karl Marx dilarang, semakin dilarang kami ini semakin mencari tahu saja ” kata penerima award sebagai pejuang anti korupsi dari ICW tahun 2011 ini.

Nah, di saat yang sama  jauh di belahan dunia lain tepatnya di Australia  ada sekumpulan mahasiswa yang  menyuarakan keprihatinan atas kondisi bangsa. Mereka membagi-bagikan pamflet dalam bahasa Inggris. “Pamflet itu pun sampai ke tangan kami, karena seperti diketahui saat itu informasi tidak banyak internet tidak semasif seperti sekarang, tetapi kami beserta anggota kelompok itu malah keranjinan membaca” kata Retno.   Dan ketika membaca tulisan atau pun buku lambat laun seperti mempengaruhi alam pikirannya sekaligus membangun mindseat tentang ketidakadillan, kepedulian terhadap kaum yang terabaikan, dan mereka yang diperlakukan tidak adil.

Selama tiga tahun berkutat dengan buku dan kelompoknya. Alhasil, dirinya lantas berpikir untuk menjadi seorang guru. “Satu hal saja ketika banyak orang tidak ingin menjadi guru, tetapi saya malah ingin menjadi guru” tutur wanita kelahiran 24 Mei 1970. Namun bukan berarti keinginan mulianya ini dapat berjalan  mulus. Tentangan muncul dari orang tuanya, sebab orang tuanya berpikir Retno adalah murid yang berprestasi dan selalu mendapatkan nilai yang bagus, dan kenapa harus menjadi guru?

Hanya saja, Retno bersikukuh dirinya harus menjadi guru. Salah satu alasannya adalah dia ingin mempengaruhi muridnya untuk berpikir kritis. “Jadi saya ini merasa sepanjang diri saya diajar oleh guru-guru di sekolah, ada sesuatu yang kurang seperti halnya memberikan  inspirasi, pun dengan rasa kepedulian terhadap bangsa ini ” kata dia. Dan kalau ingin menjadi guru yang dapat mempengaruhi muridnya untuk kritis,  Retno pun menjatuhkan pilihan sebagai guru pendidikan kewarganegaraan.

Singkat kata Retno melanjutkan studinya di IKIP Jakarta. Setelah lulus, barulah dia menjadi seorang guru yang  sebenarnya dengan mengajar di sekolah-sekolah. Dan ketika menjadi seorang guru, Retno menjelma menjadi semacam guru “pemberontak” karena dia melihat banyak sekali ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Sebut saja, penerima award Pejuang HAM dari LBH Jakarta tahun 2013 ini pernah memimpin perjuangan 400 guru PNS untuk  melawan SK Gubenur DKI Jakarta yang dinilainya mendiskriminasi tunjangan kinerja daerah (TKD) untuk guru.

Dia pun berteriak lantang soal kecurangan Ujian Nasional yang terjadi secara sistemik dan masif. Bahkan salah satu buku Pendidikan Kewarganegaraan yang ditulisnya pernah digugat secara perdata oleh Akbar Tanjung pada tahun 2005 karena memuat desenting opinion Abdul Rahman Saleh dalam kasus Bulogate. “Di buku itu saya menggunakan persepsi saya sebagai seorang penulis bahwa Akbar Tanjung seharusnya tidak bebas jadi ya akhirnya kami bersengketa soal itu. Seharusnya tidak perlu resah toh desenting opinion dikenal dalam sistem hukum dan tidak mempengaruhi keputusan” kata Retno. Selain itu, istri dari Muhamad Basuki Winoto ini pernah juga memprotes buku “Bang Maman dan Istri Simpanan” sebagai bukti rendahnya mutu buku yang beredar dan digunakan sekolah-sekolah di Indonesia.

Sampai mempersoalkan pelaksanaan Ujian Kompetensi Guru (UKG). Bagi Retno, UKG itu adalah illegal, karena tidak ada dasar hukumnya. UKG online dengan pilihan ganda dinilai  bukanlah alat ukur yang tepat untuk mengukur kompetensi guru dan kualitas guru, apalagi kinerja guru. Selain itu, UKG hanya menguji 2 dari 4 kompetensi guru, padahal keempatnya tidak bisa diuji dengan cara dicicil tetapi komprehensif menurut perintah undang-undang. Mengenai UKG ini, Retno bersama guru dari FSGI menggugat pelaksanaan UKG ke Makamah Agung.

Menularkan Virus Kritis ke Anak Didik

1377114_10203245601722274_626463777_nTerlahir sebagai pribadi yang kritis, Retno pun menulari sifat kritisnya ini kepada anak-anak didiknya. Misalnya saja saat dia berkisah pada tahun 2012, kala itu sedang ramai  mengenai Pilkada  DKI Jakarta. “Saat itu  kami dikelas, murid saya  nyelutuk ke saya “bu kayaknya kami gak harus belajar materi hukum internasional deh, bagaimana kalau belajar yang sedang hangat-hangat saja “Waktu itu saya bilang ok, lantas menanyakan kenapa kamu tertarik? Murid saya bilang kesel banget sama isu SARA. Saat itu kenapa harus ada SARA, kampanye hitam, kenapa tidak berpikir profesionalisme, untuk apa jadi Islam jika tidak menghargai keberagaman, koruptor dan yang lainnya” ujarnya.

Lantas, mereka pun berdiskusi dan sangat menarik baginya  terutama saat berbicara soal surga dan neraka. Kenapa urusan politik sampai surga dan neraka, muridnya berbicara dengan kritik yang sederhana. Anak muridnya mengatakan surga itu seperti air yang mengalir. “Terus misalnya mandi susu disana, kita akan ketemu bidadari, kalau saya jadi perempuan apa yang mendorong saya pergi ke surga toh nanti suami saya diambil sama bidadari-bidadari” kata Retno menirukan ucapan anak muridnya.

Alhasil, perspektif itu terbilang liar  menurutnya. Muridnya pun berkata kalau Fauzi Bowo dikalahkan, kalau bisa gugat secara hukum jika apa? Retno pun mengatakan dapat digugat apabila itu terjadi kecurangan secara sistemik. Kontan saja, anak muridnya tidak mengerti apa itu kecurangan sistemik. Dia pun browsing bersama anak-anak muridnya dan setelah dibaca anak-anak muridnya paham apa itu kecurangan sistemik.

Di kelas lain ada anak muridnya bermain-main menjadi tim sukses kedua kubu. Sebagai timses, Retno bercerita, mereka memaparkan kehebatan masing-masing. “Dari situ muncullah diskusi yang menurut saya luar biasa” kata dia. Beberapa waktu kemudian, muridnya datang kepadanya dan memberi sebuah video dan selebaran-selebaran yang isinya tentang kampanye penyadaran anak muda untuk tidak golput.   Hanya saja yang dibagikan itu semuanya tentang salah satu calon gubernur yang sedang mengikuti Pilgub. “Mereka berpikir ini merupakan bentuk kecurangan sistemik. Lantas mereka meminta saya melaporkan ke Panwaslu” kata Retno. Perang batin berkecamuk dalam dirinya, disatu sisi status tersandung status PNS yang disandangnya, di sisi lain ia tidak tega melihat kekritisan murid-muridnya itu terbuang percuma. “ namun saya tidak mau mengecewakan anak murid saya ini” kata dia.

Retno lantas “bergerak” diluar organisasinya PGRI untuk melaporkan hal tersebut. Alhasil,  dia beserta teman-temannya melaporkan hal tersebut ke Panwaslu. Setelahnya, Retno pun mendapat teror berupa sms, dan yang lainnya. Teror ternyata tidak membuatnya bergeming karena dirinya memang tidak terlalu peduli.  “Tetapi kami merasa itu pilihan yang tepat, arahnya kemudian setelah itu terjadi banyak perubahan pendidikan,  kami mudah sekali memberikan masukan, adanya lelang jabatan sekolah misalnya mengikis banyaknya korupsi di sekolah dan yang lainnya” tutur ibu tiga orang anak ini. Retno  berterima kasih kepada  murid-muridnya karena telah memberikan dorongan. Dia mengatakan ketika sebagai guru, kemudian  menjadi seorang guru kritis, dirinya tidak pernah mengalami hukuman contohnya saja dalam hal kepangkatan karena selalu melakukannya dalam peraturan yang berlaku.

Lelang Jabatan dan Transparansi Sekolah

10155860_10203428323530205_2162883014676081164_nAkan halnya sistem lelang jabatan, Retno melihat kebijakan baru ini merupakan sebuah alternatif baru dalam penentuan para pemimpin sekolah. Retno percaya, pelaksanaan yang baik dan transparan menjadi kunci peningkatan kualitas pendidikan nasional. Menurutnya transparansi akan melahirkan pemimpin sekolah yang andal, asalkan sistem rekrutmen ini dilakukan tanpa kecurangan dan pungli sehingga diperoleh kepala sekolah yang mumpuni

“Dulu sebelum ada lelang jabatan, ketika ingin menjadi kepala sekolah  saya memperoleh rekomendasi dan saya tidak punya uang, jadinya saya tidak bisa.  Lingkaran itu begitu kuat. Saya punya uang tetapi saya tidak ada “jalur”ke dinas terkait, saya pun tidak bisa. Ketika misalnya saya jadi kepala sekolah, pikiran saya akan mencari bagaimana agar modal saya balik. Ketika itu aromanya kuat sekali, lingkaran setan tentang pengangkatan kepala sekolah” kata Retno.

Menurutnya lelang jabatan sekolah ini memang selayaknya ada karena kepala sekolah  berada di posisi akar rumput.  Retno mengatakan sekolah dapat berkulitas,  hal Itu harus dimulai dari kepala sekolahnya sebagai “penjaga” sekolah. Boleh saja lelang jabatan ini dianggap bertentangan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 tahun 2010, tetapi ada hal positifnya karena  “keribetan” dari peraturan itu dipangkas dengan seleksi terbuka atau lelang jabatan kepala sekolah.

Mantan guru di SMAN 13 Koja, Jakarta Utara ini mengatakan,  sebagai  kepala sekolah di sekolahnya yang baru (Retno menjabat kepala sekolah SMAN 76 baru beberapa bulan) dia melakukan pendekatan dengan Pertamina Foundation. “karena mereka  memiliki program good school dan memintanya untuk mendampingi kami karena kami ingin membuka sistem keuangan sekolah yang transparan” tutur Retno.  Salah satu caranya adalah dengan  membuat website. Sebab, melalui website  segala hal di letakkan disana termasuk juga keuangan sekolah demi transparansi. Akhir tahun 2014 ini rencananya, sekolah negeri yang kini dipimpinnya  akan menjadi yang pertama diaudit oleh akuntan publik. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?67471

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

lincoln