‘Walang Kekek’, lagu emas yang dilantunkan penyanyi legendaris Keroncong bernama Waldjinah. Ia kini sudah berusia senja, tetapi suaranya masih merdu, tak kalah memikat. Belum lama ia didaulat duet bersama mendiang Chrisye. Belum terlalu lama Waldjinah diberitakan sakit. Sepuluh hari dirawat dan sempat 3 hari koma, tapi kemudian tersadar setelah ia diputarkan lagu keroncongnya yang hebat, Yen Ing Tawang Ono Lintang. Luar biasa!

Dokter mengatakan, bahwa pasien yang pingsan atau koma itu sesungguhnya tetap punya kesadaran. Hanya secara kasat mata saja, ia seolah tak bereaksi. Itu sebabnya dokter yang merawat Waldjinah pun meminta agar sering-sering mengajak penyanyi yang tengah koma itu berbicara. Tujuannya, menggugah kesadarannya untuk bangkit. Benar saja! Maestro musik keroncong itu terbangun, tapi sesaat kemudian hilang lagi kesadarannya.

Namun ada keajaiban terjadi. Ketika itu seorang penggemar beratnya bernama Lorens, seorang pengusaha muda asal Surabaya, Jawa Timur, datang menjenguk. Ia putarkan lagu Yen Ing Tawang Ono Lintang di telepon genggamnya, lalu diperdengarkan di telinga Waldjinah. Ajaib! Tiba-tiba sang ibu yang selama tiga hari koma, langsung bereaksi. Darah seolah mengalir deras ke wajahnya, matanya membuka dan bibirnya senyum tipis. Keluarganya pun langsung memutarkan lagu tersebut untuk memulihkan kesadarannya, dan berhasil.

Makanan MSG Tinggi

Tinggal bersama keluarganya di Jalan Parang Cantel nomor 31 Mangkuyudan, Solo, Waldjinah pun membaik kondisinya. Belum pulih benar, tapi sangat jauh berbeda tatkala ia sakit dirawat selama sepuluh hari. Apa gerangan penyebab sakit parahnya?

Rupanya ia mengalami gangguan pencernaan hebat karena terlalu banyak makan jajanan ringan yang pedas dan gurih berpenyedap (MSG) tinggi. Perutnya tak kuat dijejali makanan serupa itu. Entahlah penyebab pastinya, apakah perutnya tak kuat terhadap rasa pedas itu ataukah bumbu penyedapnya. Yang jelas, perut perempuan kelahiran 7 November 1945 itu langsung melilit dan sempat mengganggu perdarahan. Menurut dokter, saluran pencernaannya mengalami infeksi.

Pada hari pertama masuk rumah sakit, dokter spesialis penyakit dalam hanya menemukan gangguan pada usus. Anehnya, kondisinya terus menurun, lalu dilakukan pemeriksaan mendalam dengan CT Scan dan laparoscopy. Ternyata, terjadi penyempitan pada saluran darah menuju otaknya, dan kerja jantungnya juga terganggu. Sel darah merahnya turun hingga angka 8,5 mg/dL dari angka normalnya 12-16 mg/dL. Paru-parunya juga tak mampu menyerap zat asam (oksigen).

Hari kedua dirawat, Waldjinah mulai kehilangan kesadaran. Ia tak mengenali suami, anak maupun cucu-cucunya, terus demikian hingga akhirnya koma. Tim dokter tak tinggal diam. Mereka memberi suntikan lewat infus tiga ampul sehari, tapi tak berhasil hingga akhirnya Tuhan menggerakkan kaki Lorens untuk menemui penyanyi kesayangannya itu, lalu terjadilah mukjizat itu.

Uniknya, Waldjinah mengaku tidak tahu persis apa yang terjadi. Ia merasa seperti bermimpi saja. Ia seolah sedang naik pesawat terbang, lalu ganti kereta api. Juara I Bintang Radio Indonesia pada September 1965 itu merasa ia sedang berada di Ngawi, Jawa Timur, lalu terbang lagi ke Solo. Begitu terus, berputar-putar.

Ia baru tersadar setelah mendengar lagunya sendiri, Yen Ing Tawang Ono Lintang. Ketika mendengarnya, ia merasa ada sesuatu yang menarik-menarik dari dalam dirinya. Lagu itu memang punya sejarah mendalam bagi dirinya. Selain lagu kesayangannya, juga itu merupakan tembang yang pertama kali ia lantunkan. Juga punya memori romantis dengan sang suami. Tatkala masih pacaran, lagu itu kerap dinyanyikannya sambil naik sepeda ke Pasar Legi Solo pada malam hari. Mereka membeli tape ayu, lalu duduk-duduk di tanah lapang. Waldjinah sering menyanyikan lagu itu yang ternyata disukai oleh sang pacar, yang kemudian menjadi ayah dari 5 anaknya.

Ada rahasia kesembuhanyan dengan cepat, yaitu tatkala Waldjinah bereaksi ketika diputarkan lagu tersebut, sang suami segera menyanyikannya terus menerus. Bergantian dengan lagunya yang lain, yaitu Walang Kekek. Namun syairnya sengaja diplesetkan sehingga terdengar salah dari syair aslinya, Waldjinah segera pulih. Boleh jadi ia ingin membetulkan syair yang dinyanyikan sang suami.

Yang menarik lagi, begitu tersadar, ia tahu dirinya tengah dirawat. Tapi ia cepat menguji kesadarannya sendiri. Ia minta kepada perawat untuk ditunjukkan rel kereta api. Kebetulan rumah sakit tersebut berada di jalan Slamet Riyadi, jalan utama Kota Solo, yang dilintasi KA feeder dan KA Wisata dua kali dalam sehari.

Masih Terus Bernyanyi

Dengan pengalamannya sakit itu, Waldjinah memetik pelajaran yang mahal. Semangat boleh muda, tapi kondisi organ tubuh tak memungkinkan lagi untuk makan sajian yang pedas, asam atau ketan yang bisa membuat perutnya sakit. Selama ini kondisi fisiknya sangat sehat. Tidak pernah harus dirawat di rumah sakit, apa lagi sampai koma.

Dikatakan Waldjinah, bahwa ia harus ekstra hati-hati. Ia masih ingin terus berkarya, dan ingin bernyanyi dan banyak bernyanyi. Keinginan yang tidak berlebihan, karena penyanyi yang beroleh piala penghargaan dari Presiden Soekarno sebagai Juara Pertama Festival Bintang Radio itu, masih kerap menerima undangan untuk menyanyi. Bahkan menjadi rujukan mahasiswa UCLA, Amerika Serikat dalam rangka penelitian tentang musik keroncong untuk disertasinya.

Penyanyi yang mulai merintis jadi penembang keroncong sejak usia 8 tahun itu tiada tandingan. Itu tercermin pada berpuluh piagam penghargaan yang disimpan rapi dalam pigura di dinding dan disimpan dalam dua lemari di sudut ruang tamunya. Dari sekian banyak piala dan penghargaan yang diraihnya, ia paling berkesan dengan piala yang diterimanya dari Presiden Soekarno. Piala itu merupakan yang pertama dan terakhir yang diserahkan sang Proklamator, karena setelah 1965, penyerahan piala pada Festival Bintang Radio diberikan oleh menteri.

Sejak kemenangannya itu, Waldjinah menjadi penyanyi ‘langganan’ istana untuk menyanyikan tembang keroncong setiap 17 Agustus. Dan bila dijumlahkan, ada 1.700 lagu keroncong yang didendangkannya, dan tak kurang dari 400 album telah mengabadikan suara emasnya. Namun, sejauh itu hanya tiga lagu yang diciptakannya sendiri, Walang Kekek, Tepo Tulodho dan Sabar. Ia membuat syair lagu Walang Kekek, sedangkan aransemennya dibantu oleh seniman besar, almarhum Gesang, penyanyi dan pencipta lagu legendaris Bengawan Solo.

Usianya sudah 67 tahun, tapi semangatnya terus menggebu untuk mengembangkan musik keroncong. Ia kini menjadi Ketua Penasihat Kelompok Musik Keroncong Bintang Surakarta, yang dipimpin anak kandungnya sendiri, Ari Mulyono. Setiap Kamis malam, sekitar 15 orang anggotanya berlatih. Ia tak kuat melatih lagi, tapi karena keroncong telah mendarah daging di tubuhnya, ia bertekad akan menyanyi terus hingga kembali kepada sang Khalik. (1003)

Untuk share artike ini, Klik www.KabariNews.com/?53623

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :