Wiedarti dam Sachiko

Wiedarti dam Sachiko

Banyak orang baik di dunia ini, tetapi bisa terbilang langka seorang pribadi seperti mendiang Dr Fitri Mardjono. Bersama istrinya, Pangesti Wiedarti PhD, mereka sepakat mendonorkan kornea mata, ginjal dan mewakafkan jasadnya untuk media belajar mahasiswa kedokteran demi pengembangan ilmu pengetahuan. Sangat menyentuh!

Hari itu tertanda 16 Juli 2011 pukul 02.00 dini hari di RSUP Sardjito, dosen Fakultas Teknik, Universitas Gajah Mada (FT-UGM) bernama DR Fitri Mardjono menghadap Sang Khalik. Beberapa lama berjuang melawan penyakit liver, namun akhirnya harus menyerah. Dua jam selewat itu perawat di rumah sakit menghubungi RS Mata Yap. Tepat pukul 06.30 tergenapi niat ayah dari putri semata wayangnya, Sachiko Mawaddah Lestari, untuk menjadi ‘mata’ bagi calon penerima kornea mata, yakni penyandang tunanetra.

“Memang sudah diniatkan oleh Bapak sedari beliau masih sehat dulu. Saat wafat, ia menyumbangkan bola matanya bagi pasien tunanetra yang membutuhkan. Tidak hanya itu, Bapak juga mendonasikan tubuhnya untuk penelitian medis mahasiswa-mahasiswa di Fakultas Kedokteran UGM,” ujar Pangesti Wiedarti, istri yang setia mendampinginya.

“Jadilah, tempo hari pada saat Bapak wafat, dua calon penerima donor mata diminta datang untuk masing-masing menerima satu kornea. Saya tidak tahu siapa mereka, dan tidak perlu tahu juga siapa yang menerima kornea Bapak. Persis seperti dikatakan Bapak, kalau memberi harus ikhlas. Yang penting kornea matanya dapat berguna membantu saudara-saudara penyandang tunanetra melihat indahnya dunia.”

Pasca operasi mata selesai dilakukan, beberapa lama jenazah Fitri Mardjono singgah di rumah duka di Jalan Kakap Minomartani, Sleman, DI Yogyakarta. Keluarga, tetangga dan kaum kerabat datang mendoakan. Setelah itu disemayamkan di Fakultas Teknik UGM untuk mendapat penghormatan terakhir dari teman dosen dan para mahasiswa. Kemudian jenazah tidak dibawa ke pemakaman, melainkan diserahkan kepada Fakultas Kedokteran UGM sebagai sumbangan media pembelajaran kedokteran para mahasiswa.

Dr Fitri Mardjono dan Pangesti Wiedarti adalah pasangan serasi. Sama-sama satu profesi, yakni dosen. Bila sang suami di FT-UGM, Wiedarti mengajar di Universitas Negeri Yogyakarta. Kesamaan keduanya adalah gemar menolong sesama. Empati kemanusiaan mereka sangat tinggi. Bagaimana kisah sejati mereka?

Diawali dengan Uji Kemanusiaan

Wiedarti dan dosennya

Wiedarti dan dosennya

Bicara tentang aksi kemanusiaan yang dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai ini bermula dari Wiedarti. Perempuan kelahiran Malang, 25 Agustus 1958 ini begitu menyatu dengan kegiatan di Korps Suka Rela Palang Merah Indonesia (KSR PMI) saat duduk di kelas 1 SMA. Waktu berjalan, ia pun kian aktif terlibat di kegiatan sehingga tahu persis seluk beluk donor darah, bergaul dengan penderita tunanetra, serta lekat dengan visi-misi PMI. Karena itu waktu memilih calon suami, ia mencanangkan persyaratan kalau pria itu harus memiliki empati kepada sesama dan rasa kemanusiaan yang tinggi.

Sebelum akhirnya menikah dengan Fitri Mardjono pada Oktober 1982, ia terlebih dulu menguji sifat kemanusiaan kekasihnya ini. Caranya? Ia meminta Mardjono melakukan donor darah untuk menolong pasien yang membutuhkan. Ternyata, ia langsung setuju. Ketika itu, untuk pertama kalinya Mardjono donor darah di Balai RW Pogung, Sleman.

Setelah itu, selama 12 tahun berturut-turut ia tak pernah absen melakukan donor darah. Uniknya, Mardjono tak pernah mau datang sekalipun tiap kali diundang untuk menerima penghargaan atas donor darah yang dilakukannya. Lagi-lagi, kutip Wiedarti atas perkataan suaminya, kalau menyumbang, sumbanglah dengan ikhlas. Jangan pernah minta dihargai atas pemberian donor itu.

Donor Mata, Ginjal dan Jasad

Pasangan sejati alm. Fitri Mardjono dan Pangesti Wiedarti

Pasangan sejati alm. Fitri Mardjono dan Pangesti Wiedarti

Sikap empati Fitri Mardjono kepada kemanusiaan tak lepas dari sang istri. Wiedati yang sejak remaja aktif di PMI, lalu meluas ke penyandang tunanetra. Saat kuliah S1 di Institut Kejuruan Ilmu Pendidikan (IKIP) Malang, ia kerap datang ke Panti Rehabilitasi Tunanetra. Di sana ia melihat mereka dengan susah payah belajar keterampilan sebagai modal hidup mandiri. Tumbuh niat untuk menolong mereka.

Jadilah, pada 1986 Wiedarti mengajak suaminya mendonor kornea mata bagi tunanetra yang membutuhkan. Gayung bersambut, mereka pun langsung ke RS Mata YAP Yogyakarta yang sudah memiliki bank mata. Tak berhenti sampai di situ, pada tahun yang sama, mereka mendatangi RSUP Sardjito Yogyakarta untuk mendaftar sebagai pendonor ginjal. Sayangnya, mereka belum paham prosedurnya, sehingga niat itu pun diredam dulu. Kebetulan Wiedarti melanjutkan pendidikan S2 dan S3-nya di Australia, dan Mardjono kuliah lagi di Belanda.

“Masa itu sangat sulit bagi kami. Liver Bapak terganggu sehingga sering masuk-keluar rumah sakit. Saya sendiri divonis kanker payudara dan harus operasi. Syukurlah, semuanya terlampaui. Dokter menyatakan saya sembuh, dan Bapak juga sudah bisa keluar rumah sakit,” ulas Wiedarti. “Muncul lagi wacana untuk mendonorkan ginjal, bahkan lebih lagi, yakni ingin menyumbangkan jasad kami ke fakultas kedokteran untuk media penelitian para mahasiswa,” tambahnya.

Tekad Fitri Mardjono untuk itu bertambah bulat, hingga saat tidur tengah malam pada Mei 2008, ia sampai membangunkan Wiedarti. Katanya, kelak meninggal dunia nanti, ia bertekad mewakafkan jasadnya. Wiedarti pun punya niat yang sama. Mereka sepakat keesokan harinya mencari tahu soal ini dipandang dari berbagai sudut, dari bidang hukum hingga agama.

Saat putri tunggal, Sachiko diwisuda S2 tahun 2010

Saat putri tunggal, Sachiko diwisuda S2 tahun 2010

“Prosesnya panjang. Tidak terjadi tiba-tiba. Kami diskusikan niat ini sebelumnya, termasuk menyadari konsekwensi menjadi seorang cadaver. Bila jasad diserahkan kepada fakultas kedokteran untuk kepentingan dunia pendidikan, berarti tidak akan ada batu nisan sebagai penanda makam kami. Tapi, kami sampai pada keputusan pada niat semula yakni mendonorkan jasad kami saat meninggal dunia,” lanjut Wiedarti.

Jalan untuk mewujudkan niat yang mulia itu tidak mulus. Tiga notaris yang ditemui menolak membuatkan aktanya, karena mereka memang tidak pernah membuat hal itu. Baru pada notaris keempat bisa mewujudkan niat mereka berdua. Pada 16 Juli 2011 lalu, Fitri Mardjono telah mewujudkan niat luhurnya tersebut.

“Ini murni keinginan kami berdua. Dari pada jasad dikuburkan begitu saja, bila memenuhi persyaratan kesehatan, lebih baik didonorkan untuk membantu sesama. Misalnya, donor kornea mata sangat membantu saudara kita yang tunanetra, demikian pula dengan ginjal. Selain itu jasad pendonor mayat berhak diperlakukan dengan santun dan didoakan sebelum pelajaran dimulai. Tidak boleh dipotong-potong semacam mutilasi. Jasadnya bisa jadi media penelitian selama puluhan, bahkan seratus tahun jika dirawat baik di laboratorium anatomi,” ujar Wiedarti, senada dengan mendiang suaminya, yakni ingin hidup mereka berarti bagi sesama. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?60529

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan